Modus Baru Perdagangan Manusia Berkedok Biaya Penempatan TKI

Beban jual beli pekerjaan ini dianggap sebagai modus baru trafficking atau perdagangan manusia dan menukai kritik keras LSM.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 24 Nov 2017, 12:40 WIB
Diterbitkan 24 Nov 2017, 12:40 WIB
Buruh migran pra-penempatan dibekali pengetahuan perlindungan dan paralegal, sebelum berangkat ke luar negeri. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Buruh migran pra-penempatan dibekali pengetahuan perlindungan dan paralegal, sebelum berangkat ke luar negeri. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Cilacap - Kabupaten Cilacap merupakan daerah dengan jumlah pengirim Tenaga Kerja Indonesia (TKI) atau buruh migran terbesar di Jawa Tengah dan nomor empat di Indonesia. Remiten yang dihasilkan para buruh migran asal Cilacap pun lebih dari Rp 30 miliar per bulan.

Angka ini sempat menurun saat pemerintah menutup sementara pengiriman buruh migran ke Timur Tengah pada 2012. Pasalnya, saat itu buruh migran Indonesia terbanyak berada di Arab Saudi dan beberapa negara kawasan Teluk lainnya.

Namun, jumlah buruh migran kembali meningkat mulai 2015 menyusul tren perubahan negara tujuan, dari Timur Tengah menuju Hongkong dan Taiwan. Jumlah buruh migran Cilacap pun membengkak mencapai 16 ribu orang pada 2017.

Namun, tren perubahan negara tujuan ini rupanya dimanfaatkan oleh agensi dan Perusahaan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia Swasta (PPTKIS) atau PJTKI. Mereka mengenakan biaya jual beli pekerjaan (biaya job) di sektor pekerjaan formal. Angkanya cukup mencengangkan, mencapai Rp 15 juta hingga Rp 20 juta per orang.

Biaya job juga dikenakan kepada TKI informal, seperti Asisten Rumah Tangga (ART) atau perawat orang jompo dan pengasuh bayi, meski dengan angka yang tak sebesar sektor formal.

Beban jual beli pekerjaan ini dianggap sebagai modus baru human trafficking atau perdagangan manusia dan menuai kritik keras Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang bergerak pada isu buruh migran. Mereka menganggap, biaya yang dikenakan kepada TKI itu tak sebanding dengan gaji buruh migran Taiwan yang hanya mencapai Rp 5 juta–Rp 8 juta di sektor informal dan Rp 8 juta–Rp 12 juta di sektor formal.

Mereka mendesak agar segera dilakukan moratorium TKI Taiwan.

Pasalnya, buruh migran masih dibebani dengan biaya lain, seperti medical, dokumen ketenagakerjaan, dokumen keimigrasian, administrasi, pelatihan, dan tetek bengek biaya-biaya lain dari PJTKI. Tiap buruh migran Taiwan diperkirakan menanggung beban utang kepada PJTI sebesar Rp 25 juta hingga Rp 40 juta.

Utang itu harus dibayar melalui skema pemotongan gaji yang biasanya berlangsung antara 7-9 bulan.

Tren Perubahan Negara Tujuan dari Timur Tengah ke Taiwan

Komunitas buruh migran di Cilacap mendirikan kelompok dan menghasilkan produk rumahan untuk menambah penghasilan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Komunitas buruh migran di Cilacap mendirikan kelompok dan menghasilkan produk rumahan untuk menambah penghasilan. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Pemerintah akhirnya tanggap. Mulai 6 Agustus 2017, moratorium TKI formal ke Taiwan diberlakukan. Tata kelola buruh migran Taiwan, baik di PJTKI dan agensi diperbaiki. Namun, moratoirum yang hanya di sektor formal itu tak berimbas pada sektor informal. Minat buruh migran informal tetap tinggi. Pemerintah juga melarang PJTKI mengenakan biaya kepada TKI.

Koordinator Pos Pelayanan Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (P4TKI) Cilacap, Ervie Kusumasari memperingatkan agar PJTKI tak mengirimkan buruh migran jika ada beban biaya.

"Jika PJTKI masih memberlakukan biaya job untuk sektor informal, PPTKIS akan langsung dikenakan sanksi tunda layanan, skorsing hingga pencabbutan SIPPTKI," dia menegaskan, Jumat (24/11/2017).

Ia mengungkap, selain sektor formal, di Taiwan, ada pula agensi yang membebani biaya job kepada TKI di sektor informal, seperti ART.

Dia pun mengakui, setelah moratorium penempatan Tenaga Kerja Indonesia (TKI) ke Timur Tengah, terutama Arab Saudi, terjadi pergeseran minat negara tujuan. Tertinggi adalah Hongkong, Taiwan, Singapura, dan Malaysia.

Menurut dia, dua negara pertama diminati lantaran gajinya paling besar dibanding negara-negara lainnya. Kebutuhan tenaga kerjanya pun besar sehingga banyak tersedia lowongan pekerjaan. Sebab itu, banyak calon TKI Cilacap yang juga berangkat ke Taiwan.

Sosialisasi Moratorium Taiwan dan Pelatihan Keterampilan

Produksi sale pisang menjadi andalan buruh migran purna Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Produksi sale pisang menjadi andalan buruh migran purna Cilacap. (Foto: Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Khusus Taiwan, kebutuhan pekerja formal sangat besar. Namun, buruh migran dibebani biaya jual beli job (pekerjaan) oleh agensi pekerjaan. Beban itu membuat buruh migran terlilit hutang terlalu besar. Akibatnya, posisi buruh migran lemah.

Selain sektor formal, di Taiwan, ada pula agensi yang membebani biaya job kepada buruh migran di sektor informal, seperti asisten rumah tangga.

Ervie menerangkan, pihaknya intensif menyosialisasikan moratorium pekerja formal dan larangan biaya job ke seluruh PPTKIS dan berbagai acara yang melibatkan calon buruh migran. Sebabnya, meski moratorium sudah diberlakukan sejak 6 Agustus 2017 lalu, tetapi masih banyak PPTKIS dan warga yang belum mengetahui bahwa peringiriman sektor formal Taiwan dihentikan sementara.

"Taiwan ada beberapa, yang dia yang jaga jompo, tetapi di panti. Cuma, untuk yang ke Taiwan pekerjaan formal, sementara ini ditutup, karena beban biaya yang dikenakan kepada TKI terlalu tinggi. Jadi saat ini sedang diperbaiki pengelolaannya dulu," dia menjelaskan.

P4TKI pun rutin menggelar berbagai pelatihan keterampilan buruh migran purna di Cilacap agar mereka tak lagi kembali ke luar negeri, seperti di industri kerajinan dan berbagai olahan makanan. Diharapkan, keterampilan itu bisa menjadi sumber penghasilan para TKI sehingga tak perlu lagi menjadi buruh migran.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya