HEADLINE: Heboh Transfer Jumbo Orang Kaya RI, Takut Bayar Pajak?

PPATK sudah menelusuri adanya aliran dana orang RI dari Guernsey, Inggris, ke Singapura sejak beberapa bulan lalu.

oleh Arthur GideonAchmad Dwi AfriyadiSeptian DenyFiki Ariyanti diperbarui 11 Okt 2017, 00:00 WIB
Diterbitkan 11 Okt 2017, 00:00 WIB
Standard Chartered
Standard Chartered Bank (iStockphoto)

Liputan6.com, Jakarta - Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan blakblakan menyebut terdapat 81 warga negara Indonesia (WNI) yang memindahkan dana dengan nilai total US$ 1,4 miliar atau sekitar Rp 18,9 triliun (estimasi Rp 13.500 per dolar AS) dari Guernsey, Inggris ke Singapura. Pemindahan dana itu melalui Standard Chartered Plc yang dilakukan pada akhir 2015.

Direktur Jenderal Pajak Ken Dwijugiasteadi menjelaskan bahwa Ditjen Pajak telah berkoordinasi dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk menelusuri aliran dana ini. Dalam Laporan Hasil Analisis (LHA) PPATK menunjukkan memang terdapat perpindahan dari dari 81 nasabah individu tersebut.

"Jadi bukan satu orang, tapi jumlahnya 81 orang. Semua individu dan hanya melalui Standard Chartered," tegas Ken pada Senin, 9 Oktober 2017.

Ken menambahkan, dari 81 orang yang mengirim uang dari Inggris ke Singapura melalui Standard Chartered Plc, tak ada satu pun pejabat TNI, Polri, maupun penegak hukum lainnya yang terlibat, termasuk pejabat lain yang berhubungan dengan instansi tersebut.

"Jadi ini tidak ada urusannya dengan militer, untuk membeli senjata seperti yang disebutkan. Sebanyak 81 orang ini murni pebisnis," ucap dia.

Kepada Liputan6.com, Kepala PPATK, Kiagus Ahmad Badaruddin, menjelaskan, PPATK sudah menelusuri adanya aliran dana tersebut sejak beberapa bulan lalu. Menurutnya, dengan nominal yang tidak sedikit, ada dugaan dana tersebut berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang (TPPU).

"Tindak pidana pajak merupakan salah satu tindak pidana asal TPPU. Kalau melihat mutasi uang tersebut ke mana-mana kemungkinan besar unsur TPPU terpenuhi. Pemiliknya tidak satu orang," ucap Kiagus.

Wakil Kepala PPATK, Dian Ediana Rae, menambahkan, ada kemungkinan pemindahan dana tersebut untuk mengelak pajak. Namun, keputusan apakah benar transfer dana besar-besaran tersebut untuk menghindari pajak atau tidak, PPATK menyerahkannya ke Ditjen Pajak.

"Benar tidaknya dugaan itu tergantung hasil investigasi Ditjen Pajak yang berwenang untuk urusan ini. Kita tunggu hasil investigasi Ditjen Pajak," kata Dian.

Namun, Ken buru-buru menampik dugaan itu. Pemindahan dana besar-besaran tersebut bukan karena pencucian uang, tetapi lebih karena otoritas Guernsey mulai memberlakukan skema pelaporan perpajakan global atau Common Reporting Standard (CRS).

"Dari LHA PPATK disebutkan bukan menghindar, tapi takut dengan pajak. Karena data informasi di Guernsey mau dilaporkan melalui CRS. Itu yang mereka takut dilaporkan ke pajak," jelas Ken.

Untuk diketahui, Guernsey memang mengadopsi aturan Common Reporting Standard (CRS) atau pertukaran data perpajakan global mulai 2016. Sekitar 100 negara sepakat untuk bertukar informasi laporan tahunan tentang rekening milik orang-orang di setiap negara anggota untuk kepentingan pajak.

Ken melanjutkan, alasan puluhan WNI melakukan transfer dana besar-besaran ini karena ingin ikut program pengampunan pajak (tax amnesty) di Indonesia.

Setelah didalami, dari 81 WNI tersebut, terdapat 62 orang yang sudah ikut program pengampunan pajak (tax amnesty). Sementara, 19 orang sisanya tidak ikut tax amnesty. Sayangnya, sesuai amanat Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP) maupun UU Tax Amnesty, Ditjen Pajak tidak dapat mengungkap identitas 81 nasabah RI itu.

"Kalau ditanya untuk apa menarik dana di bank itu, ada yang jawab dipindahkan ke Singapura karena mau ikut tax amnesty, dan itu benar," tutur Ken.

Wajar memindahkan dana

Presiden Direktur PT Syailendra Capital, Jos Parengkuan, memastikan WNI yang memindahkan dananya dari Guernsey ke Singapura merupakan investor kelas kakap. Namun, menurut Jos, bagi investor kelas kakap memindahkan dana dari satu negara ke negara lain merupakan hal yang wajar.

"Bisa saja ada tawaran investasi yang menarik sehingga mereka mengambil opportunity tersebut. Jadi itu suatu hal yang tidak bisa dihindari," jelas dia kepada Liputan6.com.

Sebenarnya, hal ini juga dilakukan oleh investor asing di Indonesia. Jika para investor asing melihat Indonesia sedang bagus maka aliran dana masuk ke Indonesia akan tinggi.

Kebalikannya, jika imbal hasil di Indonesia kurang bagus dan ada negara lain yang menawarkan hasil investasi lebih menggiurkan maka mereka akan segera memindahkan dananya.

"Jadi kadang ada yang motivasinya itu hanya untuk mengoptimalisasikan dana mereka. Jadi saya pikir kadang-kadang ini masalah imbal hasil," jelas dia.

Selain itu, ada faktor lain juga investor memindahkan dananya, yaitu soal keamanan. Jika politik sebuah negara dirasa tidak bisa mendukung investasi maka investor akan berbondong-bondong juga memindahkan dana mereka ke negara lain.

Kerugian Indonesia

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, mengatakan, setidaknya ada empat kerugian yang dialami Indonesia dari aktivitas investor semacam ini.

Pertama, cadangan devisa Indonesia tidak tercatat dengan baik. Kedua, bisa saja dana yang disimpan tersebut merupakan hasil tindak kejahatan di Indonesia, seperti korupsi. Hal ini jelas membawa kerugian bagi negara.

"Transaksi yang abu-abu seperti ini memang berpotensi terkait dengan tindak kriminal seperti pencucian uang, transaksi ilegal, bisa juga terkait dengan dana hasil korupsi," jelas dia.

Ketiga, uang dengan jumlah yang besar tersebut jika disimpan di Indonesia, akan memberikan dampak yang besar bagi ekonomi nasional. Dana tersebut akan meningkatkan likuiditas di dalam negeri sehingga kegiatan bisnis bisa berjalan dengan dukungan modal yang memadai.‎

Keempat, hilangnya potensi penerimaan pajak. Sebab, dana yang disimpan di negara lain tersebut seharusnya bisa menjadi objek pajak dan bisa meningkatkan rasio pajak.‎

"Ini menjadi permasalahan pada penerimaan pajak. Ada objek pajak yang harusnya masuk dalam kantong pemerintah, tapi disimpan di Singapura dan terkait dengan aktivitas penghindaran pajak, otomatis rasio pajak kita masih 11 persen, akan sulit mencapai 13 persen. Ini kita tertinggal dari negara-negara ASEAN lain, bahkan ada beberapa negara yang sudah 20 persen," tandas dia.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya