Wedang Ronde, Minuman Imlek Persembahan untuk Dewa

Di Indonesia mungkin hanya dijual di kaki lima. Namun di China sana, Wedang Ronde khusus dipersembahkan untuk para dewa.

oleh Edhie Prayitno Ige diperbarui 11 Feb 2018, 10:04 WIB
Diterbitkan 11 Feb 2018, 10:04 WIB
ronde
Disajikan dalam mangkuk kecil sebagai perlambang bahwa Imlek merupakan momentum yang mewadahi pertemuan keluarga. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Liputan6.com, Semarang - Imlek selalu terjadi saat musim hujan. Udara dingin sama seperti di China yang memasuki musim dingin. Minuman penghangat jadi salah satu solusi. Namun siapa sangka jika Wedang Ronde, minuman penghangat itu sebenarnya minuman para dewa?

Sejarawan Kota Semarang, Jongkie Tio berbagi cerita. Jika tiga tahun lalu, Jongkie menjelaskan tentang sejarah wedang ronde yang merupakan karya masterpiece seorang dayang, kali ini ia bercerita tentang simbol-simbol yang melingkupinya.

"Selamat siang menjelang sore," Jongkie Tio menyapa akrab, Sabtu (10/2/2018). "Hujan seperti ini mau minum apa? Holand-javanis, China-javanis atau mau minuman Jawa?"

Belum sempat dijawab, Jongkie memilihkan minuman perpaduan China-Javanis sebagai minuman yang paling cocok menemani obrolan saat hujan. Minuman ini, kata Jongkie, asli dari China dan telah akrab dengan masyarakat Indonesia sejak berabad-abad silam. Wedang Ronde.

Dipanggillah seorang pelayan, agar menyajikan wedang ronde dengan beberapa kudapan. Proses pembuatan ronde sendiri terdiri dari adonan tepung ketan yang dicampur sedikit air dan dibentuk menjadi bola kemudian direbus. Dalam penyajiannya diberi kuah jahe dicampur gula.

"Nama aslinya, Tangyuan. Di tanah asalnya, tidak beda dengan di Indonesia, minuman itu disajikan ketika musim dingin tiba. Namun di China, minuman itu disajikan khusus untuk dewa-dewa," kata Jongki.

 

Bartabur Makna

ronde
Peminat sejarah asal Semarang Jongkie Tio di Restoran Semarang yang dikelolanya. (foto: Edhie Prayitno ige)

Jongki melanjutkan, orang China sangat khawatir dengan kedatangan musim dingin. Cuaca yang ekstrem tidak jarang sampai merenggut nyawa. Maka orang sana berharap belas kasih dari dewa.

"Ketika memohon pada Tuhan, orang sana memerlukan perantara dewa. Agar dewa berkenan, dibuatlah semacam sesajen yang dipersembahkan ketika berdoa di kelenteng," katanya.

Pelayan datang. Wedang Ronde panas dengan uap masih mengepul naik menyebar aroma harum dan segar.

Jongkie kemudian melanjutkan kisahnya. Sesajen itu berupa air jahe, manisan jahe serta bola-bola tiga warna merah, hijau, putih yang di dalamnya diisi gula dan mangkuk sebagai tempat penyajian.

"Air jahe dengan maksud agar badan mendapat kehangatan. Tiga bola-bola berwana yang diisi gula, merupakan tiga rangkaian pengharapan," kata Jongkie.

Warna merah disajikan dengan harapan memperoleh keberanian menghadapi musim dingin, agar memperoleh karunia dan kebahagiaan yang disimbolkan warna hijau. Dengan dua pengharapan itu, diharapkan hati menjadi bersih, sebagaimana makna warna putih.

"Setelah semua pengharapan itu diraih, maka sebarkan hasilnya dengan ucapan yang manis, yang disimbolkan gula di dalam bola-bola," kata Jongkie.

 

Pedagang Ronde Zaman Now

ronde
Bulatan ronde atau Tangyuan ini dibuat dari tepung beras ketan diisi kacang, untuk menggambarkan keakraban keluarga yang utuh bulat. (foto : Liputan6.com/edhie prayitno ige)

Kenapa berbentuk bulat dan disajikan di dalam mangkuk? Bulat adalah simbol keakraban, istilah Jawa yang mewakili ungkapan itu adalah guyub. Wedang Ronde yang aslinya bernama Tangyuan menjadi salah satu sajian wajib saat perayaan Cap Go Meh. Itu adalah waktu berkumpulnya seluruh anggota keluarga setelah merayakan tahun baru Imlek.

Selain untuk perayaan cap go meh, juga ada festival khusus untuk mengenang proses sejarahnya, yaitu festival Yuanxiao atau festival lampion atau festival wedang ronde jika di Indonesia.

"Orang China telah sampai di Nusantara kisaran tahun 400 Masehi. Dan sejak awal telah menjalin hubungan begitu mesra, bahkan jalinan pernikahan China-Jawa bukan hal tabu. Seperti raja di Mangkunegaran," katanya.

Berbeda dengan Jongkie yang paham benar tentang per-wedang ronde-an, Sri Waluyo, seorang pedagang wedang ronde di kawasan Simpang Lima mengaku tak tahu dan tak peduli dengan sejarah itu. Ia tak tahu, tak mau tahu, dan tak ingin tahu.

"Yang penting laris dan orang-orang seneng dengan wedang rondeku, hanya cukup dengan harga Rp 7.000 per porsi," katanya.

Ketika minuman para dewa ini membumi, memang hanya sedikit orang yang masih mau mengerti dan memahami awal muasal kuliner ini. Padahal jika mengerti maksud awal pembuatan, tentu ketika proses membuatnya akan dilakukan sepenuh hati sepenuh jiwa. Yang dilakukan sepenuh hati dan sepenuh jiwa, akan mendatangkan berkah. Sensasi rasa juga akan lebih paripurna.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya