Menjaga Jernang, Buah Mahal Penentu Hidup Mati Orang Rimba Jambi

Bagi Orang Rimba Jambi, menghilangnya jernang dari hutan berarti tanda-tanda kematian rumah sekaligus sumber penghidupan mereka.

oleh Bangun Santoso diperbarui 28 Nov 2016, 12:01 WIB
Diterbitkan 28 Nov 2016, 12:01 WIB

Liputan6,com, Jambi - Orang Rimba, atau biasa disebut Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi, selama ini dikenal sebagai komunitas yang tinggal di pedalaman hutan. Tak hanya sebagai rumah, hutan bagi Orang Rimba adalah sumber penghidupan sejati.

Demi menjaga hutan tetap lestari, sekelompok Orang Rimba di Jambi berusaha keras menanam dan memelihara jernang. Bagi Orang Rimba, jernang adalah buah kehidupan. Jika hutan masih bisa ditumbuhi jernang, artinya hutan itu masih alami. Sebaliknya jika tidak, hutan tersebut sama saja telah mati.

Ditemui pertengahan Oktober 2016 lalu, Menti Gentar, salah satu tokoh Orang Rimba yang tinggal di kawasan Makekal Ilir di kawasan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) mengatakan, selain langka, jernang dikenal sebagai buah mahal. "Sekarang satu kilogram jernang harganya Rp 2,5 juta," kata Menti.

Ia menceritakan, bertahun-tahun Orang Rimba menggantungkan hidup dari berburu jernang, damar, dan rotan. "Dulu kita tukar kain dan makanan," ucap Menti.

Namun, kondisi saat ini sudah berubah. Penyempitan hutan serta banyaknya perusahaan perkebunan di Jambi menyebabkan lahan berburu jernang semakin sedikit. Bahkan, tanaman jernang pun hilang.

Menurut Menti, tanaman jernang yang ada saat ini hanya di hutan TNBD. Itu pun dibantu dengan upaya budi daya oleh sejumlah Orang Rimba. Apalagi, pohon jernang yang bisa tumbuh merambat hingga 25 meter itu dikenal memiliki proses tumbuh yang amat lama.

Budi Daya Jernang

Erinaldi dari Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi yang selama ini mendampingi Orang Rimba mengatakan, jernang (Dhaemorhop draco) atau di pasaran biasa disebut "Dragon Blood" merupakan buah tumbuhan merambat.

Jernang biasa tumbuh di hutan tropis di ketinggian sekitar 800 meter di atas permukaan laut (mdpl). Hutan dataran rendah di Jambi sangat cocok untuk perkembangbiakan jernang. Saat di masa jaya, jernang bahkan bisa dipanen dua kali dalam setahun.

"Dahulu Orang Rimba memiliki pada jernang. Saat ini sudah tidak ada," kata Erinaldi.

Manfaat Jernang

Minimnya pengetahuan dan kemampuan Orang Rimba dalam budi daya jernang menjadi alasan KKI Warsi mendorong upaya pelatihan budi daya jernang kepada kelompok-kelompok Orang Rimba. Menurut Eri, diperlukan teknik budidaya yang sederhana, sehingga Orang Rimba bisa memahaminya.

"Meski sulit, upaya ini harus dilakukan," ucap Eri.

Budi daya jernang sulit dilakukan salah satunya karena getah jernang diambil dari buah muda, sehingga sulit mendapatkan buah masak sebagai sumber benih. Untuk tumbuh kecambah saja butuh waktu hingga enam bulan.

"Namun saat ini ada tekniknya untuk mempercepat tumbuh kecambah," ujar dia.

Selain itu, gangguan dari para pemangsa juga menjadi bahaya lain dalam budi daya jernang. Monyet hingga babi hutan sangat gemar memakan umbi jernang muda yang dikenal manis rasanya, sehingga butuh penjagaan ekstra.

"Untuk itulah, kami beberapa kali mengumpulkan kelompok Orang Rimba untuk pelatihan budi daya jernang," kata Eri menambahkan.

Manfaat Jernang

Eri menyebutkan, di dunia industri jernang amat dikenal sebagai salah satu buah paling dicari. Jernang bermanfaat sebagai bahan baku marmer, alat-alat batu, keramik, cat kayu, farmasi, kertas, serbuk pasta gigi, hingga ekstra tenun.

Secara tradisional, buah jernang sejak lama dikenal sebagai salah satu ramuan obat-obatan yang ampuh. Oleh Orang Rimba, jernang biasa dimanfaatkan untuk obat diare.

"Di Eropa jernang juga biasa dimanfaatkan sebagai bahan baku obat disentri," kata Eri.

Secara tradisional, jernang sudah lama dikenal masyarakat Orang Rimba sebagai bahan ritual dupa. Oleh karenanya, jernang biasa disebut juga dengan nama "kemenyan merah".

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya