Tenun Palembang Menanti Pewaris

Penenun kain tradisi khas Palembang yang tersisa adalah para perempuan paruh baya.

oleh Nefri Inge diperbarui 22 Apr 2016, 20:45 WIB
Diterbitkan 22 Apr 2016, 20:45 WIB
Tenun Palembang
Tenun Palembang menanti pewaris

Liputan6.com, Palembang – Dunia berubah. Sebagian tradisi yang berjaya mulai ditinggalkan. Situasi itu kini dihadapi usaha tenun khas Palembang. Yang tersisa kini hanyalah para penenun paruh baya yang bertahan demi menyambung hidup.

Situasi itu dijumpai Liputan6.com saat menyambangi salah satu rumah produksi kain khas Palembang di Kawasan Tenun Tuan Kentang, Jalan Aiptu A Wahab, Kelurahan Tuan Kentang, Kecamatan Seberang Ulu (SU) I Palembang. Hanya perempuan paruh baya sedang tekun menenun kain khas Palembang.

Salah satunya adalah Hawa (64), nenek tiga cucu yang tinggal di wilayah Kelurahan 15 Ulu Palembang. Ia mengaku sudah menggeluti aktivitas tenun kain sejak usia 17 tahun.

"Waktu itu saya buka usaha sendiri. Berhubung karena pailit sehingga semua alat-alatnya terjual. Setelah saya menikah dan punya anak, saya kembali lagi menggeluti aktivitas ini. Menenun kain Palembang yang menjadi kegiatan orang Palembang dulunya," ujar Hawa kepada Liputan6.com, Kamis, 21 April 2016.

Usaha rumahan tenun kain Palembang saat ini, lanjut dia, tidak semarak seperti saat ia muda. Ia sangat sulit menemukan para penenun yang mengerti seluk beluk proses tenunan kain Palembang.  

Tidak adanya regenerasi inilah yang membuat Hawa harus kembali terjun ke dunia penenunan. Kendati usianya sudah lanjut, Hawa harus giat menenun dengan sisa-sisa tenaganya yang kian tergerus usia.

Penenun kain tradisi khas Palembang kini hanya para perempuan paruh baya. (Liputan6.com/Nefri Inge)

Selain sulit mencari para penenun kain Palembang, kebutuhan ekonomi menjadi alasan Hawa menjalani profesi sebagai penenun. Tapi, ia kini harus bersandar pada orang lain alias jadi buruh.

Sejak ditinggal mati suaminya belasan tahun lalu, Hawa harus kembali mengais rezeki dengan menenun. Dalam seminggu, Hawa hanya mengantongi upah sebesar Rp 100.000 sebagai upah menyelesaikan sepotong kain tenun tanjung yang dikerjakan dalam dua hari.

"Biasanya malam hari saya juga menjahit pinggiran kain jumputan dengan upah Rp 6.000 per potong. Tapi sekarang mata saya sudah rabun, jadi sekarang hanya mengandalkan upah dari tenun saja," ucap Hawa.

Harga upah penenun sangat berbanding jauh dengan harga jual ke pedagang yang bisa tembus hingga Rp 300.000 per lembar. Bahkan, harga ini bisa melambung tinggi jika dijual ke pasaran dengan harga Rp 500.000 hingga Rp 1 jutaan.

Kain Tanjung yang dikerjakan Hawa biasanya digunakan untuk para pria dalam berbagai acara adat maupun kegiatan formal lainnya. Sedangkan, Kain Blongsongan yang ditenun oleh penenun lainnya digunakan untuk para ibu-ibu.

Nasib serupa juga dialami Hasna (55). Ibu enam anak itu juga menjadi salah satu penenun tradisional Palembang yang sudah berusia lanjut. Menurut dia, sangat sulit menularkan ilmu menenun dengan para generasi muda sekarang. Terutama karena anak muda saat ini tidak tertarik dengan menenun.

"Sulit sekarang mencari penerus kita, kalau dulu penenun masih banyak. Kalau sekarang, para penenun sudah menua dan tak sanggup lagi mengerjakan tenunan ini. Hanya saya dan beberapa ibu-ibu lainnya yang berusia lanjut yang masih bertahan," ucap dia.

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya