Ada Jejak Homo Sapiens di Gua Braholo Gunungkidul

Homo sapiens atau manusia prasejarah di Gua Braholo, Pegunungan Sewu di Kabupaten Gunungkidul, kerap mengonsumsi binatang buruan.

oleh Anri SyaifulLiputan6.com diperbarui 25 Okt 2017, 12:01 WIB
Diterbitkan 25 Okt 2017, 12:01 WIB
20150728-Arkeolog Muda Temukan Gigi Manusia Purba Berusia 560.000 Tahun-Prancis 2
Ilustrasi arkeolog sedang meneliti gua purba dan peninggalan prasejarah. (AFP PHOTO/RAYMOND ROIG)

Liputan6.com, Gunungkidul - Jejak manusia modern awal atau homo sapiens terlacak di Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Untuk itu, tim peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional menggelar penelitian di Gua Braholo, Dusun Semugih, Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Gunungkidul, selama sebulan terakhir.

"Mereka berhasil menemukan tulang hewan yang hidup sekitar 3.000 sampai 7.000 tahun yang lalu," ucap Koordinator Lapangan Penelitian Gua Braholo Tim Peneliti Pusat Arkelologi Nasional, Thomas Sutikna, di Gunung Kidul, Selasa, 24 Oktober 2017, dilansir Antara.

Fosil tulang-belulang berbagai jenis binatang tersebut hidup pada zaman prasejarah. "Mereka terkubur di kedalaman tiga hingga tujuh meter di dalam tanah Gua Braholo," katanya.

Thomas membeberkan, hasil temuan tim peneliti, yakni tulang belikat rusa, tulang belulang kera, babi, anjing, tikus, dan kerbau di kedalaman satu hingga empat meter. Hal ini membuktikan banyak sekali fauna yang ada telah ada di Gunung Kidul.

"Untuk yang pernah dilakukan penelitian ada gigi gajah yang berusia 33 ribu tahun lalu, pada kedalaman enam sampai tujuh meter," tutur dia.

Dia menjelaskan, manusia prasejarah di Gua Braholo kerap mengonsumsi binatang-binatang tersebut. "Mereka berburu binatang dan membawanya ke tempat tinggal mereka di sini (Gua Braholo), dan dikonsumsi oleh kawanan manusia di kala itu," katanya.

Thomas mengatakan pula, fosil manusia purba yang ditemukan beberapa tahun lalu, mereka diperkirakan hidup 9.000 tahun lalu atau 7000 Sebelum Masehi. Mereka sudah mengenal tata penguburan awal. Hal ini diketahui dari bentuk tubuhnya sudah ditekuk.

"Mereka bukan manusia purba seperti yang ditemukan di Sangiran, tetapi manusia modern awal (homo sapiens). Saat ini, kerangkanya masih disimpan di Museum Punung Pacitan," sebut dia.

Penemuan fosil ini masih terus dikerjakan oleh tim peneliti dari Pusat Arkeologi Nasional yang bekerja sama juga dengan tim dari Universitas Gadjah Mada. Ekskavasi telah berlangsung sejak 9 Oktober 2017 lalu dan akan berakhir pada awal November mendatang.

"Beberapa fosil hasil penemuan akan kami bawa ke Punung, Pacitan. Untuk ekskavasi memang tidak dilakukan semuanya karena untuk menyisakan peneliti pada masa depan," katanya.

Saksikan video pilihan di bawah ini:

 

 

Gua Hunian Zaman Prasejarah

Arkeolog Mesir Temukan Mumi Ahli Perhiasan Emas di Makam Luxor
Dua tengkorak dan tulang yang berhasil digali di sebuah makam kuno di kota Luxor, Mesir (9/9). Sosok pandai emas pemilik makam itu diidentifikasi bernama Amenemhat. (AFP Photo/Khaled Desouki)

Gua Braholo adalah salah satu gua hunian zaman prasejarah di pegunungan karst Gunung Sewu. Gua ini terletak di Desa Semugih, Kecamatan Rongkop, Kabupaten Gunungkidul, DIY. Gua ini ditemukan tim Bidang Prasejarah Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, ketika mengadakan survei di seluruh wilayah Gunung Sewu, tahun 1996.

Dikutip dari laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, belasan gua ditemukan di bagian barat pegunungan ini dan satu di antaranya Gua Braholo, yang kemudian ditindaklanjuti dengan melaksanakan ekskavasi pada tahun 1997 dan 1998.

Penelitian di Gua Braholo merupakan bagian dari penelitian skala makro tentang eksploitasi sumber daya di daerah Gunung Sewu. Daerah yang memanjang pada arah timur-barat di bagian selatan Jawa ini terdiri dari pegunungan karst yang khas, berbentuk setengah bulatan atau kerucut diselingi lembah atau dataran sempit.

Berbagai peninggalan prasejarah dari budaya tertua (paleolitik) hingga termuda (paleometalik) tersebar dengan padat, terlebih di bagian timur. Budaya bercorak paleolitik lebih terkonsentrasi di sepanjang aliran sungai, seperti Kali Baksoka, Kali Wuni, Kali Pasang, Kali Sirikan, dan Kali Gede.

Sebaran paleolitik mencapai Kali Giritontro di daerah Wonogiri dan Kali Oyo di daerah Wonosari. Budaya Mesolitik lebih terpusat di gua atau ceruk, sementara budaya bercorak neolitik lebih terpusat di bentang alam terbuka.

Adapun selama periode penghunian yang panjang, sejak 33.000 tahun yang lalu, berbagai jenis artefak diproduksi oleh pemukim Gua Braholo. Artefak batu, artefak tulang, dan artefak dari cangkang moluska yang dihasilkan memiliki variasi yang cukup besar.

Sementara, pada lapisan budaya terbawah yang dianggap mewakili budaya Pleistosen Akhir, jenis artefak yang ditemukan semuanya terbuat dari batu, terdiri atas jenis-jenis serpih yang cenderung berukuran besar dan kasar. Di samping itu juga ditemukan tulang-tulang fauna besar.

Lapisan budaya yang berumur sekitar 12.000-6.000 tahun yang lalu mengandung jenis-jenis artefak yang dikategorikan ke dalam teknologi preneolitik. Lapisan budaya ini mengandung temuan yang sangat melimpah, terdiri atas alat- alat batu, tulang, dan cangkang moluska.

Jejak Manusia Ras Austromelanesoid

Dilansir pula oleh laman kebudayaan.kemdikbud.go.id, bukti-bukti penguburan delapan manusia prasejarah yang sebagian besar bercirikan ras Austromelanesoid juga ditemukan. Lapisan budaya selanjutnya merupakan transisi antara tahapan budaya preneolitik dan neolitik, sebagaimana dicirikan melalui percampuran antara dua corak tinggalan.

Pada lapisan budaya teratas, ciri-ciri neolitik tampak dari temuan sejumlah fragmen gerabah dan kapak persegi dari fosil tulang. Selain itu juga ditemukan fragmen-fragmen tulang fauna dan beberapa jenis biji-bijian.

Dari lapisan atas hingga bawah, temuan artefak tulang sangat dominan. Hal ini menunjukkan bahwa pada awal Holosen, kawasan pegunungan Sewu menjadi pusat produksi artefak tulang, di samping artefak batu, tanduk rusa, dan cangkang moluska.

Salah satu produk yang dianggap khas adalah jarum tulang berujung ganda (double pointed needle) yang sebelumnya dikenal di Sulawesi Selatan sebagai lancipan muduk. Melimpahnya tulang binatang sebagai sisa perburuan, termasuk sejumlah besar artefak tulang, menunjukkan bahwa perburuan binatang merupakan strategi kehidupan yang paling adaptif selama beribu-ribu tahun di kawasan karst Gunungkidul.

Limbah tulang yang dihasilkan bahkan mampu menopang berkembangnya teknologi pembuatan artefak-artefak tulang dalam berbagai bentuk. Bersamaan dengan aktivitas berburu binatang, tidak tertutup kemungkinan dilakukan pula pengumpulan bahan makanan dari tumbuhan. Sebab, pada dasarnya manusia adalah makhluk omnivora yang tidak dapat eksis hanya dengan mengonsumsi daging sepanjang hidupnya.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya