Liputan6.com, Jakarta - Tahun 2003, lima tahun setelah pemerintah membentuk Kementerian BUMN, keluarlah Undang-undang (UU) Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Presidennya adalah Ibu Megawati Soekarno Putri, Menteri Perindustrian Rini Soemarno, Menteri hukumnya (saat itu bernama Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia) Prof. Yusril Izha Mahendra, dan Menteri BUMN kala itu Ir. Laksamana Sukardi.
Yang menarik perhatian saya adalah suasana saat itu di kalangan pejabat-pejabat kementerian teknis (Kemenhub, PU, Kehutanan, Pertanian dll) yang 'marah besar'. “Kalau begini undang-undangnya, berarti negara berbisnis,“ begitu umpat mereka.
Harap maklum, berkat UU itu BUMN sudah sepenuhnya lepas dari kendali birokrat. BUMN yang tadinya 'alat' bagi birokrat, kini sepenuhnya berada di bawah kementerian BUMN. Sebaliknya, wajah pendiri Kementerian BUMN, Tantri Abeng Sumringah. Ia sudah lama merindukan BUMN yang mandiri, yang mampu memberi kontribusi besar bagi negara sebagai value creator.
Advertisement
Apa yang baru dalam UU itu?
Pertama, jelas disebut dalam pasal 1 (10), modal negara yang dipakai dalam BUMN adalah kekayaan Negara yang dipisahkan. Kedua, dalam pasal 2, tujuan pendirian BUMN adalah (a) Memberikan sumbangan bagi perkembangan perekonomian nasional dan penerimaan Negara, (b) Mengejar Keuntungan.
Baca Juga
Pasal-pasal itu jelas ada di halaman depan, paling atas. Jadi siapapun yang membacanya pasti akan segera paham BUMN sudah berubah. Ia bukan lagi kementerian teknis yang boleh sesuka hati bekerja tanpa memikirkan untung/rugi, risiko, dan kontribusi bagi negara.
Dengan demikian BUMN ditugaskan untuk mencari keuntungan, yang setiap akhir tahun dividennya pasti ditagih oleh negara untuk menambal kekurangan pendapatan dari pajak. Seperti akhir tahun lalu, siapa sih yang menambal kekurangan pendapatan pajak? Saya kira jelas, BUMN yang melakukan revaluasi aset.
Kemudian 13 tahun kemudian yaitu 2016, keributan ini kita alami. Padahal orang-orangnya masih sama, malah makin berkuasa. Tiba-tiba semua ribut, meributkan mengapa BUMN membangun kereta cepat. Kenapa ini dan itu. Pasal tuduhannya juga berlapis-lapis membuat publik bingung.
Padahal semua orang tahu, pendapatan pajak kita tengah mengalami stagnasi, sulit ditingkatkan. Negara dalam keadaan gawat, dan kita harus lebih cerdik mencari pemasukan bagi negara. Mereka juga tahu pertumbuhan ekonomi kita melambat, ancaman pengangguran begitu besar.
Alih-alih bersatu, mereka malah saling bertengkar, melarang pemerintah mencari sumber-sumber baru untuk menggerakan perekonomian. Kereta cepat yang dibangun tanpa APBN itu terus digunjingkan.
Lapangan pekerjaaan yang mau diciptakan, kalau bisa tidak menjadi kenyataan. BUMN pun dicaci seakan-akan bakal dicaplok China. PMA yang masuk pun kita buat ragu, ketidakpastian diciptakan lewat `perang mulut`. Bukan data akademik yang dipakai melainkan saling-silang opini.
Selamat datang kerumitan dan ketidakpastian!
Beda paradigma-beda ucapan
Dari kementerian teknis kita membaca betapa paradigma lama masih terjadi. Pertama kementerian teknis adalah kementerian yang tugasnya menghabiskan anggaran negara. Dalam soal infrastruktur, kementerian teknis tidak mungkin memakai uang sumbangan swasta, apalagi modal asing.
Dalam pembangunan transportasi publik, ia hanya berpikir point-to-point. Kementerian BUMN pada sisi lain, harus berpikir keekonomian dan keuntungan. Sudah pasti yang ia cari adalah 'pasar yang gemuk'. Dan modalnya boleh patungan, berasal dari asing atau mitra domestik.
Dengan bekal UU Nomor 19 Tahun 2003 itulah KA cepat dibangun, melalui konsorsium 4 BUMN (WIKA, Jasa Marga, PT Perkebunan, dan PT Kereta Api Indonesia) bersama konsorsium Tiongkok (yang dipimpin China Railway International Co.).
Jadi ini adalah PMA dan mereka membentuk PT Baru: PT Kereta Cepat Indonesia-China (KCIC). Untuk apalagi tujuannya, kalau tidak menjalankan UU BUMN tadi, mengejar keuntungan. Seperti layaknya sebuah PT, tanggung jawabnya tentu terbatas pada penyertaan modal masing-masing.
Nah menarik sekali diamati beda perspektif itu begitu kuat karena masing-masing kementerian memegang UU-nya sendiri. Kementerian BUMN punya UU, demikian pula Kementerian Perhubungan (tentang KA) dan Kementerian LH/Kehutanan.
Tetapi layaknya sebuah organisasi besar, semua harus tunduk pada konstitusi dan tentu saja pada Visi besar Presiden. Anda mungkin masih ingat ucapan Presiden di awal terbentuknya kabinet: Tidak ada Visi kementerian, yang ada hanya satu visi, visi Presiden.
Itu baru perspektif antar menteri. Belum lagi perspektif para konsultan yang dibiayai oleh dua pihak yang bersaing (China atau Jepang) yang muncul sebagai pengamat. Atau persoektif Jepang yang mau kita bermacet tia membeli otomotif sebanyak-banyaknya, atau perspektif Tiongkok yang ingin menjalin sejarah jalan Sutra.
Kalau perspektif para politisi, ya kita sudah mengertilah. Selain rivalitas, kualitas masing-masing politikus memang amat beragam: ada yang mampu dan mau membaca UU dan ada yang malas dan asal bunyi. Itu sudah biasa kita dengar sebagai bumbu penyedap tontonan.
Mengapa cepat-cepat?
Saya mulanya juga bingung, kok di era Jokowi ini semua berlangsung cepat. Jalan- jalan tol yang mangkrak tiba-tiba sudah dibuka.
Jalan tol Becak Kayu (Bekasi-Cawang-Kp Melayu) yang mangkrak sejak 1998, kini sudah diambil alih dan dibangun BUMN Waskita Karya. Jalan Tol Cipali diresmikan sebelum Hari Raya Idul Fitri. Waduk-waduk baru diresmikan berturut-turut. Semua itu dilakukan via BUMN.
Tetapi memahami kondisi ekonomi yang melambat dan ancaman pengangguran dewasa ini, saya agak bisa paham. Ia tidak sibuk menghancurkan pikiran atau program pendahulunya, malahan ia buat jadi kenyataan. Jadi pastinya lebih mudah.
Hanya saja, syarat ini harus dipenuhi: luluhkan para pemburu rente. Percepat cara kerja birokrasi dan hindari pekerjaan yang spekulatif, yaitu pembebasan tanah. Karena itulah dipakai tanah yang sudah ada. Miliknya negara.
Sama seperti saat Amerika Serikat dilanda resesi, presidennya selalu menggerakkan pembangunan infrastruktur. Selain besar manfaatnya, lapangan pekerjaan pun bisa digerakkan. Bahkan bila perlu, mereka mengambil hutang. Bukankah di masa krisis itu modal dan harga barang-barang modal sedang murah?
Kita juga perlu belajar membedakan antara bad debt (utang untuk berfoya-foya, konsumsi) dengan good debt (utang untuk investasi). Dan yang namanya hutang investasi tadi, mustahil dikucurkan investor kalau business plannya tidak jelas, tidak menguntungkan.
Apalagi sekarang BUMN-BUMN kita sudah dilengkapi dengan komite-komite risiko dan komite audit. Sulit rasanya untuk membodoh-bodohi mereka.
Lantas dari mana sumber pendapatannya?
Lagi-lagi kita mendengar ucapan mereka yang menganut perspektif kementerian teknis. Harga tiket kemahalan, rakyat tak mampu bayar Rp 200 ribu. Nanti kalau rugi bagaimana? “Sudah kami hitung tidak untung.”
Sekali lagi, itu adalah perspektif kementerian teknis. Point to point, no value creation, bukan hitungan bisnis.
Seorang direktur BUMN anggota konsorsium mengatakan, “kalau hitungannya (bisnisnya) kaya begitu, kami juga tak mau masuk.” Mereka benar! Uang tiket saja tidak menguntungkan. Semua orang tahu public transportation harus disubsidi negara. Di situlah perlunya kalkulasi bisnis.
Dan hitungan itu adalah value creation yang didapat dari kegiatan koridor ekonomi di 4 TOD (Halim, Karawang, Walini, dan Tegal luar-Bandung). Di situ akan dibangun perumahan, rusun untuk para pekerja, Rumah Sakit, Universitas, dan sebagainya.
Kalau Lippo saja bisa meraup untung di Karawaci dan Cikarang, apa mungkin di kawasan yang lebih besar dan lebih accessible mereka masih rugi? Itulah hebatnya konglomerat mengendus bisnis yang terjadi karena bodohnya kita mengelola kekayaan negara yang sudah dipisahkan tadi.
Lalu benarkah Rp 200 ribu sudah kemahalan?
Saya ingin mengajak Anda melihat penghasilan kita 4 tahun dari sekarang saat KA Cepat itu diresmikan. Mungkin anda sudah punya penghasilan satu setengah kali lipat dari sekarang. Lalu tengoklah berapa harga tiket masuk Dufan–Ancol hari ini. Benar! Hari ini tarifnya sudah Rp 250 ribu dan ramai sekali.
Lalu apakah rakyat diuntungkan?
Saya ingin mengajak anda merenungi tiga hal ini. Pertama, kalau lapangan kerja tidak diciptakan, apakah rakyat diuntungkan? Proyek ini jelas ditujukan untuk menciptakan pekerjaan.
Kedua, kalau jalan tol Jakarta-Bandung yang sudah padat ini dibiarkan tetap padat dan macet, apakah rakyat kecil diuntungkan? Bukankah harga tiket bis bisa dinaikkan karena biaya bahan bakar mereka juga meningkat?
Ketiga, kalau kereta cepat lebih dulu dibangun oleh konsorsium Singapore-Malaysia untuk menghubungkan kedua Negara, apa Anda pikir turis-turis kita tidak berjejal di negeri jiran itu?
Mari kita renungkan dengan jernih dan jauhkan dari cara berpikir rivalitas yang menjauhkan kita dari rakyat. Jalan tol sudah terlalu padat, jangan berpura-pura tidak tahu. Kita sudah hidup dalam gempuran urbanisasi.
Dan kalau alternatifnya tak dibangun segera, kita akan mati berdiri di tengah-tengah kemacetan lalu lintas, mati diterpa krisis yang kita buat sendiri.
Penulis
Prof. Rhenald Kasali