HEADLINE: Jabar Tolak Transportasi Online, Daerah Lain Menyusul?

Keputusan Jawa Barat membatasi transportasi online menjadi potret dilema layanan baru ini di berbagai daerah.

oleh Azwar AnasArie NugrahaPanji PrayitnoHuyogo Simbolon diperbarui 12 Okt 2017, 00:04 WIB
Diterbitkan 12 Okt 2017, 00:04 WIB
Ilustrasi Taksi Online
Ilustrasi Taksi Online

Liputan6.com, Jakarta - Dinas Perhubungan Jawa Barat melarang transportasi online beroperasi di seluruh wilayah Jawa Barat. Larangan itu tertuang dalam Surat Pernyataan Bersama antara Pemerintah Daerah Provinsi Jawa Barat dan Wadah Aliansi Aspirasi Transportasi (WAAT).

Alasan penutupan trasnportasi online terkait dengan belum jelasnya regulasi dari pemerintah pusat. Regulasi tersebut dinilai penting untuk mengambil tindakan setelah ada imbauan larangan beroperasinya transportasi online.

Kepala Balai Pengelolaan LLAJ wilayah III Dishub Jabar, Abduh Hamzah mengatakan, pihaknya telah menyurati Kementerian Perhubungan untuk meminta kejelasan regulasi terkait maraknya transportasi online.

"Kita mengirim surat kepada Kementerian Perhubungan yang ditandatangani Gubernur Jawa Barat perihal permohonan penertiban pedoman tentang penyelenggaraan angkutan sewa khusus," ujar Abduh di Bandung, Rabu 11 Oktober 2017.

Dia menambahkan, alasan Dishub Jabar mengirimi surat tersebut juga untuk meminta kepastian hukum dari pusat demi menciptakan persaingan usaha yang adil dan sehat di antara pengusaha angkutan.

"Salah satu poinnya soal adanya KIR dan izin seperti yang berlaku di angkutan konvensional. Untuk kesetaraan, angkutan sewa khusus juga harusnya begitu," ujarnya.

Abduh mengimbau kepada driver transportasi oniline untuk tidak beroperasi sampai dengan perizinan dari Kemenhub keluar yang diperikarakan pada 1 November nanti. Selama itu pula, Dishub Jabar bersama jajaran kepolisian menggelar operasi gabungan yang dimulai sejak Senin, 10 Oktober 2017.

"Kita kemarin melakukan penertiban kendaraan angkutan penumpang umum dan angkutan pribadi dalam rangka pengawasan dan pengendalian. Secara umum kita lakukan pada roda dua juga," ujar Abduh.

Keputusan pemerintah provinsi ini tidak segendang sepenarian dengan pemerintah di bawahnya. Walikota Cirebon, Nasrudin Azis menyayangkan hasil keputusan Dinas Perhubungan Jabar tersebut. Selama ini ia telah memutar otak agar transportasi online dan konvensional bisa berkolaborasi di Cirebon.

Aziz sukses menjembatani kesepakatan dengan ditandatanganinya 6 pasal mengenai aturan transportasi online dan konvensional. Bahkan, masing-masing kubu sepakat menyiapkan perwakilannya untuk menjadi Satgas Online dan Konvensional (OKE).

"Baru selesai kemarin, sekarang muncul lagi pendapat seperti itu apa nggak bikin mumet (pusing)," kata Azis kepada wartawan, Rabu 11 Oktober 2017.

Operator transportasi berbasis aplikasi tentu tidak sepakat dengan pelarangan tersebut. Pihak manajemen GO-JEK misalnya, menyayangkan perihal pentupan transportasi online di Jawa Barat. Keputusan ini, dianggap sangat merugikan para mitra pengemudi dan konsumen yang selama ini merasakan kemudahan dalam kehidupan sehari-harinya dari layanan transportasi online.

"Layanan transportasi online hadir dengan niat baik untuk memberikan solusi atas layanan transportasi yang mudah dan nyaman sekaligus memberikan peluang bagi pekerja sektor informal untuk meningkatkan kesejahteraannya," tutur pihak Management GO-JEK.

Terkait dengan perizinan, sebagai perusahaan karya anak bangsa, Management GO-JEK mengaku senantiasa memenuhi aturan yang berlaku. "Saat ini kami telah mengantongi izin usaha seperti SIUP, TDP dan izin usaha lainnya," ujarnya.

Gejolak Transportasi Online

Dari pertama kali muncul, fenomena transportasi online memang sarat dengan gejolak di berbagai daerah di Indonesia. Keputusan Jawa Barat tersebut merupakan potret dari belum tuntasnya konflik transportasi online dan konvensional di berbagai daerah. Operator transportasi konvensional umumnya menolak kehadiran layanan transportasi berbasis aplikasi.

Sebelumnya, seribu angkutan kota menggelar aksi unjuk rasa di depan kantor Gubernur Jawa Timur, pada 3 Oktober 2017. Setelah ditemui Gubernur Jawa Timur Soekarwo, ribuan sopir angkutan kota akhirnya membubarkan diri meninggalkan kawasan Jalan Pahlawan depan kantor Gubernur Jawa Timur.

Para sopir dengan tertib pulang setelah Soekarwo berjanji segera meneruskan aspirasi mereka ke Kementerian Perhubungan dan Kementerian Kominfo

Sesaat sebelum massa bubar, Kepala Dishub Jawa Timur Wahid Wahyudi juga sempat membacakan beberapa petisi yang dibuat para sopir angkot. Di antaranya mendesak Menteri Perhubungan dan Menkominfo segera menerbitkan aturan baru pengganti Permenhub 26/2017 yang telah dibatalkan MA agar kondisi Jawa Timur tetap kondusif, aman, dan tertib.

Dalam petisi ini, para sopir juga mendesak Presiden agar memberi petunjuk dan arahan kepada Menhub dan Menkominfo agar meninjau ulang aplikasi yang mendorong persaingan yang tidak sehat. Apalagi Negara Indonesia adalah negara hukum, sehingga harus mematuhi hukum. Kegiatan apa pun juga harus berdasarkan hukum.

"Kami juga akan melakukan penertiban untuk memastikan seluruh angkutan berbasis aplikasi mengantongi izin pemerintah."

Di Jawa Tengah, Gubernur Ganjar Pranowo meminta para pengemudi transportasi online dan konvensional agar bersaing secara sehat. Tantangan positif itu bermuara pada pemberian layanan terbaik untuk masyarakat di tengah perkembangan teknologi.

"Online lebih simpel, tidak ribet, tidak perlu tawar menawar karena tarif pasti pas. Ini tantangan taksi online dan konvensional untuk bersaing memberikan pelayanan prima," katanya di Semarang, Rabu 11 Oktober 2017, dilansir Antara.

Seiring maraknya transportasi online di berbagai daerah, kata Ganjar, tidak sedikit masyarakat yang lebih tertarik menggunakan jasa layanan transportasi daring dengan armada sepeda motor dan mobil pribadi dibanding transportasi umum konvensional bernopol kuning.

"Kondisi itu memunculkan polemik antara taksi online dan konvensional yang jauh lebih dulu ada," ujarnya.

Menurut Ganjar, kemunculan transportasi online di berbagai daerah tidak bisa dihindari, sebab perubahan peradaban zaman dan teknologi menyediakan kemudahan masyarakat menggunakan transportasi umum.

Kendati demikian, politikus PDI Perjuangan itu menyebutkan, semua kendaraan pengangkut manusia dan melintas di wilayah umum harus diatur, termasuk transportasi online. Kesetaraan peraturan itu yang dipertanyakan oleh para pelaku transportasi umum konvensioal.

"Mereka tidak menolak online, yang dipersoalkan adalah kesetaraan peraturan antara taksi online dan konvensional," ujarnya.

Kejar Tayang Regulasi Transportasi Online

Aliansi Angkutan Umum Jawa Barat
Para pengemudi tergabung dalam Aliansi Angkutan Umum Jawa Barat menuntut Pemprov Jabar menghentikan operasional transportasi berbasis online. (Liputan6.com/Arie Nugraha)

Tuntutan perlunya regulasi transportasi online mengemuka di setiap aksi penolakan. Pemerintah saat ini intensif menyusun regulasi seiring tenggat waktu usai pembatalan regulasi sebelumnya oleh Mahkamah Agung. 

"Saat ini pembahasan maraton mengejar tenggat November," kata Kepala Humas Ditjen Perhubungan Darat Kemenhub Pitra Setiawan. 

Sebelumnya MA membatalkan beberapa pasal dalam Peraturan Menteri Perhubungan (Permenhub) Nomor 26 Tahun 2017 tentang Penyelenggaraan Angkutan Orang dengan Kendaraan Bermotor Umum tidak dalam Trayek. Permenhub itu merupakan payung hukum operasional taksi online.

Pitra menjelaskan pihaknya mengejar tenggat November karena masa berlaku aturan yang dibatalkan sampai bulan itu. Saat ini tahapnya adalah revisi usai uji publik yang sudah dilaksanakan di Jakarta. 

Sebelumnya Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi menandaskan penerapan aturan tarif berkaitan dengan keselamatan. Semangat lainnya adalah mengupayakan kesetaraan antara online dan konvensional.

Pengamat transportasi, Darmaningtyas, menilai aturan dalam Permenhub tersebut telah sesuai dengan peraturan di atasnya, yaitu Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan (LLAJ). Agar transportasi berbasis online ini bisa dikendalikan, kata dia, Kemenhub harus secara tegas menerapkannya.

Solusi atas maraknya layanan angkutan umum berbasis aplikasi teknologi, menurut Dharmaningtyas, bukan dengan memblokir atau melarang penggunaan aplikasi tersebut. Tapi memaksa mereka untuk tunduk pada UU-LLAJ yang mensyaratkan penyedia layanan angkutan umum berbentuk badan hukum sebagai penyedia angkutan umum.

Jika sudah menjalankan peran sebagai sarana angkutan umum, maka aplikasi teknologi tersebut wajib tunduk pada UU LLAJ, bahwa penyediaan jasa angkutan umum dilaksanakan oleh badan usaha milik negara, badan usaha milik daerah, dan/atau badan hukum lain sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan.

Sejumlah persyaratan sebagaimana umumnya dituntut pada pengelola taksi konvensional, yaitu memiliki izin operasional, punya pool, melaksanakan uji KIR setiap enam bulan sekali, pengemudi wajib mengikuti asuransi tenaga kerja, berpelat kuning, tarif ditentukan oleh pemerintah, dan membayar pajak.

Jika persyaratan yang sama dikenakan pada operator aplikasi teknologi dan tarif mereka masih tetap kompetitif, maka operator taksi konvensional lah yang dituntut berbenah agar tarifnya lebih kompetitif.infografis Heboh Angkutan Online

Soal transportasi online ini, bagaimana suara konsumen sebagai pemagku kepentingan utamanya? Mari simak reaksi yang muncul di Jawa Barat sebagai gambarannya. 

Ada dua petisi yang bergulir di situs Change.co.id terkait kisruh transportasi online di Jawa Barat. Petisi pertama diunggah pada 10 Maret 2017. Sedangkan petisi kedua diunggah 10 Oktober 2017. 

Kedua petisi itu menyebutkan pemerintah telah mengabaikan hak masyarakat luas dalam memilih layanan transportasi. Penutupan transportasi online dinilai terlalu sepihak dan mengabaikan aspirasi warga.

Salah satu warga yang turut menandatangani petisi, Deffi Purnama mengatakan transportasi  online lebih dicintai warga karena kemudahan dan transparan. 

"Transportasi berbasis online itu banyak kemudahannya kayak datangnya cepat, sistem pembayarannya mudah dan aman," kata Deffi Purnama kepada Liputan6.com, di Bandung, Rabu, 11 Oktober 2017.

Konsumen lain, Yuli Rangkuti, menyebutkan sejumlah kelemahan transportasi konvensional seperti tidak adanya perkiraan jarak tempuh ke lokasi tujuan, sering berhenti sehingga memakan waktu (ngetem), dan besaran tarif yang tak jelas menjadi alasan kekecewaan. . 

"Tempat duduk sudah pasti nggak nyaman, apalagi kalau kapasitasnya cuma untuk 10 orang dipaksakan sampai 12 orang," kata Yuli.

Pendapat warga Bandung itu senada dengan materi petisi di situs Change.org. Pada paragraf terakhir disebutkan, "Sudah berapa banyak keluhan mengenai pelayanan supir angkot dan berita-berita aksi kriminal bahkan pelanggaran pengemudi angkot sendiri? Sampai sekarang tidak ada pembenahan atau pembaharuan."

Namun ada juga konsumen yang tetap 'setia' dengan transportasi konvensional. Anwar Siswadi mengatakan angkutan umum khususnya angkutan kota masih diperlukan keberadaannya. Namun jumlah harus dikurangi.

Anwar beralasan kebutuhan pengurangan angkutan kota akibat terus berkurangnya penumpang yang diangkut dalam kurun waktu tiga tahun terakhir. Pemicunya sebagian penumpang beralih menggunakan sepeda motor.

Menurutnya, baik angkutan kota mau pun bus kota, bisa tetap jadi pilihan calon penumpang karena aman dari angin, hujan, panas dibandingkan naik ojek online, bisa tidur, istirahat, makan, minum serta mengerjakan tugas sekolah dan kantor.

Transportasi konvensional tidak selalu berdampak negatif kata Anwar, namun juga berdampak pada kehidupan sosial. "Penumpang yang asalnya tidak kenal bisa pada ngobrol," ujar Anwar.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya