OPINI: Layar Terkembang di Badai Perang Tarif

Provokasi Donald Trump bukan soal tarif semata, tapi ujian terhadap kesiapan kelembagaan dan kedewasaan strategi geo-ekonomi Indonesia.

Andi N.S. Kuncoro
Berdasarkan opini dari: Andi N.S. Kuncoro

Analis Kebijakan Senior di Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan

Andi N.S. Kuncoro
Andi N.S. Kuncoro, Analis Kebijakan Senior di Badan Kebijakan Fiskal di Kementerian Keuangan.... Selengkapnya

Liputan6.com, Jakarta - Dunia tengah memasuki zona baru yang belum terpetakan. Pada 2 April 2025, Presiden AS Donald Trump meneken Executive Order (EO) 14257, memulai gelombang tarif “resiprokal” terhadap 185 negara — termasuk Indonesia. Di bawah label Liberation Day Tariffs, produk ekspor RI seperti elektronik, alas kaki, garmen, dan turunan sawit dikenai bea masuk hingga 32 persen.

Namun, hanya sepekan berselang, kebijakan itu berputar haluan. Pada 9 April, tarif spesifik negara diganti menjadi tarif flat 10 persen (kecuali untuk China), berlaku sementara hingga 9 Juli. Memorandum Presiden tertanggal 11 April bahkan membebaskan beberapa produk — terutama elektronik dan semikonduktor — dari tarif secara retroaktif. Tapi perubahan ini bukan tanda stabilitas, melainkan sinyal bahwa arah kebijakan kini lebih ditentukan oleh persepsi, posisi, dan kekuasaan. Di era fragmentasi global, perdagangan tak lagi berpijak pada kepastian, tapi pada siapa yang dipercaya dan siapa yang disangsikan.

Bagi Indonesia, taruhannya sangat besar — dan sifat tekanannya bukan sekadar siklikal, tapi struktural. Simulasi model ekonomi global G-Cubed (McKibbin & Triggs) menunjukkan bahwa EO 14257 bisa menyusutkan PDB Indonesia hingga 0,82 persen dan menurunkan FDI sampai 1 persen dari PDB. Ini bukan sekadar urusan tarif. Ini menyentuh kredibilitas Indonesia dalam rantai pasok dunia — negara yang dicurigai sebagai "perpanjangan tangan" China.

Bukan hanya Indonesia yang dicurigai. EO 14257 memandang ASEAN bukan lagi blok netral, tapi bagian dari jejaring manufaktur Tiongkok — khususnya elektronik dan input olahan. Dalam logika Washington D.C., strategi “China+1” kini berubah jadi “China+1+ASEAN”. Tak lagi soal negara asal ekspor, tapi di mana produk dirakit, disertifikasi, dan dilacak sumber asalnya (assembled, certified, and sourced). Negara yang gagal membuktikan keterlacakan (tracebility) dan independensi produksi, akan terjerat sanksi.

Respons Indonesia tak boleh reaktif dan sebaiknya elegan terukur. Sebab provokasi Trump bukan soal tarif semata, tapi ujian terhadap kesiapan kelembagaan dan kedewasaan strategi geo-ekonomi Indonesia.

Dalam dunia intelijen, kemampuan memisahkan sinyal dari kebisingan adalah hal utama. Sinyal dari EO 14257 sudah jelas: globalisasi kini terbelah secara permanen. Prediktabilitas multilateral digantikan oleh negosiasi bilateral dan rezim berbasis asal-usul produk. Daya saing lama seperti upah murah dan sumber daya alam tak lagi cukup. Kini compliance, traceability, dan trust adalah penentu.

Peran Penting Ekonomi Perilaku

Di titik inilah ekonomi perilaku (behavioral economics) mengambil peran penting. Mengacu pada karya Daniel Kahneman (Thinking, Fast and Slow) dan Richards Heuer (Psychology of Intelligence Analysis), pengambilan keputusan di bawah tekanan kerap dikendalikan oleh Cognitive Bias. Misalnya, Indonesiaberisiko terjebak framing bias, melihat episode ini hanya sebagai disrupsi sesaat, bukan sebagai titik balik stratejik. Present bias pun bisa saja menjebak Pemerintah untuk sekedar memberi respons jangka pendek seperti subsidi dan insentif pajak secara instan. Sementara perilaku loss aversion dapat berpotensi menggoda Pemerintah  untuk menunda realokasi sumber daya yang ada untuk reformasi struktural yang lebih dalam.

Fakta di lapangan memperparah tantangan. Menurut Indeks Performa Logistik (LPI) Bank Dunia 2023, Indonesia berada di peringkat 63 — jauh tertinggal dari Vietnam (43), Thailand (34), dan Malaysia (26). Biaya penanganan kontainer 20–40 persen lebih mahal. JETRO 2024 mencatat, perusahaan Jepang harus menunggu 4–6 hari lebih lama di pelabuhan Indonesia dibanding Vietnam atau Thailand. Kepercayaan investor terkikis di dunia rantai pasok yang menuntut kecepatan dan transparansi.

Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) di Batam, Kendal, dan Subang belum bertransformasi dari zona insentif pajak menjadi platform tata kelola. Sementara Vietnam dan Malaysia sudah menerapkan e-sertifikasi berbasis blockchain, sistem sertifikasi Indonesia masih terfragmentasi — membuat investor ragu.

Dari perspektif game theory, EO 14257 sejatinya tak sekedar gertak sambal, melainkan strategi Tit-for-Tat yang diiterasi Trump di kontenstasi geopolitik global. AS tengah menguji siapa yang akan menyelaraskan posisi (realigning), siapa pembangkang, dan siapa yang diam. Karena itu, Indonesia perlu mengirim sinyal stratejik yang kuat kepada AS bahwa kita siap menyesuaikan — bahkan ikut membentuk dan menjadi pemimpin kawasan ASEAN di rezim dagang baru yang kelahirannya dibidani oleh Trump dan Navarro.

Salah satu sinyal stratejik yang dapat dikirimkan Presiden Prabowo adalah dengan mengupayakan reaktivasi status Generalized System of Preferences (GSP) dari AS. Di bawah US Trade Act 1974, GSP menguntungkan Indonesia selama tiga dekade sebelum akhirnya dicabut tahun 2020 karena isu hak-hak ketenagakerjaan dan pelanggaran Kekayaan Intelektual. Dengannya, lebih dari 3.000 produk Indonesia bebas masuk ke pasar AS tanpa bea. Pemulihan GSP bukan hadiah, tapi peluang yang harus dijemput, asal disertai reformasi riil di aspek tenaga kerja dan kekayaan intelektual.

Strategic Positioning Kawasan

Tak kalah penting adalah strategic positioning kawasan. Indonesia perlu memperkuat integrasi dalam RCEP dan forum BRICS+. Ini bukan sekadar perjanjian dagang, tapi strategi geopolitik yang jitu dan terukur untuk meredam dominasi bipolar adikuasa AS versus China.

Jendela masih terbuka, namun mungkin tak akan lama. Oversupply kedelai AS akibat balasan tarif China(34%), bisa dimanfaatkan Indonesia sebagai bahan baku murah untuk pakan ternak, tempe, dan ekspor agro. Dengan demikian, ketahanan pangan nasional semestinya merasakan dampak positif. Produk elektronik dan semikonduktor tertentu pun masih bebas tarif menurut EO 14257— peluang ini bisa diraih jika disertai joint venture dan sistem pelacakan yang kredibel.

Ada tantangan yang bahkan jauh lebih besar, yakni menjaga ketahanan ekonomi makro. Jika ekspor kita melemah, maka defisit transaksi berjalan hanya bisa ditutup melalui peningkatan tabungan, pengurangan investasi, atau penghematan fiskal. Tapi jika FDI surut dan ruang fiskal menyempit, maka persamaanmatematika ekonomi ini menjadi lumpuh. Inilah kritik utama yang dilontarkan Olivier Blanchar, Profesor Ekonomi Emeritus Robert M. Solow di Massachusetts Institute of Technology (MIT). Maka untuk menangkap peluang dari perang tarif, FDI dan kesinambungan fiskal adalah kunci kemanangan, dan KEK dapat menjadi senjata.

Indonesia kini berdiri di persimpangan: menunggu dan terpinggirkan, atau mengembangkan layar dan memimpin. Ancaman terbesar bukanlah tarif itu sendiri, melainkan lunturnya kepercayaan global yang datang pelan-pelan lewat eksklusi diam-diam dari rantai pasok yang strategis.

Thomas Schelling pernah berkata, “The power to hurt is bargaining power.” Tapi di dunia yang tercerai berai saat ini, kekuatan untuk memberi kepastian dan keyakinan — lewat reformasi, keluwesan adaptasi, dan kekuatan narasi — adalah alat tawar yang sesungguhnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading
oleh Raden Trimutia Hatta Diperbarui 22 Apr 2025, 16:00 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2025, 16:00 WIB

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya