Ketua KPU: Belum Ada Sanksi untuk Petahana Tolak Cuti Kampanye

Secara aturan tidak ada sanksi bagi petahana yang menolak cuti kampanye. Mendagri Tjahjo Kumolo menyebut diatur dalam peraturan KPU (PKPU).

oleh Nanda Perdana Putra diperbarui 14 Agu 2016, 14:19 WIB
Diterbitkan 14 Agu 2016, 14:19 WIB
20150827-Juri Ardiantoro-Jakarta
Juri Ardiantoro (Liputan6.com/HelmiFithriansyah)

Liputan6.com, Jakarta - Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama atau Ahok mengajukan uji materi atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi (MK) terkait keharusan cuti kampanye bagi petahana, yang telah diatur dalam Undang-undang (UU) Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada. Dia mengaku enggan cuti jika jadi calon gubernur nantinya.

Terkait hal itu, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Juri Ardiantoro mengatakan, hingga kini belum ada sanksi yang bisa diberikan, meski nantinya Ahok bersikeras tidak mengajukan cuti. Sebab, memang belum ada aturan yang mengatur hal tersebut.

"Dari sisi penyelenggaraan pemilunya, cuti atau tidak, sampai sekarang belum ada rumusan sanksinya," tutur Juri di depan Gedung Badan Pengawasan Pemilu (Bawaslu), Jalan MH Thamrin, Jakarta Pusat, Minggu (14/8/2016).

Dia menjelaskan, meskipun dalam UU pilkada disebutkan adanya kewajiban atau keharusan mengajukan cuti, namun UU tersebut tidak menyebut adanya sanksi, bagi petahana yang enggan mengajukan cuti. "Kalau di UU tidak menyebut sanksi," jelas dia.

Siapa yang berwenang memberikan sanksi terkait persoalan itu pun, menurut dia, belum ditetapkan.

"Makanya kewenangan membuat sanksi terkait dengan pimpinan daerah yang tidak mengambil cuti, apakah dari penyelenggara pemilu atau dari pemerintah. Kan yang memberikan izin cuti pemerintah," pungkas Juri.

Sebelumnya, Ahok mengajukan uji materi Undang-undang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) ke Mahkamah Konstitusi (MK). Ahok ingin pasal yang mengatur calon petahana wajib cuti selama masa kampanye diubah.

Menurut dia, langkah yang diambilnya ini, bukan berarti tidak menghormati UU. Ahok justru meyakini uji materi merupakan langkah yang sesuai dengan konstitusi dan menghormati UU yang ada.

"Makanya saya telah menghormati UU, saya bisa menjadi kepala daerah karena saya menghormati konstitusi. Adanya Mahkamah Konstitusi supaya orang bisa melakukan judicial review untuk menanyakan apakah ini bertentangan dengan konstitusi dasar," ujar Ahok di Balai Kota Jakarta, Kamis 4 Agustus 2016 lalu.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya