Raja Ampat dan Tradisi yang Menjaganya

Raja Ampat punya seribu lebih pulau-pulau. Jika satu hari satu pulau, butuh lima tahun untuk menuntaskan keliling Raja Ampat.

oleh Liputan6 diperbarui 16 Mar 2017, 18:00 WIB
Diterbitkan 16 Mar 2017, 18:00 WIB
Raja Ampat
Gugusan pulau-pulau di Raja Ampat | via: leaveyourdailyhell.com

Liputan6.com, Jakarta - Raja Ampat belakangan ini mendapat perhatian luas. Pemicunya adalah kerusakan terumbu karang di kawasan wisata laut Papua itu akibat terlindas kapal pesiar Inggris, MV Caledonian Sky. Saat ini, pemerintah intensif menuntut ganti rugi dan pemulihan kerusakan.

Isu kerusakan lingkungan Raja Ampat memang sering mengemuka. Beberapa tahun lalu penangkapan ikan secara berlebihan dan penggunaan bom ikan pernah menjadi ancaman serius bagi keberlangsungan ekosistem laut di perairan Raja Ampat.

Perusakan dan eksploitasi yang berlebihan terhadap sumber daya laut Raja Ampat telah mengundang kepedulian para pemerhati lingkungan dunia, misalnya Shawn Heinrich, hingga datang ke sana.

"Ketika saya melihat para nelayan mencabik sirip ikan hiu dan melemparkan kembali tubuhnya ke laut hidup-hidup, itu adalah suatu penghinaan bagi tempat yang sangat istimewa ini," kata Shawn Heinrich, seperti dilansir Antara beberapa waktu lalu.

Sutradara film dokumenter peraih penghargaan Emmy itu mengatakan bahwa sudah lama dia mencari tempat terakhir di bumi yang masih asri dan utuh. Hingga akhirnya dia tiba di Raja Ampat pada 2006.

Dia langsung jatuh cinta dengan alam dan keanekaragaman hayati di kawasan konservasi itu. Tak lama dia juga sadar bahwa tempat istimewa tersebut berada di bawah ancaman serius dan harus dilindungi.

Menggandeng lembaga nirlaba Conservation International (CI), USAID dan Kementerian Kelautan dan Perikanan, Heinrich kemudian mendokumentasikan upaya-upaya konservasi yang dilakukan untuk menjaga Raja Ampat dari kerusakan lewat filmnya yang berjudul Guardians of Raja Ampat.

Kisah sukses masyarakat Raja Ampat yang menjadi inspirasi film itu antara lain berkenaan dengan penetapan Daerah Perlindungan Laut (DPL), yang meliputi wilayah 3,6 juta hektare pada 2006 serta wilayah suaka bagi hiu dan manta pada 2010.

Butuh 5 Tahun Tuntaskan Raja Ampat

Raja Ampat
Coffee Bean dan PegiPegi memberikan kemudahan bagi Anda yang ingin liburan ke Raja Ampat secara gratis, penasaran?

Kabupaten Raja Ampat memiliki luas kurang lebih 46.000 kilometer persegi, sekitar 87 persen dari wilayahnya adalah laut. Conservation International yang sejak 2004 bekerja di sana mendapati bahwa perairan Raja Ampat menjadi rumah bagi sekitar 75 persen spesies karang dunia.

Karang-karang itu menyediakan makanan, mata pencaharian, dan tempat berlindung dari badai tropis kepada sekitar 65.000 penduduk yang bermukim di 121 kampung di 37 pulaunya.

Selain menjadi rumah bagi sedikitnya 1.427 jenis ikan karang, perairan Raja Ampat juga menjadi tempat hidup ratusan jenis moluska, puluhan spesies hiu, paus dan lumba-lumba, penyu dan pari manta.

Ada dua jenis spesies hiu endemik yang hanya bisa dijumpai di Raja Ampat. Warga setempat menyebutnya Wabbegong dan Kalabia, atau hiu berjalan. Disebut hiu berjalan karena dia menggunakan siripnya untuk berjalan di atas pasir atau karang.

Raja Ampat punya banyak tempat penyelaman yang luar biasa, hingga biasa disebut surga penyelaman di dunia. Di Raja Ampat tengah saja sedikitnya ada 20-an tempat penyelaman, belum lagi yang ada di sebelah utara dan selatan di Pulau Misool.

Selain itu masih banyak keindahan di Raja Ampat, yang memiliki setidaknya 1.846 pulau. Jika setiap satu hari digunakan untuk mengunjungi satu pulau, dibutuhkan setidaknya lima tahun untuk menjelajahi semua pulau di Raja Ampat.

Sasi Laut dan Sasi Darat

Raja Ampat
KLHK terus mengusut rusaknya terumbu karang di Raja Ampat. Sementara lalu lintas di Jalan M Isa Palembang macet total selama 4 jam.

Masyarakat adat di Raja Ampat menggenggam kearifan lokal Sasi Laut untuk menjaga keseimbangan alam. Tradisi itu adalah aturan tak tertulis yang melarang penangkapan hewan laut pada waktu tertentu.

Tradisi turun temurun warisan leluhur mereka untuk menjaga keseimbangan kehidupan hewan laut dari eksploitasi yang berlebihan. Tradisi Sasi Laut yang sejatinya memberi waktu kepada biota laut untuk berkembang biak.

"Bisa tiga bulan, enam bulan bahkan hingga satu tahun. Setelah itu, nelayan boleh memancing lagi," kata Tahir, warga Pulau Misool.

Selain Sasi Laut, ada juga tradisi Sasi Darat, yang ketika diberlakukan masyarakat tidak boleh menebang pohon atau mengambil buah dari hutan untuk dikonsumsi.

"Masyarakat boleh ambil kayu di hutan, tapi untuk dipakai sendiri, tidak boleh menjual kayunya ke luar Raja Ampat," kata Tahir.

Kearifan itu membuat hutan di pulau-pulau Raja Ampat sampai sekarang tetap hijau dan rimbun, menjadi suaka bagi berbagai macam burung termasuk cendrawasih, murai batu, bangau, dan elang.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya