Asap Putih Mulai Keluar dari Puncak Gunung Agung, Apa Artinya?

Status Awas pada Gunung Agung memasuki hari kelima. Warga yang mengungsi kini mencapai 75 ribu orang.

oleh Liputan6.com diperbarui 27 Sep 2017, 13:00 WIB
Diterbitkan 27 Sep 2017, 13:00 WIB
Gunung Agung
Warga membawa air melintasi perkebunan di Kec Kubu, Kab Karangasem, Bali, Selasa, (26/9). Lebih dari 57.000 orang telah mengungsi pasca peningkatan status Gunung Agung di Bali. (AP Photo / Firdia Lisnawati)

Liputan6.com, Denpasar - Memasuki hari kelima sejak Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Kementerian ESDM menetapkan status Awas, aktivitas Gunung Agung semakin meningkat. Gunung tertinggi di Bali itu sempat mengeluarkan asap putih setinggi 200 meter yang merupakan semburan uap air.

Keluarnya asap putih menandakan pemanasan air di bawah dengan magma semakin meningkat. Keluarnya uap air mengindikasikan magma sudah makin ke atas untuk mendobrak katup penutup kepundan. Jumlah kegempaan juga makin banyak dan kuat.

Dilansir Antara, Kepala Bidang Mitigasi Gunungapi Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi Badan Geologi Kementerian ESDM, Gede Suantika, mengatakan jumlah kegempaan vulkanik dangkal meningkat. Demikian pula kegempaan di kawah makin meningkat.

Berdasarkan laporan dari Pos Pengamatan Gunung Agung, pada Senin, 25 September 2017, periode pengamatan pukul 24.00 hingga 06.00 Wita, kegempaan vulkanik dangkal jumlahnya 102 kali, amplitudo 2-4 mm, dan durasi 10-15 detik.

Namun, intensitas gempa vulkanik dalam agak menurun dibandingkan dengan dua hari lalu. Berdasarkan laporan pos pengamatan, jumlahnya 125 kali, amplitudo 4-8 mm, S-P: 1.5-2.5 detik, durasi 15-30 detik. Begitu juga gempa tektonik lokal jumlahnya 14 kali, amplitudo 6-8 mm, S-P: 5-7 detik, durasi 30-60 detik.

Gunung Agung yang memiliki ketinggian 3.142 meter di atas permukaan air laut itu secara visual kini diselimuti kabut 0-I hingga kabut 0-III. Asap kawah tidak teramati.

Begitu juga kondisi cuaca berawan, mendung, dan hujan. Angin bertiup lemah ke arah barat. Suhu udara 22-23 derajat Celsius dan kelembaban udara 87-88 persen. Volume curah hujan sembilan milimeter per hari.

Sejak status Gunung Agung meningkat dari Siaga menjadi Awas. Wilayah steril yang semula radius enam kilometer dari puncak gunung kini diperluas menjadi sembilan kilometer, serta ditambah perluasan wilayah sektoral yang semula 7,5 kilometer menjadi 12 kilometer ke arah utara, timur laut, tenggara dan selatan-barat daya, sehingga masyarakat telah menjauh mencari tempat yang aman.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Instruksi Presiden Jokowi

Gunung Agung
Warga saat bekerja di sebuah kebun dengan latar Gunung Agung di sekitar Amed, Kab Karangasem, Bali, Selasa, (26/9). Lebih dari 57.000 orang telah mengungsi pasca peningkatan status Gunung Agung di Bali. (AP Photo / Firdia Lisnawati)

Presiden Joko Widodo dalam kunjungan kerja dua hari di Bali, 25-26 September 2017, sempat menemui para pengungsi untuk memberikan dorongan dan semangat dalam menghadapi bencana alam tersebut di GOR Swecapura di Kabupaten Klungkung, Bali.

Kepala Negara dalam kesempatan itu meminta warga di sekitar Gunung Agung untuk mematuhi instruksi seluruh petugas dalam mengantisipasi kondisi darurat meningkatnya aktivitas vulkanik gunung berapi itu.

Ia mengatakan seluruh masyarakat di lereng Gunung Agung, masyarakat Kabupaten Karangasem, dan Bali pada umumnya berusaha sekuat tenaga untuk meminimalkan dampak yang ada dari meningkatnya aktivitas vulkanik Gunung Agung.

Hal itu dinilai penting karena penanganan bencana alam gunung berapi tidak mudah, mengingat tidak ada kepastian waktu, termasuk jadi atau tidaknya Gunung Agung meletus. Hingga saat ini, belum bisa diprediksi kapan persisnya dan seberapa besar intensitas letusan sebuah gunung api.

Presiden mengatakan, pemerintah pusat, pemerintah provinsi, termasuk pemerintah kabupaten, telah berupaya agar kerugian masyarakat dapat ditekan sekecil mungkin, termasuk menyangkut perputaran ekonomi yang terhenti karena masyarakat mengungsi.

Sejak PVMBG meningkatkan status Gunung Agung menjadi Awas, pada Jumat, 22 September 2017, otomatis masyarakat sekitar gunung itu mulai menjauh mencari tempat yang aman.

Arus pengungsi terus mengalir ke berbagai tempat yang aman. Selain di Kabupaten Karangasem, pengungsi juga menyebar ke tujuh kabupaten dan satu kota di Bali.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, warga di lereng Gunung Agung yang mengungsi hingga Selasa siang, 26 September 2017, mencapai 75.673 jiwa. Pengungsi tersebar di 377 titik pengungsian di sembilan kabupaten/kota di Bali. Jumlah pengungsi tersebut diperkirakan masih akan bertambah karena pendataan terus dilakukan.

Pemkab Karangasem sebelumnya memperkirakan warga yang bermukim di lereng Gunung Agung dalam radius enam kilometer 15.000 jiwa dan radius 12 kilometer sekitar 100.000 jiwa. Jumlah pengungsi tersebut berdasarkan data yang tercatat oleh Pusdalops BPBD Provinsi Bali sampai kemarin pukul 12.00 Wita.

Pengungsi tersebut menyebar meliputi Kabupaten Badung di sembilan titik (756 jiwa), Bangli 29 titik (4.890 jiwa), Buleleng 24 titik (8.518 jiwa), Kota Denpasar 27 titik (2.539 jiwa), Gianyar 12 titik (540 jiwa), Jembrana empat titik (82 jiwa), Kabupaten Karangasem 93 titik (37.812 jiwa), Klungkung 162 titik (19.456 jiwa), dan Tabanan 17 titik (1.080 jiwa).

Jumlah pengungsi tersebut diperkirakan lebih besar dibandingkan dengan penduduk yang tinggal di dalam radius berbahaya yang direkomendasikan PVMBG untuk dikosongkan.

Meski demikian, sulit menentukan jumlah penduduk secara pasti. Sebab, data penduduk menggunakan basis administrasi desa, sedangkan data radius menggunakan batas daerah berbahaya letusan Gunung Agung.

"Batas radius berbahaya itu mudah terlihat di peta. Di lapangan tidak nampak. Di lapangan masyarakat tidak tahu mereka tinggal di dalam radius berapa. Inilah yang menyebabkan masyarakat yang tinggal di luar garis radius berbahaya pun ikut mengungsi," ucapnya.

Namun, masyarakat Bali memiliki rasa solidaritas yang tinggi dengan sesama warga. Hal ini ditunjukkan dengan banyaknya mereka menawarkan rumah dan bangunannya sebagai tempat pengungsian.

Bantuan masyarakat secara swadaya juga banyak dilakukan di berbagai tempat pengungsian lainnya. Solidaritas sosial yang tinggi itu merupakan modal yang luar biasa dalam mengatasi masalah pengungsi di tempat penampungan sementara.

Masyarakat secara mandiri dan spontan saling membantu anggota masyarakat yang mengungsi. Hal itu membuktikan bahwa semangat gotong-royong yang diwarisi secara turun temurun oleh masyarakat Bali hingga kini masih kental.

Solidaritas masyarakat itu layak diapresiasi dan didorong agar mereka tidak tergantung pada bantuan pemerintah. "Meskipun pemerintah tetap akan memberikan bantuan secara optimal kepada para pengungsi, ada beberapa kendala di lapangan yang sangat dinamis," ujar Sutopo Purwo Nugroho.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya