RUU Penyiaran 2017, Antara Progres Teknologi dan Ancaman Monopoli

RUU Penyiaran 2017 telah beredar di masyarakat, namun beberapa ketentuan dalam RUU ini tidak sejalan dengan tujuan penyelenggaraan penyiaran

oleh Liputan6.com diperbarui 30 Mei 2017, 19:22 WIB
Diterbitkan 30 Mei 2017, 19:22 WIB
Kamilov Sagala
Kamilov Sagala Ketua Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII). Liputan6.com/Triyasni

Liputan6.com, Jakarta - Perkembangan dunia pertelevisian di Indonesia kian meningkat. Jika dulunya hanya ada TVRI, saat ini telah bermunculan stasiun-stasiun televisi baik nasional, stasiun televisi jaringan, stasiun televisi berbayar dan stasiun televisi lokal yang tersebar di berbagai wilayah di Indonesia.

Kehadiran stasiun-stasiun televisi selain TVRI ini merupakan wujud tumbuhnya persaingan antar pelaku-pelaku usaha di industri penyiaran televisi.

Hal ini kemudian menjadi cikal bakal lahirnya organisasi media penyiaran televisi, seperti Asosiasi Televisi Swasta Indonesia (ATVSI), Asosiasi Televisi Lokal Indonesia (ATVLI), dan Asosiasi Televisi Jaringan Indonesia (ATVJI).

Terkait dengan penyiaran, sebelumnya telah diatur pada Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran. Namun dengan beberapa pertimbangan, di antaranya bahwa Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tentang Penyiaran sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan teknologi penyiaran, sosial kemasyarakatan, dan kebutuhan hukum masyarakat.

Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia saat ini telah membuat Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Penyiaran untuk merevisi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2002 tersebut.

Cita-cita mulia lahirnya ide revisi sebenarnya adalah pengalihan dari frekuensi analog ke digital atau dikenal dengan sistem multipleksing. Tujuan multipleksing adalah untuk menghemat jumlah saluran fisik, misalnya kabel, pemancar & penerima (transceiver) atau kabel optik.

RUU Penyiaran 2017 sendiri telah beredar di masyarakat, namun beberapa ketentuan dalam RUU ini tidak sejalan dengan tujuan penyelenggaraan penyiaran yakni mewujudkan industri penyiaran sehat.

Banyak kontradiksi antara tujuan yang ingin diwujudkan dengan ketentuan/ aturan yang ditetapkan dalam ketentuan pada RUU tersebut sehingga wajar jika terjadi perdebatan.

Seharusnya negara dalam membuat aturan yang sudah masuk dalam sektor publik perlu memperhatikan banyak aspek agar aturan yang dibuat tidak menimbulkan perdebatan panjang dan mengabaikan kepentingan sebagian pihak.

Kompetisi Tidak Sehat

Salah satu hal yang menimbulkan perdebatan dalam RUU Penyiaran yaitu terkait pengelolaan multipleksing. Dalam RUU Penyiaran 2017 ini diserahkan kepada multiplekser tunggal (single mux).

Lembaga Penyiaran Publik (LPP) Radio Televisi Republik Indonesia atau RTRI ditetapkan sebagai multiplekser tunggal, yang alternatifnya untuk siaran televisi diberikan kepada lembaga penyiaran televisi publik yaitu TVRI.

Terlepas dari apakah TVRI pada kenyataannya seperti belum mampu menguatkan eksistensinya sebagai penyelenggara televisi publik, penetapan atau konsep single mux ini sebenarnya mengarah pada tindakan monopoli. Hal ini jelas melanggar ketentuan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1999 Tentang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat.

Dalam Pasal 20 RUU Penyiaran ayat (1) ini jelas menyebutkan bahwa “Model migrasi dari penyiaran analog ke digital adalah multiplekser tunggal”. Selanjutnya dalam ayat (2) disebutkan pula bahwa “Frekuensi dikuasai oleh negara dan pengelolaannya dilakukan oleh Pemerintah”.

Sementara jika frekuensi siaran (slot kanal) nantinya diserahkan atau dikuasai oleh satu pihak (otoritas tunggal), maka sangat besar potensi penyalahgunaan wewenang (abuse of power).

LPS menjadi tidak memiliki kemerdekaan dalam publikasi konten karena berada di bawah bayang-bayang kekuasaan mux operator melalui mekanisme sensor untuk mendapatkan izin penggunaan frekuensi siaran.

Penguasaan mux operator atas faktor inilah yang mengarah pada perbuatan monopoli dan jelas mengabaikan ketentuan peraturan perundang-undangan lainnya. 

Penguasaan atas faktor produksi (dalam hal ini yang dimaksud adalah frekuensi siaran/ slot kanal melalui mekanisme sensor) oleh TVRI (meskipun tidak secara eksplisit merujuk pada penguasaan oleh Pemerintah) adalah salah satu kegiatan yang menunjukkan bahwa ada posisi dominan oleh pemerintah yang diduga berpotensi disalahgunakan untuk membatasi pasar industri penyiaran.

Penguasaan yang mengarah pada pembatasan ini dapat mengakibatkan terjadinya praktik monopoli dan atau persaingan usaha tidak sehat, sehingga sangat nyata bahwa konsep single mux bukannya mengarahkan pada tujuan meningkatkan daya saing atau pun menciptakan iklim usaha sehat.

Proses Digitalisasi Melambat

Selain mengarah pada ancaman monopoli, proses digitalisasi yang diharapkan akan cepat menjadi lambat karena mux operator harus mengakomodasi banyak media yang tentunya akan membutuhkan kapasitas infrastruktur digitaliasi (menara, antena, dan lain-lain) dalam jumlah yang sangat besar. Sementara infrastruktur televisi analog yang dimiliki oleh LPS menjadi tidak bermanfaat.

Pemerintah, khususnya Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo), seharusnya dapat melihat polemik ini, sehingga tidak serta merta memberikan usulan kepada Panja Penyiaran Komisi I DPR RI hanya dengan melihat satu aspek tanpa mempertimbangkan masukan dari stakeholder penyiaran.

Tidak akomodatifnya Menkominfo dalam menciptakan kebijakan ini dilihat dengan dasar utama mendorong peningkatan kontribusi LPS pada negara dengan membandingkan dua hal yang sama sekali tidak relevan.

Kontribusi LPS (industri penyiaran) dibandingkan dengan operator telekomunikasi seluler (industri telekomunikasi) adalah dua industri yang sangat berbeda, baik dalam hal karakter layanannya, sumber pendapatan sampai pada persoalan jumlah pelaku yang berkecimpung dalam masing-masing industri.

Sebenarnya, semua asosiasi penyiaran seperti ATVSI, ATVJI, maupun ATVLI telah menawarkan solusi terkait polemik sistem single mux dalam RUU penyiaran ini. Solusi ini tentunya jauh dari ancaman monopoli. Ini adalah sistem hybrid, sebuah sistem penyiaran digital yang mux-nya tidak tunggal tetapi gabungan antara LPP dan LPS.

Penerapan sistem hybrid dalam penyelenggaraan penyiaran multipleksing sebagai bentuk nyata demokratisasi penyiaran, yang penggabungan multiplekser akan mengakomodir kepentingan pihak-pihak baik yang memiliki kepentingan komersil maupun yang tidak.

Sistem hybrid akan menjadikan ketersediaan kanal untuk program-program baru menjadi bertambah, termasuk untuk mengantisipasi perkembangan teknologi penyiaran di masa yang akan datang. Di antaranya televisi UHD4K, UHD 8K, dan Hybrid Broadband Broadcast Television (HbbTV).

Usulan RUU Penyiaran oleh Kemkominfo Tidak Relevan

Dalam usulan Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), PNBP Industri Penyiaran dan PNBP Industri Telekomunikasi dibandingkan sebagai dasar usulan. Perbandingan itu jelas tidak relevan atau tak apple to apple.

Membandingkan PNBP dari kedua industri yang secara nature layanannya sudah berbeda tentu akan menimbulkan penafsiran dan praduga yang tidak benar. Oleh karena itu Menkominfo harus jeli dan teliti dalam memberikan perbandingan dan pernyataan.

Perlu diketahui bahwa karakter layanan dari LPS yaitu memberikan tayangan kepada seluruh pemirsa secara cuma-cuma Free To Air (FTA), sedangkan operator telekomunikasi membebankan pembayaran terhadap setiap layanan yang digunakan pelanggan (subscripction payment system).

Sumber pendapatan LPS hanya berasal dari penayangan iklan, itu pun saat ini telah ada pembatasan jumlah durasi, sedangkan sumber pendapatan oleh operator telekomunikasi berasal dari berbagai sumber, mulai dari proses aktivasi, penggunaan airtime yang berlaku per detik, pendapatan roaming internasional, pengaktifan atau pemakaian layanan data termasuk juga iklan.

LPS merupakan sebuah kegiatan komunikasi massa yang memiliki fungsi sebagai media informasi, pendidikan, dan hiburan serta perekat sosial yang sifatnya masif, sedangkan industri telekomunikasi bersifat private. LPS menanggung sendiri risiko atas pembelian konten-konten yang berkualitas, seperti World Cup, Formula One, dan program berlisensi lainnya.

Biaya pengadaan konten tersebut hanya dapat dikembalikan apabila mendapatkan rating dan share yang tinggi sehingga pengiklan tertarik untuk membeli spot iklannya.

Sebaliknya, pada industri telekomunikasi yang menyediakan layanan voice dan data serta konten-konten yang disiarkan dan konten lainnya akan dibebankan dan dibayar oleh pelanggan.

Besarnya belanja iklan bersih (net advertising expenditure) industri FTA adalah Rp 15 triliun sedangkan pendapatan para operator telekomunikasi mencapai Rp 203 triliun (2016).

Di industri penyiaran, khususnya LPS tidak akan pernah dapat menyaingi besarnya total pendapatan yang diperoleh operator telekomunikasi.

Ke depannya, pangsa pasar LPS atas belanja iklan akan stagnan dan cenderung menurun karena media untuk menayangkan iklan semakin banyak, termasuk over the top dan jaringan telekomunikasi sebagai konsekuensi dari perkembangan teknologi digital dan konvergensi media.

**Penulis adalah Kamilov Sagala, Ketua Lembaga Pengembangan Pemberdayaan Masyarakat Informasi Indonesia (LPPMII). Sebelumnya, Kamilov merupakan anggota Komisi Pengawas Kejaksaan Republik Indonesia (Komjak RI) periode 2010-2015.

 

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya