Liputan6.com, Semarang - Seorang gadis cilik bernama Safira Salsabila mengendarai sepedanya di Jalan Sleko Nomor 17, Semarang. Saat melewati sebuah bangunan berpenanda tulisan 'Anno 1897', ia mengayuh sepedanya lebih cepat seakan ingin segera menjauh dari gedung itu. Kayuhan sepedanya melambat saat terdengar suara kereta melintas.
Entah apa yang dihindari, tapi bangunan tua itu memang sepi. Situasi itulah yang membuat Safira tak nyaman, meski jam di tangannya masih menunjukkan pukul 10.16 WIB.
"Enggak takut sih, kan siang. Cuma rasanya enggak nyaman saja," kata Safira kepada Liputan6.com, saat ditanya alasannya mempercepat laju sepedanya, pada Senin, 28 Desember 2015.
Gedung tua yang sepi itu sejatinya adalah sebuah saksi sejarah saat Semarang memiliki sistem pengelolaan energi yang cukup tertata. Gedung tersebut adalah bekas kantor Nederlandsch Indische Gas Maatschappij atau pabrik gas yang dibangun pada masa pemerintahan kolonial Belanda.
Baca Juga
Warga di sekitar gedung itu banyak yang bekerja di gedung tersebut pada periode 1897-1980-an. Suroto, Karman, Samingan, Syawal, Wahnen, Sugimin, dan Sadimin adalah nama-nama warga setempat yang sempat menggantungkan hidupnya dari pabrik gas itu.
Anwari, penjaga gedung itu, menuturkan bahwa lokasi itu memang menjadi pengolahan batu bara menjadi gas. Ayah Anwari yang bernama Sugimin dulu juga bekerja di bangunan yang memiliki areal lahan seluas 4.979 meter persegi itu. Saat itu Sugimin bekerja di bagian produksi.
"Saat masih aktif, bahan baku batubara didatangkan dengan kapal dari pelabuhan melalui Kali Semarang dan dengan kereta api. Rel kereta api masih ada, tetapi sekarag sudah terpendam tanah. Sebab ketika Kali Semarang meluap, kawasan pabrik terendam," kata Anwari.
Anwari menuturkan masa kecilnya dihabiskan di Kampung Tikung Baru yang dulu dikenal dengan nama Baru Tikung, sebuah kampung yang disegani karena dianggap kampung preman.
Ia ingat bau teer saat pembakaran batu bara selalu tercium karena lokasi kampung yang tak jauh dari pabrik. Apalagi cerobong asap pabrik tidak terlalu tinggi.
Anwari mengenang saat kecil dia dan teman-temannya sering menumpang kereta pengangkut batu bara ke pabrik.
Advertisement
"Ayah saya ada di kereta itu berangkat kerja. Saya dan teman-teman menumpang, pulangnya jalan kaki," kata Anwar.
Setelah proses pemasakan batubara menjadi teer, gas yang dihasilkan ditampung ke dalam 2 tangki besar yang ada di belakang gedung Kleine Boom en Uitkijk atau menara syahbandar dan mess yang ada di sisi timur pabrik.
Setelah itu, gas disalurkan melalui pipa untuk menerangi kawasan Kota Lama dan jalan-jalan di Kota Semarang saat itu.
"Berjaya sebelum 1980. Untuk mempermudah akses karyawan masuk ke pabrik dari mess agar tidak menyeberang rel, dulu ada terowongan. Karena ada proyek rel ganda, terowongan sudah diuruk," Anwari menambahkan.
Ketika pasokan bahan baku batu bara menipis, perusahaan kemudian menggunakan minyak tanah yang diambil dari Cilacap. Tujuannya agar bisa terus berproduksi.
Kisah Mistis
Seiring waktu berjalan, pipa distribusi gas sepanjang 80 kilometer yang melayani lebih dari 2.000 pelanggan rumah tangga serta beberapa pelanggan lain seperti Rumah Sakit Elisabeth, RS Kariadi, RS Telogorejo, dan RS Panti Wiloso pun mengalami banyak kebocoran.
Perusahaan berhitung dan didapatkan biaya produksi tidak lagi seimbang dengan hasil yang didapatkan. Perusahaan akhirnya menghentikan aktivitas produksi dan menutup pabrik itu pada 1980-an.
"Sekarang tak ada yang tersisa. Barang-barang sudah diambil. Kini hanya ada gedung dan sisa-sisa bangunan bekas gudang dan tempat memasak batubara. Bekas tangki besar pun sekarang menjadi danau kecil," kata Anwari.
Kini gedung tersebut berada di bawah penguasaan PT PGN yang sedianya berfungsi sebagai gudang LPG. Anwari yang sedang piket bersama Sutikno dan Fendi Hermawanto mengaku tak ada keseraman atau cerita seram seperti bangunan-bangunan tua lazimnya. Hanya saja jika malam, kadangkala ia mendengar suara-suara asing seperti orang-orang sedang bercanda.
"Ya seperti orang bercanda sambil kerja itu. Tapi barangkali itu juga karena efek ngantuk," kata Sutikno.
Ia sendiri mengaku belum pernah bertemu dengan sosok asing. Yang sering didengarnya hanyalah langkah-langkah kaki.
Meski demikian, ia mengakui jika anak-anak kecil di sekitar lokasi sering merasa seram saat melintas. Keseraman itu sebenarnya saling melengkapi dengan lintasan kereta karena pernah terjadi kecelakaan yang menimbulkan korban.
"Mungkin dulu dirasa angker dan diceritakan turun temurun. Tapi kalau sekarang rasanya biasa saja," kata Sutikno.**