Liputan6.com, Balikpapan - Bulungan sekarang identik dengan nama kawasan di Blok M, Jakarta Selatan, yang menjadi tempat kongkow anak muda. Nyatanya, Bulungan merupakan nama sebuah kerajaan yang berada di perbatasan Indonesia - Malaysia.
Sejarah Kesultanan Bulungan dimulai pada 1771 dengan raja pertama Sultan Amril Mukminin yang berasal dari Sulawesi. Wilayah kekuasaannya meliputi seluruh wilayah Provinsi Kalimantan Utara; Sabah, Malaysia; hingga Sulu, Filipina, yang berpusat di tepi Sungai Kayan.
Sebanyak 13 generasi raja-raja Kesultanan Bulungan saat itu memerintah dengan bergelimpangan kekayaan yang didapat dari hasil hutan, sungai dan laut perbatasan Kalimantan.
Baca Juga
"Lapar, tinggal menangkap udang sebesar lengan anak-anak dan memancing ikan patin sebesar guling di Sungai Kayan. Hewan dan buah-buahan sangat gampang ditemui saat itu," kata Pemangku Sultan Bulungan Datuk Abdul Hamid saat ditemui di Istana Kesultanan Bulungan, beberapa waktu lalu.
Masa kejayaan Kesultanan Bulungan berlangsung berabad-abad sejak 1771 hingga 1938. Hebatnya, kesultanan bisa tegak berdiri tegak tanpa menarik upeti dari penduduk di wilayahnya.
Kesultanan Bulungan bahkan memiliki ratusan pasukan terlatih bersenjatakan senapan hingga meriam yang digunakan mengusir perompak yang marak di perbatasan.
"Susunan pemerintahan kerajaan kami cukup lengkap dari pengawal hingga menteri yang mengatur pemerintahan dalam negeri," ujar Hamid.
Masa Penjajahan
Masuknya kolonial Belanda di Kalimantan ternyata tak mampu menggoyahkan eksistensi Kesultanan Bulungan saat itu. Keberadaan tentara penjajah justru memperkuat pertahanan dan keamanan Kesultanan Bulungan melawan kerajaan lain di sekitarnya.
"Mereka baik pada kami dan menawarkan keamanan Kesultanan Bulungan. Itu yang membuat ada perjanjian keamanan yang disepakati antara Kesultanan Bulungan dengan Belanda," ucap Hamid.
Sebagai gantinya, Belanda berhak mengeksploitasi sumber minyak dan gas di Tarakan yang saat itu dalam kekuasaan Kesultanan Bulungan. Hasil penjualan sumber energi itu kemudian dibagi dengan Kesultanan Bulungan.
Pendapatan itu selanjutnya digunakan untuk membangun jalannya pemerintahan, termasuk pendidikan para keluarga raja.
"Kami senang saja saat itu karena memang saat itu hanya tahu soal ikan, hewan dan buah-buahan saja yang melimpah," ucap Hamid.
Kedekatan juga dibangun antara Kesultanan Bulungan dengan tentara Jepang. Baik keluarga raja maupun masyarakat tidak pernah merasakan kerja paksa atau bentuk penindasan lain. Kedekatan emosional pun tercipta.
"Kondisi saat itu beda halnya dengan di Jawa di mana ada kemiskinan, kerja paksa dan penindasan Belanda dan Jepang pada rakyat. Di sini, semua baik-baik saja dan kerja sama berjalan baik," Hamid menuturkan.
Meski begitu, Kesultanan Bulungan sepakat untuk bergabung dengan Indonesia di bawah kesepakatan Konvensi Malinau yang dihadiri seluruh raja-raja nusantara pada 7 Agustus 1949.
"Presiden Sukarno kemudian menunjuk kami sebagai kepala daerah di wilayahnya masing masing," ujar dia.
Advertisement
Tragedi Pembantaian
Konfrontasi melawan Malaysia akhirnya menjadi cikal bakal kehancuran Kesultanan Bulungan, pada 1964 silam, karena dianggap berafiliasi dengan negeri jiran.
Petinggi tentara di Kalimantan menuduh seluruh keluarga Kesultanan Bulungan membantu berdirinya Malaysia yang saat itu mendapat dukungan dari Inggris. Tuduhan itu berakhir tragis. Sebagian besar anggota kerajaan dieksekusi.
Dia mengenang, "Brigadir Jenderal Suharyo memerintahkan anak buahnya membantai kami tanpa alasan yang jelas. Setidaknya 50 keluarga saya dieksekusi di Tarakan karena dianggap membantu Malaysia, termasuk keluarga raja tertua, Raja Muda."
Tentara bersama rakyat kemudian menjarah seluruh harta benda Kesultanan Bulungan berupa ratusan benda-benda antik buatan Tiongkok dan Eropa. Istana kerajaan yang berusia ratusan tahun di lahan seluas 6 hektare juga dibakar tanpa meninggalkan bekas sedikit pun.
"Bangunan sekarang ini dibangun Pemda Bulungan sesuai bentuk istana kesultanan yang dulu," ucap dia.
Datuk Abdul Hamid menjadi salah satu keluarga Kesultanan Bulungan yang tersisa. Sendirian, dia berjuang mempertahankan warisan sejarah Kesultanan Bulungan yang nilai kebesarannya sebenarnya tidak kalah jika disandingkan kerajaan lain di nusantara.
Sudah berulang kali Datuk Abdul Hamid menyurati para pemimpin pemerintah sejak zaman Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarnoputri dan Susilo Bambang Yudhoyono, tapi tak ada tanggapan.
Keturunan raja terakhir itu hanya memohon agar pemerintah menjaga tapak sejarah Kesultanan Bulungan seperti halnya Kerajaam Mataram yang kini beralih jadi Yogyakarta.
Ia berharap agar pemerintah membangun kembali istana Kesultanan Bulungan, Lamin, hingga makam keluarga raja di kawasan Gunung Putih. Berdasarkan perhitungan dia, dana yang dibutuhkan mencapai Rp 3,3 miliar.
"Kami hanya ingin agar peninggalan sejarah Kesultanan Bulungan bisa terawat. Potensinya juga bisa menjadi obyek wisata sejarah di Kaltara di masa mendatang," pinta dia.
Hamid beranggapan pemerintah harus mampu menjaga warisan sejarah Kesultanan Bulungan ini yang kekuasaanya sudah dihibahkan pada negara sejak konvensi Malinau pada 66 tahun silam.
"Kalau memang tidak dihargai, lebih baik kami cabut kembali hak kekuasaan Kesultanan Bulungan dari Indonesia," dia menegaskan.Â