Patriana Sosialinda, Pejabat Alam Bebas Bumi Rafflesia

Alam bebas memberikan ketenangan dan berpikir taktis secara bebas.

oleh Yuliardi Hardjo Putro diperbarui 18 Apr 2016, 23:51 WIB
Diterbitkan 18 Apr 2016, 23:51 WIB
Patriana, Wakil Wali Kota Bengkulu
Patriana Sosialinda, Pejabat Alam Bebas Bumi Rafflesia

Liputan6.com, Bengkulu - Wakil Wali Kota Bengkulu Patriana Sosialinda menawarkan pendekatan baru dalam menata pemerintahan dan merumuskan kebijakan publik di Bengkulu. Dia lebih suka mengatur birokrasi dengan pendekatan alam bebas.

Tak jarang wanita kelahiran Jakarta, 28 November 1965 itu mengajak para pemangku kebijakan di Kota Bengkulu untuk berdiskusi dan memutuskan kebijakan darurat di luar ruang dan langsung melihat kondisi lapangan yang sebenarnya.

"Alam bebas memberikan kita ketenangan dan cara berpikir taktis tanpa bebas, keputusan apa pun secara logika akan bagus jika diambil tanpa beban," ujar Patriana kepada Liputan6.com, Sabtu, 16 April 2016 lalu.

Dia memang dekat dengan kehidupan alam bebas. Selama kuliah di Fakultas Pertanian Universitas Bengkulu, Patriana ditempa di Kelompok Pencinta Alam “Kampala” Unib tempatnya menggembleng diri sebelum terjun ke dunia kerja.

Patriana saat ini dipercaya menjadi Ketua Umum Federasi Arung Jeram Indonesia (FAJI) Provinsi Bengkulu. Aktivitas alam bebas sangat akrab dengannya.

Pemegang sabuk hitam karate ini juga tidak canggung untuk terjun langsung ke lokasi yang membutuhkan sentuhan birokrasi secara langsung. Dia selalu berada di lokasi jika terjadi bencana alam atau menyambangi korban keganasan alam yang memang kerap kali terjadi di Bengkulu yang terkenal sebagai wilayah rawan bencana.

Dalam perjalanan politiknya, putri mantan Wali Kota Bengkulu Syafiuddin AR ini terkadang mendapat reaksi keras dari masyarakat, terutama mahasiswa terkait kebijakan yang diambil. Tidak jarang dalam menyampaikan aspirasinya, para pedagang kaki lima, sopir angkutan umum, dan para mahasiswa turun ke jalan dan menggelar aksi demonstrasi.

"Semua kebijakan itu pasti ada pro-kontra. Permasalahan yang muncul itu tergantung bagaimana kita mengkomunikasikannya saja," kata Patriana.

Seperti saat mengambil kebijakan penertiban pedagang pasar yang berjualan di badan jalan, satu pihak merasa terganggu saat melintas. Sementara, para pedagang merasa berhak memanfaatkan fasilitas umum dan warga lain juga merasa nyaman bertransaksi di pinggir jalan secara cepat ringkas dan murah.

"Aturannya sudah jelas. Siapa benar siapa salah sudah tidak diperlukan lagi. Bagaimana kita sebagai sesama manusia menyelesaikan persoalan itu. Muaranya tentu saja semua pihak merasa diakomodir," kata Patriana.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya