Pemulihan Panjang Bocah SD Semarang Korban Pemerkosaan

Dengan bersedia mengungkap, korban dipastikan tidak ikut menikmati. Itu pula yang terjadi dengan kasus pemerkosaan bocah SD Semarang.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 07 Jun 2016, 16:01 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2016, 16:01 WIB
Pemerkosaan Bocah SD Semarang
Dengan bersedia mengungkap, korban dipastikan tidak ikut menikmati. Itu pula yang terjadi dengan kasus pemerkosaan bocah SD Semarang.

Liputan6.com, Semarang - Korban pemerkosaan selalu menanggung dampak fisik dan psikis. Apalagi jika korban masih anak-anak, seperti PL, siswi SD di Semarang yang diperkosa berulang kali oleh 21 pria.

Wakil Wali Kota Semarang Hevearita Gunaryanti yang ditugasi mendampingi korban mengungkapkan, PL mengalami gangguan pada organ reproduksi pasca-pemerkosaan itu. Selain itu, ia juga trauma jika berhadapan dengan laki-laki dan malu bergaul dengan teman-temannya.

Tidak mudah untuk PL pulih. Ia tak hanya memerlukan perawatan medis, tetapi juga konseling. Jangka waktu pemulihan korban sendiri tidak bisa ditentukan.

"Alhamdulillah kondisinya sudah membaik. Meski masih merasa sakit di bagian alat vitalnya, namun traumanya mulai tertangani," kata Ita, biasa dipanggil, kepada Liputan6.com, Senin, 6 Juni 2016.

Psikolog dari Rumah Sakit St Elisabeth Semarang, Probowatie Tjondronegoro menyebutkan psikolog pendamping memiliki tugas berat saat menangani korban kasus pemerkosaan. Mereka tidak bisa serta merta memulihkan kondisi korban hanya dengan fokus pada masalah pemerkosaannya.

Psikolog bertugas untuk memetakan persoalan keluarga dan lingkungan yang dihadapi korban agar bisa memulihkan kondisi korban. Dalam kasus pemerkosaan, akan banyak ruang kosong yang masih gelap. Salah satunya, pernyataan Kapolrestabes Semarang yang menyebutkan dilakukan suka sama suka akibat bujuk rayu.

"Meski sebenarnya bujuk rayu kepada bocah tetap masuk pemerkosaan, namun yang disampaikan Pak Kapolres bisa jadi benar. Artinya tanpa kekerasan," kata Probowatie.

Jika memang itu yang terjadi, korban dikhawatirkan tidak merasa menjadi korban dan sudah ikut menikmati. Namun dengan ia bersedia mengungkap, korban dipastikan tidak ikut menikmati. Itu pula yang terjadi dengan kasus bocah SD di Semarang tersebut.

Dukungan Lingkungan

Probowatie juga menyebutkan pendampingan yang utama memang menghilangkan trauma. Proses selanjutnya adalah membangkitkan kepercayaan diri korban. Tentu saja konseling itu akan lebih cepat membuahkan hasil jika lingkungannya mendukung.

"Saya sangat apresiasi dan hormat dengan langkah Bu Wakil Wali Kota yang mengungsikan korban di rumah lain yang aman," kata Probowatie.

Ia mengatakan secara teknis, tidak ada standar baku mengenai konseling bagi korban pemerkosaan. Namun, dengan membawa ke tempat lain yang mendukung dan tak banyak membicarakan kasusnya, korban akan merasa nyaman.

"Banyak yang awalnya korban kejahatan, ketika rasa percaya dirinya sudah tumbuh, ia mampu mengkonversi deritanya menjadi sebuah nilai. Yang jelas, hilangkan dulu pikiran-pikiran korban atas kekerasan dan juga hubungan seksual," kata Probowati.

Menurut Probowatie, salah satu hal yang wajib disampaikan adalah bahwa korban tidak sendirian. Korban juga perlu diyakinkan bahwa semua manusia pasti memiliki masalah. Juga tentang kebahagiaan yang sangat berbeda dengan kesenangan atau kegembiraan.

Hal itu perlu dilakukan meskipun secara konsep terkesan sangat berat. Karena itu, penyampaian kepada korban harus dikemas dalam bahasa yang bisa diterima oleh anak seusia PL.

"Yang utama, jangan dengan pola indoktrinasi. Bangkitkan kesadaran internal, dan itu butuh support lingkungan," kata Probowatie.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya