Embun Es Dieng, Si Beracun yang Memikat Hati

Si embun beracun dari Dieng jadi buruan warga luar daerah, tapi justru ditakuti para petani setempat.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 05 Sep 2017, 06:33 WIB
Diterbitkan 05 Sep 2017, 06:33 WIB
Asal-usul Si Embun Beracun Dieng yang Jadi Buruan Turis
Si embun beracun dari Dieng jadi buruan warga luar daerah, tapi justru ditakuti para petani setempat. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Banjarnegara – Munculnya embun es di Dataran Tinggi Dieng (DTD) akhir Agustus dan awal September 2017 ini disambut suka ria sekaligus kekhawatiran. Bagaikan dua sisi mata uang, embun es atau biasa disebut ‘bun upas’ oleh warga lokal Dieng, bisa jadi berkah sekaligus musibah.

Di satu sisi, embun es itu adalah pertanda bakal naiknya pendapatan para pengelola wisata dan pemilik homestay. Bisa dipastikan, kunjungan wisata akan meningkat. Para pelancong itu memburu sensasi embun es di pagi hari.

"Pasti diburu oleh wisatawan karena sensasinya memang luar biasa. Rasanya seperti di negara empat musim," kata Bukhori, pengelola wisata Bukit Sikunir sekaligus Pengurus Paguyuban Wisata Desa Sembungan Kecamatan Kejajar, Minggu, 3 September 2017.

Imbasnya, homestay penuh, tiket ke objek wisata ludes. Masyarakat yang menggantungkan hidupnya di sektor pariwisata pun mendapat berkah melimpah.

Di sisi lain, kemunculan embun es pada akhir Agustus dan awal September 2017 itu justru mendatangkan kekhawatiran pada para petani di Dieng Kulon. Pasalnya, "bun upas" yang muncul pada 31 Agustus, 1 dan 2 September 2017 itu telah merusak sedikitnya dua hektare tanaman kentang berusia muda.

Itu sebabnya pula, embun es disebut sebagai "bun upas" atau embun beracun, karena mematikan bagi tanaman kentang. "Yang paling rawan itu di bawah 40 hari. Yang berusia 60 dan 70 hari pun masih rawan, tapi sudah lumayan kuat. Kecuali kalau bun upanya benar-benar tebal," ujar Kepala Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur, Slamet Budiono.

Embun es yang muncul itu menurut Slamet sudah lumayan tebal. Petani resah lantaran bun upas masih berpotensi besar turun pada awal September hingga pertengahan September. Paling berbahaya jika "bun upas" itu tebal. Maka, tanaman kentang berbagai umur, dari 15 hari hingga 70-an hari akan mati.

"Ini sih masih sedikit. Ya kalau dihitung sudah ada dua hektare yang rusak. Tapi kalau nanti bertambah tebal, maka yang cukup tua pun bisa mati," Slamet menerangkan.

Sementara itu, Kepala Pusat Pengamatan Gunung Api Dieng Pusat Vulkanologi Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Surip menjelaskan, fenomena "bun upas" bakal muncul jika suhu Dieng cukup untuk membekukan embun yang menempel di rerumputan maupun tanaman yang dekat dengan permukaan tanah.

"Karena 'bun upas' itu harus memenuhi beberapa syarat. Antara lain suhu Dieng mencapai titik beku. Antara 0 derajat atau minus. Sedangkan sekarang, suhu rata-rata di Dieng berkisar 8-9 derajat Celsius saat malam hari," kata Surip, dalam kesempatan terpisah.

Menurut dia, "bun upas" adalah fenomena membekunya embun yang tercipta karena konsentrasi awan berarak dekat permukaan tanah. Lantas, tanaman, rerumputan, dan bebatuan yang basah oleh embun tebal itu membeku karena suhu turun ke titik beku.

"Makanya biasanya kelihatan pagi. Saat suhu sedang dingin-dinginnya. Siangnya, bisa jadi mencair lagi," ujarnya.

Saksikan video menarik di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya