Liputan6.com, Jakarta - Apakah ini saat yang tepat untuk menjadi dramatis? Benar sekali. Dengan meningkatnya dampak gelombang digitalisasi terhadap setiap perusahaan dan keseluruhan ekonomi global, saya rasa tidak ada seorangpun yang bisa bersikap terlalu dramatis.
Istilah seperti paranoia, kekacauan total dan pentingnya strategi untuk sesuatu yang tidak diketahui, saya gunakan untuk menggambarkan isu dan tantangan yang kerap menghantui para dewan eksekutif pada saat ini - dimana mereka memasuki sebuah perjuangan untuk bertahan hidup yang ditentukan hanya oleh satu-dua klik mouse saja.
Coba saja pikirkan, setengah dari 500 perusahaan Fortune dari tahun 2000 telah menghilang: Darwinisime Digital telah merambah dan kita sedang berada di tengah-tengah pusarannya.
Advertisement
Tapi hal ini tidak sebanding dengan “tsunami” yang dapat mendominasi manufaktur dalam 10 tahun ke depan. Peta industri dan manufaktur di tahun 2025 akan jauh berbeda dari saat ini, dan setiap aspek “tradisional” perusahaan harus diinovasikan ke dalam bidang digital, lagi dan lagi untuk dapat bertahan hidup. Kesiapsiagaan untuk bertindak cepat tidak bisa lagi kita abaikan.
Negara-negara di Asia, terutama yang perekenomiannya tengah berkembang, sedang berada dalam tahap industrialisasi. China, India, Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand telah disebut ‘negara industri baru’ karena pertumbuhan ekonominya yang cepat.
Salah satu cara untuk dapat menjamin konsistensi pertumbuhan ini dan tetap kompetitif yaitu dengan mengadaptasikan inovasi Industri 4.0, yang merupakan aspek paling relevan dalam digitalisasi di Asia.
Kenapa? Menurut PWC, 40% perusahaan industri di Asia Pasifik menyebut tingkat digitalisasinya termasuk tinggi, dan nilai ini akan tetap meningkat hingga 69 persen dalam lima tahun mendatang. Hal ini tentu menjadi sangat relevan dengan negara berkembang, dimana mereka memiliki kelebihan dibandingkan negara maju mengingat hijaunya lahan dan potensi digitalnya.
Istilah “potensi digital” inilah yang menjadi medan industri di abad ke-21. Potensi digital yang sejati dapat dicapai ketika sebuah perusahaan telah menjadi perusahaan digital secara menyeluruh: dengan produk fisik sebagai tonggaknya, dibungkus dengan antarmuka digital dan pelayanan inovatif yang berbasis data.
Lapisan digitalisasi ini harus tetap ada di Asia. Kita tidak bisa membiarkan pihak luar mengendalikan masa depan inovasi manufaktur, yang merupakan sumber penghasilan dan kekayaan sebuah wilayah, jatuh ke pergerakan kompetitor dan pergerakan ekonomi yang berjalan lebih cepat,dan hanya fokus pada peningkatan mutu produk saja.
Namun, aset yang diperlukan untuk melawan ancaman kompetisi dari kawasan yang jauh lebih kompetitif di luar Asia dan menjadikan hal ini sebagai kesempatannya, hanya datang sekali dalam satu generasi, jika kamu beruntung, dan tidak ada lagi momen yang lebih cocok selain generasi ini. Hal ini terjadi tepat di depan mata kita sendiri.
Singapura merupakan contoh negara kawasan yang tidak hanya menyediakan tenaga kerja yang sangat terdidik, ekosistem investasi bisnis ramah, insentif penelitian dan pengembangan yang banyak, kualitas infrastruktur dan pemerintahan yang bagus, tetapi juga memiliki kemampuan untuk mendorong potensi digitalnya dengan semangat kepeloporannya akan bisnis dan teknologi.
Baca Juga
Negara dalam kawasan yang sama dapat turut bekerja sama dengan mengaplikasikan keahliannya dalam bidang teknologi untuk mendorong potensi Asia menjadi sebuah raksasa ekonomi global.
Saya menggunakan istilah aset secara sadar. Silicon Valley merupakan aset yang ingin ditiru oleh seluruh dunia: Silicon Plateau, Silicon Gulf, Silicon Bog, dan Silicon Glen merupakan sekian dari banyak nama yang ingin meniru Amerika Serikat, tapi kenapa harus meniru di saat kamu bisa melakukan sesuatu sesuai kekuatanmu, kekuatan nasionalmu?
Dan di Asia kita beruntung memiliki kekuatan nasional beragam, yang telah menjadi pondasi dari kolaborasi dan perkembangannya.
Saat ini di Asia kita telah memiliki klaster industri. Dalam 2016 Global Manufacturing Competitiveness Index dinyatakan bahwa klaster industri ini didorong oleh bakat dan inovasi - China, Jepang, dan Korea merupakan tonggak dari klaster ini.
Hal ini turut didukung oleh Singapura dan Taiwan, dimana dalam penelitian ini mereka dinobatkan sebagai yang paling kompetitif karena fokus mereka dalam ekspor high-tech.
Yang menariknya, Malaysia, India, Thailand, Indonesia dan Vietnam dilabeli sebagai “The Mighty Five” oleh Deloitte karena mereka menjadi tujuan favorit dalam pembelian bahan manufaktur alternatif yang murah. Kawasan ini akan terus mendominasi pasar yang kompetitif ini, dan inilah yang harus kita pertahankan.
Untuk mencapai hal ini, setiap perusahaan manufaktur harus berbasiskan digital. Pelayanan digital merupakan masa depan dari manufaktur (dan beberapa industri lain tentunya): inovasi masa depan, pendapatan masa depan, keuntungan masa depan akan bergantung pada software dan pelayanan digital yang disediakannya.
Negara-negara di Asia harus belajar untuk berkolaborasi dan berinovasi bersama untuk tetap dapat bersaing dan menguatkan posisi Asia sebagai kawasan ekonomi raksasa dunia berikutnya. Berita bagusnya yaitu bahwa model kolaborasi dan inovasi ini merupakan corak Industri 4.0: integrasi antara industri dan IT, yang telah menjadi sebuah proses bisnis.
Contohnya bisa kita lihat pada Chongqing Connectivity Initiative (CCI) antara Cina dan Singapura, dimana kedua negara memperdalam kerjasamanya dalam upaya menciptakan konektivitas IT yang cepat antara Cina Barat dan Asia Tenggara dengan Singapura-Chongqing Digital Super Highway.
Pendekatan ini juga menjadi kekuatan Asia. Sekarang, industri software tidak lagi bisa berdiri sendiri, disamping apa yang telah mereka lakukan hingga saat ini - mereka juga harus turut menjadi bagian yang integral dari industri tersebut. Saya sebut demikian karena ini memang menjadi sumber pendapatan masa depan bagi semua sektor industri: sumber utama bagi perkembangan masa depan untuk kawasan ini.
Variasi akan tradisi dan kemampuan Asia juga menjadi kekuatannya. Keberagaman dalam pendekatan, pemikiran, dan inovasi merupakan dasar untuk memaksimalkan kemampuan Industri 4.0 yang unik dan inovatif bagi perusahaan ini.
Saya juga yakin bahwa dengan keberagaman kawasan ini dan meningkatnya keterbukaan akan menumbuhkan sarang talenta global, yang terbebas dari agama, lokasi geografis atau aspek keberagaman lainnya. Bersama-sama mari kita manfaatkan kesempatan ini; “Perang Talenta” tengah terjadi saat ini.
Sekarang adalah waktunya untuk mengeksekusi, bukan hanya berdiskusi tentang bahaya dan “kenapa tidak,” atau hanya sekedar menunggu dan melihat.
Saat ini waktunya untuk beraksi dengan cepat. Fakta bahwa Asia telah berjalan menuju pembangunan masa depan ini, sekarang, juga telah menjadi hal yang dramatis untuk anak dan cucu kita.
**Informasi ini diadaptasi dari byline article milik Karl Heinz di The European Business Review. Didedikasikan untuk Mike Saxton, Senior Vice President, Software AG Asia Pasifik & Jepang.
Tonton Video Menarik Berikut Ini: