Kisah Pasien Cuci Darah, Titip Nyawa di Selembar Kartu

Sebagian pasien cuci darah kerepotan saat Jamkesmas dicabut dan diganti Kartu Indonesia Sehat.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 13 Jan 2016, 06:30 WIB
Diterbitkan 13 Jan 2016, 06:30 WIB
20160112-Cuci darah
Suasana cuci darah di RSUD Semarang (Liputan6.com/Edhie Prayitno Ige)

Liputan6.com, Semarang - Fitri Sugiharti Ningrum, warga Tirtoyudan no 7 Bintoro Demak, selalu sudah bangun pada jam 03.00 pagi. Ia selalu terbangun karena badannya merasa kurang nyaman. Biasanya ia langsung mengambil wudhu dan menunaikkan sholat tahajud.

Baru sekitar jam 05.00 ia mulai mengerjakan tugas rutin, menyiapkan sarapan dan kebutuhan lain keluarganya. Fitri baru bisa istirahat dari rutinitas ibu rumah tangga sekitar jam 09.00.

Saat itu nafasnya sesak dan ia berbaring. Dokter yang memvonis ia terkena CKD (gagal ginjal) sesungguhnya tak mengizinkan ia bekerja terlalu keras menguras tenaga.

Rutinitas Fitri bergeser setiap hari Selasa dan Jumat. Sebab pada hari-hari itu ia harus ke Semarang, menjalani therapy Haemodialisa (cuci darah). Sebuah therapy yang tidak menyembuhkan, namun lebih bersifat perawatan.

Seperti terlihat pada Selasa, 12 Januari 2016, jam 08.00 pagi ia sudah terlihat di tepi jalan raya, menunggu angkutan umum. Ia menjalani cuci darah di Semarang karena tak satupun rumah sakit di daerahnya, Demak, memiliki fasilitas ini.

Perjalanan dua sampai tiga jam di pengapnya angkutan kota ia jalani. Semangatnya agar bisa memperpanjang usia dan membesarkan tiga anaknya.

"Saya sudah lima tahun menjalani therapy ini. Mau gimana lagi, suami jelas nggak bisa ngantar, nanti pekerjaannya kacau, kami malah nggak bisa makan," kata Fitri kepada Liputan6.com.

Fitri bercerita, setiap kali ia ke Semarang menjalani cuci darah, untuk biaya transportasi dan lain-lain, ia harus mengeluarkan uang sedikitnya Rp 100 ribu. Pengeluaran yang tak sedikit untuk sebuah keluarga tidak mampu sepertinya karena sebulan ia harus mengeluarkan Rp 800 ribu.

"Beruntung biaya cuci darah yang Rp 700 ribu dan obat dibantu negara melalui program Jaminan Kesehatan Masyarakat," kata Fitri.

Jamkesmas Dicabut, KIS Tak Berfungsi

Namun, dalam dua pekan terakhir ini, Fitri dan keluarganya harus memutar otak. Jaminan Kesehatan Masyarakat yang selama ini diandalkan untuk menyambung nyawa, ternyata sudah dicabut dari Pemerintah Kabupaten Demak.

"Sebelum saya tahu dicabut, saya diberi Kartu Indonesia Sehat, menjelang tahun baru itu," kata Fitri.

Pergantian kartu dari kartu Jamkesmas menjadi Kartu Indonesia Sehat ternyata berimbas sangat banyak. Ketika pihak RSUD kota Semarang yang melayani cuci darah Fitri mengajukan klaim ke Pemerintah Kabupaten Demak, ternyata tagihan cuci darah Fitri ditolak.

Alasannya kartu Jamkesmas sudah dinonaktifkan. Tak kurang akal, pihak RSUD Kota Semarang kemudian mengajukan klaim pencairan dana dari Kartu Indonesia Sehat.

"Itu juga ditolak dengan alasan nomernya sama dengan Jamkesmas," kata salah satu petugas RSUD.

Fitri jelas tak tergantung dengan segala macam kartu. Ritual cuci darah tetap harus dijalani, dengan atau tanpa difasilitasi negara.

"Bagaimana mungkin orang kecil seperti saya mau protes. Menjaga badan agar stabil saja sudah susah. Saya ada di perbatasan hidup dan mati. Cuci darah ya jalan terus," kata Fitri.

Ritual mempertahankan hidup itu ternyata membawa dampak lanjutan. Fitri harus mengeluarkan biaya ekstra. Kini ia harus membiayai sendiri ongkos mempertahankan nyawanya. Seminggu ia harus mengeluarkan biaya tambahan dua kali Rp 800 ribu.

Jika dihitung dengan obat dan transportasi, jumlahnya mencapai Rp 1 juta. Jadi dalam sebulan ia harus menyediakan uang tunai Rp 8 juta untuk 8x cuci darah.

Banyak Fitri yang Lain

Namun pada awal dihentikannya kepesertaan Jamkesmas, Fitri tetap dilayani RSUD Semarang dengan baik kemudian disarankan mengikuti BPJS secara mandiri.

"Yang aneh memang BPJS, karena kepesertaan saya tak bisa langsung digunakan. Banyak kok yang nasibnya seperti saya di kabupaten Demak, Jamkesmas diganti KIS tapi tak berfungsi," kata Fitri.

RSUD Kota Semarang sendiri bersikap memberi toleransi kepada pasien miskin yang harus rutin menjalani perawatan. Namun baru kali ini klaim yang diajukan ditolak dengan alasan nomer seri KIS dan Jamkesmas sama.

"Anehnya ada pasien lain yang jadi peserta Jamkesmas dan dikonversi menjadi KIS, meski nomer sama tetap bisa diklaim," kata petugas RSUD.

Fitri masih menjalani perawatan cuci darah dengan biaya sendiri. Ia tiba di RSUD Kota Semarang sekitar jam 11.00. Terapi cuci darah akan ia jalani selama empat jam.

Diperkirakan Fitri tak sendirian mengalami nasib ini. RSUD Kota Semarang sendiri selalu menerima pasien dari kabupaten lain, meskipun kadang malah menyulitkan.

Wakil Direktur Umum dan Keuangan RSUD Kota Semarang, Sutrisno menyebutkan, pihaknya tetap menangani pasien dengan pelayanan profesional.

"Kami tak pernah membicarakan biaya yang harus ditanggung pasien di depan. Prinsip kami, selamatkan nyawa terlebih dahulu. Jika sudah selamat, semua bisa dibicarakan," kata Sutrisno.

Saat ini RSUD Kota Semarang merawat sekitar 80-an pasien gagal ginjal yang harus rutin cuci darah. Rata-rata yang sulit diajukan klaim pembayarannya adalah pasien dari luar kota, dimana penanggungnya adalah pemerintah setempat.

Sementara itu, pihak Pemerintah Kabupaten Demak tak memberikan tanggapan apapun. Koordinator Jamkesmas Dinkes Kabupaten Demak, Sukardjo tak bisa ditemui. Ketika ditelpon, nomer ponselnya juga tak diangkat.

Mahasiswi Surabaya Ciptakan Panduan Penangkal Infeksi Ginjal

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya