Liputan6.com, Jakarta Istilah ‘barokah raksasa’ berseliweran di mata dan telinga kita, utamanya jelang perayaan Satu Abad Nahdlatul Ulama (NU). Istilah ini menarik untuk dicermati dan ditafsir secara hati-hati. Apalagi, barokah melulu dikandangkan dalam satu ruang kuburan semata, kerap dikerdilkan maknanya menjadi nafas takhayul, bid’ah, dan khufarat (TBC) sebagai tiga senyawa kebatilan.
Adalah Ketua Umum PBNU KH Yahya Cholil Staquf yang mempopulerkan istilah barokah raksasa menjelang usia 100 tahun organisasi yang berdiri pada 1926 di Surabaya itu. Ia merujuk, bahwa Harlah Satu Abad NU bukan semata gerak irama memperingati dan memeriahkan, tapi lebih jauh, mengembalikan diri pada entitas teladan para kiai dan ulama NU, sebagai suluh penerang perjuangan jamiyyah dan jamaah.
Mahfum kita pahami, musabab hadirnya NU sebagai motorik Islam dengan dakwah yang ramah dan kasih, tidak dipantik oleh keinginan menolak aliran tunggal wahabisme yang berdengung kencang di Saudi semata, tapi lahir dari dialog peradaban yang serba berubah dan tidak pasti, mulai dari munculnya kemajemukan demografi, rezim batas wilayah, perubahan tata nilai dan norma hingga globalisasi.
Advertisement
Artinya, NU lahir sekaligus seiring dengan lanskap peradaban yang nyaris mutlak berubah. Dan NU, mau tidak mau harus ikut adaptif, bahkan menjadi lokomotif dari perubahan itu sendiri. Maka dalam berbagai rangkaian kegiatan menuju Satu Abad NU, tema yang dibahas adalah yang intim bersentuhan dengan konfigurasi tata peradaban dunia.
Dalam Religion of Twenty (R20) semisal, NU memunculkan nilai-nilai agama dalam percakapan publik. Dengan cara, bahwa para pemuka agama diminta dengan jujur dan tulus ‘mengakui’ ada ketegangan antara nilai yang diyakini, dengan realitas sosial yang terjadi. NU kembali membangunkan diskursus keagamaan dalam ruang publik, yang selama ini terdomestikasi di ‘ruang tidurnya’.
Di penghujung acara puncak, NU menfasilitasi pertemuan para ulama dunia untuk membicarakan status Piagam PBB dalam kacamata fikih (yurispindensi Islam). Ia ingin menguliti perjanjian internasional setelah Perang Dunia II tersebut untuk bertanggung jawab atas konflik yang terjadi di masyarakat dunia, termasuk dalam masyarakat Islam.
Masuknya NU dalam isu fundamental ini, menjadi bukti bahwa keberadaannya selalu direkontekstualisasi dengan perubahan zaman, tanpa mengindahkan nilai agama dan pendahulunya. NU, melulu menjadi pelancong peradaban, yang gelisah dan menawarkan konsep perubahan yang berkeadilan di tengah ketidakpastian arah peradaban.
Globalisasi dan media
Menilik globalisasi seperti menggenggam sekeping mata uang logam. Senyawanya, menampilkan sisi negatif sekaligus positif di sisi yang lain. Ia menampilkan sisi empati dan solidaritas yang menyatu, tetapi di sisi yang lain menampilkan kegetiran seperti wabah dan resesi. Menariknya, dalam buku Perjuangan Besar Nahdlatul Ulama (2020), disebutkan bahwa pendorong utamanya adalah kemajuan teknologi transportasi dan komunikasi.
Fokus pada komunikasi, kita bisa menyaksikan bagaimana wabah tengah mengguncang seluruh dunia. Ia menimbulkan kegelisahan di seluruh dunia, mulai dari sosial, kesehatan hingga ekonomi. Tetapi melalui media, kebersamaan dan solidaritas terajut dalam uluran tangan persaudaraan dan kemanusiaan.
Media menjadi perantara vital hubungan manusia di era globalisai dengan segala konsekuensinya. Dari penjuru manapun peristiwa berlangsung, baik tragedi atau komedi, paruh dunia lain ikut menyaksikan dengan respon – kendati beragam. Karena di era globalisasi, nyaris sumir warna jarak dan waktu.
Kesemuanya seperti tak bisa saling memisahkan dan terhubung satu sama lain. Atas dasar itulah, media tak lagi netral sebab dia mempunyai nilai yang sudah diintervensi, tidak hanya kepentingan ekonomi, tetapi juga kepentingan politik dan agama.
Advertisement
Menghidupkan teladan
Kita bisa menyaksikan, percakapan agama dalam ruang media kentara dengan pertarungan nilai-nilai yang diyakini paling benar. Ekslusifisme nilai agama tidak lagi diumbar dengan balutan informasi belaka, melainkan memaksa dan menyalahkan yang berbeda. Menganggap yang berbeda dengan celaan yang absolut atas kehendak Tuhan.
Beranda halaman internet telah dikotori oleh kehendak-kehendak sekelompok kepentingan yang melulu menimbulkan ketegangan, mengusik keberagaman. Media menjadi kering teladan, tidak memberikan contoh untuk menghargai satu sama lain yang berlatar beda, menggerus nilai toleransi dan tenggang rasa antar sesama.
Hadirnya media yang mensyiarkan nilai agama yang beragam dan penuh kasih sayang, tentunya menjadi alternatif pembanding. Dan NU, tidak pasif dalam situasi yang demikian.
NU paham betul bahwa media harus diisi dan diintervensi dengan nilai yang tetap menyejukkan dan menenangkan. Ia mengetahui bahwa tak lazim dan begitu sengit relasi media dengan kepentingan kelompok yang memaksakan kehendak, sehingga yang perlu dilakukan adalah memberikan alternatif informasi tentang nilai Islam yang seratus delapan puluh derajat berbeda; meluruskan dan memberikan teladan.
Dan perayaan Satu Abad NU di Sidoarjo pada 16 Rajab 1444 H atau 7 Februari 2023 M, tepat dikatakan bahwa helatan ini adalah ngalap barokah raksasa. Dengan menggandeng salah satu lembaga penyiaran televisi sebagai media broadcaster (selain melalui streaming), NU ingin menujukkan bahwa Islam merupakan agama yang penuh teladan, utamanya seperti yang ditunjukkan oleh para muassis NU. Serta media, menjadi perantaranya.
Barokah raksasa yang dimaksud, sebagaimana penulis meyakininya, adalah ihwal melampaui kelaziman pemahaman mengenai ritual keagamaan yang dilabeli tindakan batil sebagaimana disinggung di atas. Tetapi, barokah raksasa adalah keinginan untuk memberitahukan kepada dunia melalui media, mengenai nilai-nilai teladan yang harus dipegang teguh, dipertanggungjawabkan, dan diaktivasi dalam ruang peradaban baru untuk kebaikan masa depan dan martabat kemanusiaan.
Di sinilah, kita bisa memahami dalam tatanan globalisasi yang serba tak terbatas, media sangat penting keberadaannya. Ia menjadi panggung pertarungan wacana sekaligus ideologi. Keberadaannya, tidak perlu dikompromi selain hanya untuk mendaulat kebaikan agar disebarluaskan untuk mengajak pada hal-hal kemanusiaan dan peradabannya.
Â
Penulis:
Ubaidillah
Pengurus LPBI PBNU dan Calon Anggota Komisi Penyiaran Indonesia Pusat 2022 – 2025