Inilah Empat Siklus dalam Bisnis Properti

Bagi Anda yang tertarik mencicipi manisnya bisnis properti, ada baiknya mencari tahu lebih dalam mengenai seluk beluknya

oleh Fathia Azkia diperbarui 28 Des 2016, 15:11 WIB
Diterbitkan 28 Des 2016, 15:11 WIB
Investasi properti
Investasi properti

Liputan6.com, Jakarta Dari sekian banyak jenis investasi di Indonesia, properti masih dinilai sebagai instrumen yang paling menjanjikan.

Bagaimana tidak, suatu saat harga emas bisa saja naik dan turun. Sedangkan dalam keadaan buruk sekalipun, jarang ditemui ada properti yang dihargai jauh dibawah harga pasaran, setidaknya di Indonesia.

Bagi Anda yang tertarik mencicipi manisnya bisnis properti, ada baiknya mencari tahu lebih dalam mengenai seluk beluknya berikut juga kondisi dan kriteria pasar.

Menurut pengamat properti Panangian Simanungkalit, tercatat ada empat fase siklus pasar properti yang terjadi di Tanah Air. Dan diyakini, setiap fasenya memiliki spesifik tersendiri, yang patut diamati untuk mengintip peluang investasi.

Pertama, Pasar Aktif (Active Market)

Pada fase ini, terjadi peningkatan permintaan yang tidak disertai peningkatan persediaan. Hal ini membuat harga naik, seiring dengan naiknya jumlah transaksi di pasar. Kondisi seperti ini terjadi pada saat suku bunga dan tingkat inflasi berada di titik paling rendah.

Contoh, pada tahun 1992, dimana bisnis perumahan terlihat begitu aktif. Meski harga naik, tetapi tingkat permintaan tetap tinggi. Di saat seperti ini, pengembang adalah raja, sehingga fase ini disebut sebagai seller’s market.

Kedua, Pasar Lembut (Soft Market)

Pada fase pasar lembut, terjadi peningkatan permintaan, tetapi relatif diimbangi oleh peningkatan persediaan. Hal ini membuat kenaikan harga akan mengakibatkan berkurangnya jumlah transaksi, lantaran calon pembeli memiliki lebih banyak pilihan.

Fase ini biasa disebut sebagai pasar seimbang (market equilibrium). Kondisi seperti ini umumnya terjadi setelah ekonomi booming, dimana tingkat inflasi mulai tinggi dan ikut mendongkrak suku bunga.

Sebagai contoh, pada 1990, dimana permintaan rumah masih tetap tinggi, namun penjualan menurun saat harga dinaikkan. Hal ini disebabkan harga pada saat pasar aktif telah mencapai titik jenuh.

(Baca juga: Investasi Properti Batam Makin Menggiurkan)

Pasar Bebal (Dull Market)

Di fase ini, terjadi penurunan permintaan, tetapi tidak disertai penurunan persediaan. Dengan demikian, harga secara otomatis akan turun.

Kondisi ini berlangsung saat ekonomi mulai terasa sulit (menuju resesi), dimana pemerintah melakukan pengetatan moneter, sementara suku bunga terus dinaikkan guna mengekang inflasi.

Contoh pada tahun 1997, dimana suplai masih tinggi, sementara permintaan terus menurun, karena daya beli masyarakat juga menurun. Di masa seperti ini, tak sedikit orang menjual properti, karena memerlukan dana likuid alias jual karena butuh.

Di pasar primer, melihat penjualan yang makin menurun, biasanya pengembang menurunkan harga jual dengan memberikan banyak insentif dan diskon.

Dengan demikian, pembeli akan menikmati keuntungan, karena bisa membeli properti dengan harga lebih murah. Oleh karena itu, fase ini sering disebut buyer’s market.

Pasar Lemah (Weak Market)

Di saat pasar lemah, terjadi penurunan permintaan, tetapi relatif diimbangi dengan penurunan persediaan. Fase ini berlangsung setelah masa resesi ekonomi, dimana kondisi ekonomi mulai normal dan menuju pada fase recovery (pemulihan).

Contoh, pada 1996 permintaan rumah turun akibat tingginya suku bunga KPR yang disertai dengan turunnya persediaan (supply), karena banyak pengembang menghentikan pembangunan.

Bila harga diturunkan—terutama pada pasar menengah ke bawah—dan pembeli diberi berbagai fasilitas dan kemudahan, maka tingkat penjualan bisa ditingkatkan.

Sumber: Rumah.com

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya