Nenek Moyang Manusia di Indonesia Jadi Saksi Letusan Dahsyat Toba

Sekelompok arkeolog berhasil menemukan fosil terbaru yang mampu menambah fakta ilmiah mengenai eksistensi homo sapiens di Asia Tenggara.

oleh Rizki Akbar Hasan diperbarui 10 Agu 2017, 19:40 WIB
Diterbitkan 10 Agu 2017, 19:40 WIB
Manusia Purba WCF 2016
(Liputan6.com/Devira Prastiwi)

Liputan6.com, Jakarta - Komunitas ilmu pengetahuan yang mendalami sejarah manusia purbakala kembali dikejutkan dengan temuan terbaru yang didapat dari Indonesia.

Sekelompok arkeolog berhasil menemukan fosil terbaru yang mampu menambah fakta ilmiah mengenai eksistensi awal homo sapiens di Asia Tenggara.

Temuan terbaru itu juga menambah fakta sains mengenai kondisi ekosistem terkait letusan gunung berapi super di Toba, Sumatera, pada 69.000 - 77.000 tahun lalu.

Erupsi super itu merupakan penyebab terbentuknya kawah besar yang kemudian terisi air, atau yang kini kita kenal sebagai Danau Toba.

Namun, erupsi masif itu juga menimbulkan efek bencana mahadahsyat. Diperkirakan, sekitar 60 persen makhluk hidup binasa pada saat itu.

Meski begitu, sebelum bukti baru ditemukan, ilmuwan meyakini bahwa manusia belum eksis kala letusan katastropik itu terjadi. Namun, cara pandang itu mungkin akan mengalami perubahan.

Berdasarkan temuan teranyar, tim peneliti dari Australia menyimpulkan bahwa sekelompok manusia telah hadir di kawasan Asia Tenggara dan Sumatera pada periode yang sama dengan letusan gunung berapi super Toba terjadi.

Ini berarti, kala erupsi mahadahsyat itu berlangsung, homo sapiens diduga turut menjadi saksi.

Terobosan hipotesis itu diperoleh setelah tim peneliti menemukan sejumlah fosil baru berupa gigi manusia di Gua Lida Ajer, Dataran Tinggi Padang, Sumatera Barat. Demikian seperti yang dilansir dari Newsweek, Kamis (10/8/2017).

(kiri atas) Fosil gigi Homo sapiens temuan terbaru di Gua Lida Ajer, Sumatera Barat (Chris Clarkson, Kira Westaway, dkk)

"Ada kemungkinan kecil bahwa sekelompok manusia yang bermigrasi berhasil tiba di Sumatera tepat sebelum super erupsi Toba terjadi. Namun, besar kemungkinan pula mereka tiba di sana setelah bencana itu," ujar Kira Westaway, anggota tim peneliti dari Macquarie University Australia.

Telaah itu juga merombak hasil temuan sebelumnya yang menyebut bahwa manusia homo sapiens baru ada di kawasan Sumatera dan Asia Tenggara sekitar 45.000 - 60.000 tahun lalu. Temuan terbaru itu mendorong jauh periode eksistensi manusia di Indonesia hingga sekitar 20.000 - 30.000 tahun lamanya.

Berlibur ke Danau Toba, kini memang tak harus menempuh perjalanan jauh selama enam jam dari Medan.

"Temuan awal menunjukkan bahwa homo sapiens tiba di Kalimantan pada 45.000 tahun yang lalu. Namun, temuan terkini mendorong jauh kehadiran mereka hingga 20.000 tahun lamanya," jelas Kira Westaway. Atau dengan kata lain, nenek moyang manusia tiba di nusantara sekitar 65.000 tahun lalu.

Analisis fosil gigi teranyar itu juga menunjukkan bahwa homo sapiens yang kala itu hidup di kawasan Asia Tenggara, tinggal di lingkungan hutan hujan lebat seperti Sumatera dan Borneo (Kalimantan).

Hipotesis teranyar dianggap dapat merombak perspektif tradisional mengenai pola gaya hidup dan migrasi manusia.

Perspektif tradisional menyebut bahwa manusia melakukan pola migrasi melalui jalur pesisir pantai yang dianggap lebih aman ketimbang kawasan hutan. Rute yang diambil oleh nenek moyang manusia kala itu adalah bertolak dari Afrika Selatan untuk menyisir pesisir pantai timur Benua Hitam menuju ke utara.

Saat tiba di Tanduk Afrika di utara, nenek moyang homo sapiens kemudian melintas dan menyebar ke Eropa, Timur Tengah, Asia Barat, Asia Selatan, Asia Timur, Asia Tenggara, hingga ke Australia.

Pola migrasi yang panjang itu membuat manusia lebih sering tinggal di wilayah pesisir. Kawasan itu juga diyakini lebih aman dan penuh dengan penyokong hidup ketimbang wilayah hutan.

Akan tetapi, temuan fosil di Gua Lida Ajer menunjukkan bahwa ada sekelompok manusia yang hidup di dan bermigrasi melalui jalur hutan. Temuan itu menjadi kejutan tersendiri bagi para ilmuwan.

"Hutan hujan memerlukan keahlian hidup yang sulit, karena membutuhkan inovasi dan teknologi yang canggih," tambah Westaway.

"Menemukan bukti kehidupan mereka di hutan menunjukkan betapa telah sangat berkembangnya homo sapiens kala itu dari segi keahlian dan kecerdasan," pungkasnya.

Hasil temuan dirilis dalam jurnal ilmiah Nature, International Weekly Journal of Science pada 9 Agustus 2017.

"Temuan di Gua Lida Ajer itu menyajikan mata rantai yang hilang, menjadi bukti kehadiran manusia modern di Asia Tenggara sekitar 63.000 hingga 73.000 tahun lalu. Temuan itu merupakan hasil yang fantastis terkait situs kehidupan manusia di kawasan, pola gaya hidup, serta pola migrasi mereka," jelas Chris Clarkson, ketua tim peneliti.

Ilmuwan lain memberikan opini ilmiah guna menanggapi penelitian teranyar itu. Michelle Langley dari Griffith University Brisbane Australia menekankan agar telaah yang lebih komprehensif harus terus dilakukan, terutama terkait hipotesis mengenai homo sapiens awal yang hidup di hutan hujan Sumatera dan Borneo.

"Penemuan gigi di sana, tanpa ada temuan artefak atau bekas habitasi lain, tidak serta-merta menunjukkan bahwa mereka menjalani hidup dan memanfaatkan sumber daya di dalam hutan," jelas Langley.

"Bisa saja mereka hanya sekedar lewat wilayah itu."

 

Saksikan juga video berikut ini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya