Liputan6.com, Cirebon - Keberadaan Kerajaan Purwaka Caruban Nagari yang diklaim pimpinan Sri Baginda Raja Pangeran Muhammad Abdullah Hasanudin (MA) dinilai hanya sifat dari Atavisme. Ini adalah karakteristik yang terpendam ratusan tahun lalu dan mendadak muncul kembali.
"Sikap Atavisme inilah yang pada akhirnya bisa membuat seseorang merasa sebagai raja. Pada tingkat masyarakat bawah, sikap semacam ini melahirkan cara berpikir ekstrem," jelas Budayawan Cirebon, Nurdin kepada Liputan6.com, di Cirebon, Selasa (1/3/2016).
Dalam psikologi budaya, dia menjelaskan, kebanggaan yang berlebihan akan kisah masa lalu bisa membuat tekanan psikologis tersendiri untuk melakukan sesuatu di luar nalarnya. Pelakunya pun mengalami disorientasi.
Dia mengatakan, fenomena sifat Ativisme belakangan terjadi di sejumlah daerah termasuk Cirebon. Sebelum muncul pengakuan MA sebagai Raja Diraja Purwaka Caruban Nagari, sebelumnya ada pengakuan yang sama dari Muslim sebagai raja terakhir dari kerajaan Caruban Nagari.
Baca Juga
Nurdin mencatat, fenomena kerajaan Caruban Nagari muncul pada 1 Februari tahun 2013 di Cirebon. Saat itu Raja Pangeran Caruban Nagari mengaku berjuluk Ki Ageng Macan Putih yang mengklaim diri sebagai "Raja Diraja".
Kemunculan kerajaan baru dan pengakuan Raja Diraja juga pernah muncul di Kabupaten Tasikmalaya.
Advertisement
"Urutan sejarahnya hampir sama dengan Kerajaan Caruban Nagari yang berujung pada awal penyebaran Islam di Tatar Sunda. Saat itu Rohidin menyatakan dirinya sebagai Sultan Patra Kusumah VII dengan nama kerajaannya Sela Cau," kata Nurdin.
Selain itu, kata Nurdin, di tahun yang sama 2010 juga muncul pengakuan yang sama dari Demak. Seseorang yang mengaku Raja Diraja tersebut mengklaim raja terakhir dari turunan sultan Demak, Raden Patah bahkan sempat mengubah nama Demak menjadi Dimak.
"Untuk fenomena terbaru ini saya juga heran apa maksudnya kerajaan Purwaka Caruban Nagari. Padahal Purwaka itu kawitan, awal dari Caruban Nagari jadi kalau diartikan ya awal dari Negeri Cirebon," kata dia.
Dari fenomena tersebut, lanjut Nurdin, keberadaan sejarah dan bukti pendukung MA sebagai Raja Diraja belum dapat dipastikan kebenarannya. Dia pun menyarankan agar MA sebaiknya mendudukan diri sebagai tokoh masyarakat.
"Tidak harus mengaku menjadi raja kalau ingin memakmurkan atau mensejahterakan rakyat. Sebaiknya mendudukkan diri sebagai tokoh masyarakat atau tokoh adat saja tidak masalah. Cari peran yang lain," kata dia.