Gawat, Harimau Sumatera Makin Terancam

Menyelamatkan harimau sama saja menyelamatkan manusia dan lingkungan.

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 04 Feb 2016, 19:08 WIB
Diterbitkan 04 Feb 2016, 19:08 WIB
20160128-Harimau Bengkulu
Bangkai Elsa, Harimau Sumatra yang ditemukan tewas di dalam kandang di Taman Wisata Alam Seblat Bengkulu. (Liputan6.com/Yuliardi Hardjo Putra)

Liputan6.com, Bengkulu - Populasi Harimau Sumatera (panthera tigris sumatrae) di kawasan hutan  Taman Nasional Kerinci Seblat (TNKS) dan Taman Nasional Bukit Barisan Selatan (TNBBS) Provinsi Bengkulu saat ini semakin terancam.

Data Yayasan Genesis Bengkulu menunjukkan hingga awal tahun 2015 terpantau lebih dari 150 ekor harimau mendiami kedua kawasan itu. Namun jumlahnya sangat jauh berkurang pada awal tahun 2016 ini, tinggal 75 hingga 100 ekor saja.

"Dengan pengetahuan pemburu akan kantong-kantong habitat harimau menyebabkan keberhasilan pemburuan terhadap harimau juga tinggi,” ujar Koordinator Advokasi Yayasan Genesis Bengkulu Uli Artha Siagian di Bengkulu, Kamis (4/2/2016)

Fakta  bahwa keterancaman punahnya harimau Sumatera semakin jelas terlihat. Ini diakibatkan kompleksitas dari kegiatan-kegiatan eksploitatif terhadap alam serta pasar perdagangan harimau semakin meningkat. Keterancaman punahnya harimau menjadi awal putusnya mata rantai makanan dalam siklus kehidupan.


Menurut Uli paradigma manusia bahwa harimau sebagai lawan agaknya harus mengalami revolusi. Harimau sebagai predator dalam rantai makanan memberi perlindungan terhadap manusia, tepatnya ruang kelola manusia.

Keberadaan harimau menjadi penyeimbang, mengontrol hewan-hewan lain seperti babi sebagai hama tanaman masyarakat.

"Punahnya harimau akan mengakibatkan meledaknya jumlah populasi babi yang nantinya akan mengancam ruang kelola manusia," ujar dia.

Uli mengatakan tanaman-tanaman rakyat, persawahan, kebun-kebun yang menjadi sumber penghidupan akan terancam. Meledaknya populasi babi hutan akibat punahnya harimau juga akan mengancam punahnya tumbuh-tumbuhan endemik dihutan.

Merujuk data Badan Konservasi Sumber Daya Alam (BKSDA), Provinsi Bengkulu menjadi wilayah nomor dua tertinggi tingkat konflik harimau di Indonesia. Daerah ini menjadi penyumbang nomor dua terbesar punahnya harimau Sumatera.  

Hingga saat ini tercatat 82 kasus konflik. Konflik harimau dan manusia bukan hanya pertemuan antara manusia dan harimau untuk saling mempertahankan diri, tetapi terkait mata rantai penawaran dan pembelian.

Harimau Mengikuti Mangsa


Dari catatan Liputan6.com, habitat harimau yang ditunjuk oleh pemerintah menjadi kawasan hutan semakin rusak. Kerusakan tersebut merupakan akibat dari kegiatan pertambangan, perkebunan, serta peguasaan kawasan hutan oleh masyarakat.

Tercatat bahwa ada 39 izin pertambangan yang berada di dalam kawasan hutan lindung  dan konservasi. Sederhananya, kerusakan hutan menyebabkan sempitnya habitat harimau hingga membuat harimau menjelajah keluar habitat hingga ke pemukiman warga.

“Masuknya harimau ke dalam pemukiman warga adalah akibat mangsanya seperti babi hutan telah berkeliaran hingga ke kebun-kebun sawit miliki warga. Ke mana mangsanya (babi) akan pergi ke situ juga harimau akan pergi,” kata Uli

Melihat semrawutnya keadaan tersebut, Yayasan Genesis menyatakan bahwa perangkat negara seperti Dinas Kehutanan, BKSDA, Balai Besar selalu lembaga yang diberi mandat haruslah serius menangani masalah ini mulai dari pemastian keselamatan kawasan hutan dan sumber daya hayatinya.

Uli menegaskan keselamatan harimau akan bergantung pada keselamatan kawasan hutan. Pemutusan mata rantai perdagangan harimau juga menjadi penting, karena tingginya pemburuan merupakan implikasi dari tingginya penawaran akan kebutuhan.

"Hukum jangan hanya ditegakkan kepada pemburu, karena itu bukan penyelesaian. Pemburu 1 ditangkap, akan ada pemburu 2 hingga 10 lainnya selama penawaran masih ada," ujar Uli.

Penurunan konflik harimau dalam beberapa tahun terakhir, menurut dia, bukan karena adanya perhatian ataupun sikap penyelamatan harimau dan habitatnya tetapi karena populasi harimau yang semakin habis.

Seperti contoh di Mukomuko, konflik harimau cukup jarang terjadi bukan karena penanganan yang dilakukan negara tetapi karena jumlah harimau yang hanya tinggal 6 hingga 7 ekor lagi.

Maka, produk hukum seperti UU 41 tahun 2009 tentang Kehutanan, UU No 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati, PermenHut No 53 tahun 2014 tentang Pedoman Penanggulangan Konflik antara Manusia dan Satwa Liar, harus tetap dijadikan pijakan oleh negara.

Peraturan sudah ada, perangkat negara sebagai instrumen sudah ada. “Tinggal kemauan dari negara untuk memastikan keselamatan harimau dan habitatnya,” kata Uli.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya