Legenda Batu Akik dan Ancaman Krisis Air di Cagar Geologi Karangsambung Kebumen

Lantaran tak menemukan batu akik, batu apa pun dibawa. Mereka juga membeli jenis batu purba dari para penambang di Karangsambung, Kebumen.

oleh Muhamad Ridlo diperbarui 01 Jul 2018, 00:01 WIB
Diterbitkan 01 Jul 2018, 00:01 WIB
Batuan purba berusia puluhan hingga ratusan juta tahun tersimpan di Museum Geologi Karangsambung, Kebumen. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Batuan purba berusia puluhan hingga ratusan juta tahun tersimpan di Museum Geologi Karangsambung, Kebumen. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Liputan6.com, Kebumen - Usianya masih muda, 26 tahun. Perawakannya kukuh dan terliat khas penambang-penambang yang tiap hari berjibaku dengan pasir, rendaman air, koral, kadang batu akik, dan panasnya matahari.

Sejak 10 tahun lampau, ketika masih berusia 16 tahun, Suparno menghabiskan waktunya dari hari ke hari di Sungai Luk Ulo, Karangsambung Kebumen, Jawa Tengah. Ia terpaksa berhenti ketika baru bersekolah SMP lantaran tak ada biaya.

Puluhan, atau bahkan ratusan anak lelaki bernasib sama dengan Suparno. Mereka putus sekolah dan menceburkan nasibnya pada aliran Sungai Luk Ulo, yang mengalir mulai dari Wonosobo, berlanjut ke Sadang, Karangsambung, Buluspasantren hingga bermuara di Samudera Hindia.

Padahal, sebagian tambang galian C itu masuk dalam kawasan Konservasi Cagar Geologi Karangsambung, yang diakui sebagai yang terbesar dan terlengkap di Asia, bahkan konon, dunia.

Mereka tak menyadari, pasir-pasir, batuan tua, batu akik dan koral yang ditambang mengancam narasi muasal Pulau Jawa. Di sini lah batuan tua berusia 120 juta tahun ditemukan yang mengungkapkan sejarah bumi.

"Saya cuma sekolah SD saja. Pernah ke Jakarta juga, ikut orang. Tapi tidak lama, tidak betah. Yang lama itu ya di kampung, ikut menambang. Menambangnya manual, kalau di sini kan tidak boleh memakai sedot. Sekarang pun masih ada," Suparno menuturkan kepada Liputan6.com, beberapa waktu lalu.

Sembilan tahun menjadi penambang pasir dan kadang mencari batu akik, Suparno mulai merasa pekerjaan itu tak terlampau menjanjikan. Ia lantas mengadu nasib menjadi buruh batu koral yang ditambang dengan ledakan dinamit.

Itu pun tak lantas membuat nasibnya membaik. Ia mulai sadar dan beralih mengadu nasib menjadi pedagang, sekaligus turut membantu mengelola Bukit Pentelu, Karangsambung, Kebumen sebuah bukit batuan purba yang disulap menjadi lokasi wisata.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Kala Luk Ulo Kebumen Diserbu Ribuan Pencari Batu Akik

Meski dilarang, penambangan pasir massif terjadi di Sungai Luk Ulo di Kawasan Konservasi Geologi Karangsambang, Kebumen, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Meski dilarang, penambangan pasir massif terjadi di Sungai Luk Ulo di Kawasan Konservasi Geologi Karangsambang, Kebumen, Jawa Tengah. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Kesadaran itu juga dipicu semakin minimnya persediaan pasir di Sungai Luk Ulo. "Sebenarnya, kebutuhan pembeli itu, berapa rit pun berapapun mau. Yang susah itu kan pasirnya. Kalau sekarang ini, malah serombongan 10 orang atau lebih baru jadi satu truk," dia menambahkan.

Suparno bercerita, laju kerusakan tercepat terjadi pada tahun 2015. Saat itu, ribuan orang berkunjung ke Sungai Luk Ulo. Mereka mencari batu akik.

Lantaran tak menemukan batu akik, batu apa pun dibawa. Mereka juga membeli jenis batu purba dari para penambang di Karangsambung, Kebumen. Sembari menambang pasir, warga pun banyak yang berjualan batu berbagai ukuran.

"Sewaktu sedang booming itu, yang beli tiap hari di Sungai Luk Ulo itu banyak. Kalau yang di sungai itu, harga batunya sekitar Rp 30 ribu, Rp 50 ribu, kalau yang tertinggi itu sekitar Rp 100 ribu," dia menuturkan.

Peralihan mata pencaharian masyarakat ini lah yang kini tengah diupayakan oleh Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia di Kawasan Konservasi Geologi Karangsambung, Kebumen. Hal ini dilakukan untuk mengantisipasi kerusakan lebih parah Cagar Geologi akibat penambangan yang telah masif sejak puluhan tahun lalu.

Pasalnya, penambangan pasir dan material lain yang tak terkendali di Sungai Luk Ulo menyebabkan sungai terbesar di Kebumen ini mengalami krisis pasir. Defisit pasir itu ternyata juga menyebabkan krisis air saat musim kemarau.

Kepala Unit Pelaksana Teknis (UPT) Balai Informasi Konservasi dan Kebumian (BIKK) LIPI Karangsambung, Edi Hidayat mengatakan, berdasar penelitian tahun 2017 lalu, Sungai Luk Ulo, terutama di wilayah Konservasi Geologi Karangsambung, mengalami defisit pasir dalam kurun waktu 10 tahun terakhir.

"Kita pernah melakukan penelitian, kawasan Luk Ulo, terutama yang berada di tengah kawasan cagar alam geologi itu, sebenarnya pasirnya defisit itu," Edi menerangkan.

Ancaman Geologi dan Krisis Air Bersih di Kawasan Cagar Geologi

Penambangan dengan dinamit mengancam bukit-bukit purba di Kawasan Cagar Geologi Karangsambung. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)
Penambangan dengan dinamit mengancam bukit-bukit purba di Kawasan Cagar Geologi Karangsambung. (Liputan6.com/Muhamad Ridlo)

Edi menjelaskan, pasir merupakan Spons (penyerap) untuk menyimpan air. Ketika tidak ada pasir maka saat hujan air langsung mengalir ke muara tanpa tersimpan. Sebab itu, pada musim kemarau Sungai Luk Ulo mengalami penurunan debit yang signifikan.

Bahkan, sumur-sumur yang berada di dekat sungai, di sekitar Desa Karangsambung Kecamatan Karangsambung, Kabupaten Kebumen kering ketika tak turun hujan selama sebulan pada tahun 2017 lalu.

"Dan yang terjadi, kasus yang dekat-dekat kampung sini saja (Karangsambung) kemarau, tahun kemarin, kering benar tidak ada hujan sebulan. Sumur penduduk yang berada di dekat sungai, kering, ironis itu," dia mengungkapkan.

Musababnya pasir datang dari daerah hulu dan pegunungan. Namun, jumlah pasir yang datang ke Sungai Luk Ulo tersebut tak sebanding dengan pasir yang ditambang sepanjang tahun. Diperkirakan tiap tahun Sungai Luk Ulo defisit sebesar 20 persen.

"Jadi kalau misalnya yang diambil 10 truk, yang datang secara alami itu cuma delapan truk," ujarnya.

Edi mengemukakan, Karangsambung telah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Alam Geologi. Sebab itu, segala bentuk kegiatan harus atas rekomendasi dari BIKK LIPI.

Namun, dia mengakui LIPI tak bisa memaksa penambang untuk menghentikan sumber penghidupannya begitu saja. LIPI hanya bisa mendorong lembaga berwenang untuk menindak penambang liar.

Dalam jangka panjang, defisit pasir bisa menyebabkan bencana geologi lantaran berubahnya struktur sungai yang berimbas pada semakin cepatnya degradasi atau penurunan kualitas alam.

Sebab itu, ia menyerukan agar seluruh pihak, mulai masyarakat, pemerintah desa dan pemerintah daerah lebih ketat dan tegas untuk melindungi kawasan konservasi.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya