Purwakarta Jawab Sebutan Kepala Batu bagi Jawa Barat

Ada tujuh daerah di Jawa Barat yang dikategorikan intoleran.

oleh Abramena diperbarui 02 Des 2016, 20:19 WIB
Diterbitkan 02 Des 2016, 20:19 WIB
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi
Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi saat memberikan sambutan pada Hari Santri Nasional, di Taman Pasanggrahan Padjajaran alun-alun Purwakarta, Sabtu (21/10/2016). (Abramena/Liputan6.com)

Liputan6.com, Purwakarta - Peneliti Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (KBB) Halili Hasan menyebutkan Jawa Barat sebagai daerah paling intoleran. Pasalnya, sebanyak tujuh daerah di antaranya berasal dari Provinsi Jawa Barat, yakni Bogor, Bekasi, Depok, Bandung, Sukabumi, Banjar dan Tasikmalaya.

Halili juga menyebut Jawa Barat menjadi daerah kepala batu karena sejak lama tidak mampu menuntaskan masalah intoleransi di wilayahnya. Intoleransi yang dimaksud oleh Dosen Ilmu Sosial Universitas Negeri Yogyakarta tersebut berkaitan dengan pendirian tempat ibadah, beasiswa pendidikan dan hingga layanan pendidikan agama yang seharusnya diperuntukkan bagi penganut seluruh agama peserta didik.

"Kalau kita melihat Purwakarta yang juga menjadi bagian dari wilayah Jawa Barat, ini sudah relatif sangat berimbang. Seluruh kebutuhan pendidikan agama diakomodasi oleh pemerintahan di sana," kata Halili di tengah acara Festival HAM 2016 di Bojonegoro Jawa Timur, Kamis, 1 Desember 2016.

Pernyataan Halili itu direspons Bupati Purwakarta Dedi Mulyadi yang memberikan paparan tentang Hak Asasi Manusia dan Toleransi dalam acara tersebut. Menurut Dedi, menjamurnya sikap intoleran di Jawa Barat merupakan akibat dari sikap masyarakat Jawa Barat sendiri yang memiliki pendirian toleransi yang sangat tinggi.

Implikasi lanjutan dari sikap inilah yang menjadikan pendakwah intoleransi dengan mudah menyebarkan ajaran yang mengancam integrasi bangsa tersebut. "Justru orang Jawa Barat, orang Sunda itu sangat toleran, mereka sangat permisif sehingga intoleransi dengan mudah menyebar di Jawa Barat," kata Dedi, Jumat (2/12/2016).

Dedi juga meyakini para pemimpin di daerah tidak banyak yang berani pasang badan untuk meminimalikan sikap-sikap intoleran yang kian menyebar. Menurut dia, pada tahapan kritis seperti ini dibutuhkan pemimpin daerah yang kuat untuk menjadi antitesis gerakan intoleran yang berada di wilayahnya.

"Kemudian, seluruh stakeholder aparat negara, seperti TNI dan Polri, saya kira tidak bisa juga berdiam diri. Komitmen seluruhnya harus tegas menjaga pluralitas masyarakat. Mereka tidak boleh masuk ke dalam ranah kompromi yang digiring oleh kelompok intoleran," ujar Dedi.

Berdasarkan hasil penelitian Halili Hasan yang juga merupakan salah satu peneliti Setara Institute, sepanjang 2007-2015, terdapat 2.498 tindakan pelanggaran toleransi, 1.867 peristiwa intoleransi, 346 kasus gangguan terhadap tempat ibadah dan sebanyak 365 kebijakan diskriminatif di Indonesia.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya