Liputan6.com, Jakarta Jelang putusan Mahkamah Konstitusi (MK) terkait sengketa Pilpres 2024 pada 22 April, sejumlah aktivis mengumandangkan perlunya pengadilan rakyat atau mahkamah rakyat untuk mengungkap dugaan kecurangan pemilu.
Ahli Sejarah Indonesia Asvi Warman Adam mengaku sudah pernah melihat Pengadilan Rakyat yang dilakukan pihak Indonesia. Pengadilan itu dikenal International People's Tribunal mengenai kejahatan 1965 itu diadakan di Denhag, Belanda, pada 2015 yang disebut IPT 1965.
Dia pun mengatakan rakyat Indonesia bisa membawa kecurangan Pilpres 2024 itu ke pengadilan tersebut.
Advertisement
"Karena ada keinginan untuk melakukan hal itu di Indonesia setelah berlangsungnya Pemilu 2024 ini," kata Asvi dalam sebuah diskusi daring bertajuk Mahkamah Rakyat untuk Keadilan Pemilu, Perlukah?, Senin (15/4/2024).
Dia menceritakan pengadilan rakyat mengadili Peristiwa 65 dilakukan karena upaya-upaya hukum yang sudah dilakukan sejak era Reformasi itu menemui kegagalan. Ribuan jiwa melayang pada peristiwa tersebut sehingga rakyat menuntut keadilan terhadap lima Presiden RI.
"Upaya ini menemui kegagalan pada 2006. Bukan hanya kegagalan, namun proses penyelenggaraan pengadilan itu juga berlangsung tidak dengan lancar karena mereka yang bersaksi ataupun mereka yang akan datang ke pengadilan itu diganggu oleh ormas macam FPI dan lain-lain. Beberapa waktu kemudian muncul upaya yang lain dari sekadar tuntutan di pengadilan," kata Asvi.
Sementara, Direktur Eksekutif Amnesty Internasional Indonesia Usman Hamid menuturkan, masyarakat sipil perlu mendorong pelaksanaan pengadilan rakyat agar dunia mengetahui praktik tak lazim dalam Pemilu 2024.
Pasalnya, menurut dia, ini bukan sekadar pelanggaran pemilu biasa, tetapi suatu orkestrasi penyalahangunaan kekuasaan yang berlangsung sebelum pemilu dilaksanakan.
"Saya kira catatan penutup dari komite Ham PBB pada sidang-sidang di Maret yang lalu, yang mempertanyakan kepada pemerintahan Indonesia tentang dugaan korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan di dalam tindakan presiden yang mempengaruhi proses pemilu secara tidak pada mestinya untuk meloloskan putra presiden dalam hal ini Gibran Rakabuming Raka untuk lolos dalam larangan syarat usia 40 tahun yang sebelumnya dalam hukum pemilu. Hukum itu diubah dengan cara yang tidak semestinya," kata Usman.
Bukan Sekedar Pelanggaran Biasa
Usman menjelaskan dugaan ini akhirnya berkembang bukan sekadar pelanggaran pemilu biasa, tetapi sebuah penyalahgunaan kekuasaan yang mengubah hukum demi keuntungan pribadi dari Presiden Jokowi dan penyalahgunaan atau penyelewengan konstitusi.
"Ini harus dijawab oleh pemerintah Indonesia, dan mungkin catatan komite PBB tak berhenti di situ saja, seandainya ada Mahkamah Rakyat yang digelar masyarakat sipil Indonesia, harapan saya tentu ada sebuah laporan resmi yang bisa dituliskan di dalam bahasa Inggris dengan menunjukkan pelanggaran-pelanggaran Konstitusi, pelangaran peraturan perundangan yang terjadi di dalam pemilihan umum di Indonesia kepada PBB. Mungkin dengan demikian Indonesia bisa menoreh catatan bisa membuat yurisprudensi seperti Russel Tribunal untuk kejahatan pemilu atau isu ketidakadilan pemilu," jelas Usman.
Usman juga mengharapkan Mahkamah Rakyat ini segera bisa mulai digelar sebagai preemptive justice sehingga bisa didengar hakim Mahkamah Konstitusi (MK) RI sebelum mengambil keputusan. Menurutnya, hakim MK selayaknya mendengar suara civil society dan akademisi yang meragukan mutu Pemilu 2024.
Usman menceritakan, Pengadilan Rakyat ini sebenarnya suatu usaha untuk menembus kebuntuan keadilan di tingkat dunia, akibat dari suasana perang pada 60-an khususnya di Vietnam.
Advertisement
Sudah Ada Inisiasi di Yogyakarta
Dan ketika itu suasana perang itu membangun situasi semacam mencekam secara kebebasan di Amerika dan juga berbagai negara.
Dan untuk itulah filosof Inggris, Lord Bertrand Russell kemudian menggagas apa yang disebutnya sebagai Mahkamah Rakyat untuk kejahatan perang di Vietnam.
Narasumber lainnya dalam diskusi tersebut, Sejarawan Ita Fatia Nadia menambahkan dengan kondisi yang terjadi pada Pemilu 2024, di Yogyakarta sudah diinisiasi dengan sebutan rapat umum rakyat.
"Tujuannya memberikan, menciptakan legitimasi politik rakyat yang selama ini dihilangkan. Bukan untuk rapat umum semata tapi membangun tradisi legitimasi rakyat dimana rakyat bisa berpendapat," kata dia.