Liputan6.com, Jakarta - Mantan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengatakan, mantan napi korupsi yang terpilih dalam Pileg 2019 akan menjadi tragedi demokrasi.
Hal ini disampaikan Busyro saat membuka diskusi publik "Pemilu Berintegritas" di Gedung PP Muhammadiyah, Menteng, Jakarta Pusat, Selasa (4/9/2018).
"Kita mudah menandai sasaran korupsi kalau tidak infrastruktur, APBN, dan APBD. Ketika bidang ini dijarah wakil rakyat, dalam proses Pemilu dia akan mengalami beban moral. Dia memiliki riwayat yang buruk yang dia pernah menjadi napi korupsi dan dipilih lagi akan terjadi tragedi demokrasi. Ketika tragedi terjadi terus menerus, bukan hanya tragedi demokrasi, justru rakyat dikorbankan oleh Pemilu itu sendiri," kata Busyro.
Advertisement
Ketua PP Muhammadiyah ini mengatakan, KPU dan Bawaslu harus menjadi lembaga yang sama-sama memiliki visi, misi dan substansi yang sama. Dia pun menyayangkan Bawaslu yang meloloskan mantan napi korupsi menjadi caleg di sejumlah daerah.
Busyro mengatakan, kondisi demokrasi belakangan cukup memprihatinkan. Ia melihat demokrasi semakin liberal dan transaksional.
Dalam demokrasi transaksional, kekuatan modal akan menjadi penentu. Jika dibiarkan, ini akan berbahaya bagi masa depan demokrasi. Dampak demokrasi transaksional ini adalah krisis kepemimpinan. Rakyat kemudian yang akan merasakan dampaknya.
Â
Saksikan video pilihan di bawah ini:
Keputusan Bawaslu
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) telah meloloskan 12 mantan narapidana (napi) korupsi yang mendaftarkan diri sebagai bakal calon legislatif (caleg) di Pemilu 2019. Menurut Komisioner Bawaslu Rahmat Bagja, 12 bakal caleg itu diloloskan dengan alasan hak konstitusional.
"Keputusannya adalah hak konstitusional warga negara, hak dipilih dan memilih Pasal 28 J. Pasal 28 J ini jika ingin disimpangi maka penyimpangannya melalui undang-undang," kata Bagja di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Senin 3 September 2018.
Diketahui Komisi Pemilihan Umum (KPU) membuat peraturan tentang larangan mantan napi korupsi jadi caleg. Aturan itu tertulis dalam PKPU Nomor 20 Tahun 2019. Namun, peraturan itu ditentang oleh DPR, politisi dan Bawaslu karena dianggap melanggar Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Bagja mengatakan, jika ada aturan dalam PKPU dan Undang-Undang terkait hal tersebut, maka yang harus didahulukan dan ditaati terlebih dahulu adalah Undang-Undang. Dia juga mengatakan, yang dilakukan Bawaslu saat ini sudah sesuai dengan Undang-Undang yang ada.
"Dari awal sudah menyatakan ini akan bermasalah jika di masukan dalam PKPU dan KPU tetap masukan ini. Sempat diprotes juga oleh Kumham kan, nah anehnya syarat calon anggota berubah menjadi syarat pencalonan. Kalau konsisten dengan itu maka seluruh dapilnya harus hilang juga sesuai dengan syarat pencalonan," ujarnya.
Â
Reporter: Hari Ariyanti
Sumber: Merdeka.com
Advertisement