Liputan6.com, Sorong - Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Kota Sorong, Papua Barat, Ruddy R Laku menyayangkan kebijakan moratorium dan transhipment Menteri Kelautan dan Perikanan Susi Pudjiastuti. Menurut Ruddy, akibat kebijakan itu banyak pengusaha gulung tikar dan ratusan karyawan di sektor industri perikanan di-PHK serta puluhan kapal tertambat tak terpakai.
"Sejak kebijakan Bu Menteri (Susi, di sini (Sorong), ada empat perusahaan pengolah udang yang tutup, 948 orang di-PHK dan 38 kapal nongkrong," ujar Ruddy kepada Liputan6.com di Sorong, Senin, 4 April 2016.
Pelarangan transhipment yang mewajibkan bongkar muatan di daratan Indonesia serta dilarang beroperasinya kapal di atas 30 GT (Gross Ton), mengguncang pelaku industri besar. Ruddy mencontohkan, kapal-kapal penangkap udang tak bisa beroperasi, sebab ukuran dan kapal itu banyak yang buatan atau eks asing.Â
Advertisement
Baca Juga
"Dulu kita bisa produksi udang sampai 6.000 ton pada 2015, sekarang cuma mampu 20 persen saja (1.200 ton)," jelas Ruddy.
Keadaan ini diperparah dengan banyaknya pencurian ikan di kawasan Sorong, dari keterangan Ruddy para nelayan di Sorong geram dengan pelaku illegal fishing. Para nelayan dilarang menggunakan alat tangkap pukat udang, sementara nelayan asing dengan santainya mengeruk ikan dan udang di lautan Papua Barat.
"Ini yang membuat nelayan dan kita juga geram, pemerintah banyak menerapkan aturan dan kebijakan, tapi tak mampu melindungi sumber daya kita. Kami dilarang ambil udang, ikan, dan pakai kapal besar. Tapi, nelayan asing tak diawasi dan ditangkap saat mencuri ikan dan pakai pukat udang," beber Ruddy.
Tak Ada Solusi
Ruddy mengumpamakan kebijakan Kementerian Kelautan dan Perikanan serupa larangan pada anak-anak. Orangtua melarang tapi tak punya solusi lain sebagai kompensasi pelarangan itu. Maka itu, ia menilai larangan menteri sebagai sesuatu yang abstrak.
"Nelayan kita bingung, tak bisa menjual tapi nelayan asing bebas mencuri, pengawasan kita juga lemah," jelas Ruddy.
Meski tak menampik kebijakan tersebut mampu menyelamatkan alam, seperti transhipment dan penggunaan jaring dan pukat hela. Ruddy meminta agar pemerintah lebih meningkatkan pengawasan.
"Kalau transhipment itu kita setuju sekali, ya terserah para pengusaha itulah untuk marah, pelestarian alamnya kita setuju. Tapi, masa transisi begini seharusnya pengawasan juga meningkat," terang dia.
Dari data yang dimiliki DKP (Dinas Kelautan dan Perikanan), para nelayan tradisional di Sorong masih lemah dari segi peralatan yang digunakan. Sehingga kuota produksi massal tak mampu mereka penuhi. Dengan alat tangkap pancing dan seadanya, para nelayan tak sanggup memenuhi permintaan kebutuhan industri.
"Mereka cuma pakai dayung dan alat sederhana, hasil tak terlalu banyak, sedangkan kita jadi pemasok untuk beberapa daerah di sekitar dan Papua Barat secara umum," ucap Ruddy.
Belum lagi dengan susahnya para nelayan memperoleh kredit untuk penambahan alat-alat tangkap. Pihak Bank selalu meminta jaminan untuk pinjaman. Sedangkan, menurut Ruddy, para nelayan tradisional itu berekonomi lemah.
"Apa yang harus mereka jaminkan? Mereka tak punya apa-apa. Bantuan kredit sangat mereka butuhkan, alat-alat pancing, jaring, dan perbaikan kapal," kata dia.
Pihaknya mengapresiasi beberapa bantuan dari pemerintah sudah diprogramkan. Meski begitu, ia menganggap bantuan itu belum mampu menjangkau semua nelayan. Bantuan itu cenderung diberikan kepada beberapa kelompok masyarakat yang sudah memenuhi kriteria tertentu.
"Ini belum menyentuh masyarakat nelayan tradisional seutuhnya, masih banyak di antara mereka yang tak terjangkau oleh pemerintah. Kita juga harus mengakui, keterbatasan kita, kurangnya petugas dan lemahnya pengawasan di lapangan," ungkap Ruddy. (Muslim AR)
Advertisement