Bantul - Berangkat dari hobi masa kecil, pemuda asal Bantul ini memproduksi jersey atau kostum sepak bola yang bukan hanya jadi koleksi orang di Indonesia. Predikat jersey pertama asal Indonesia yang terpampang di etalase website kolektor jersey terbesar dunia, Classic Football Shirts (CFS) sempat disandang beberapa tahun lalu.
Penampilan Dwi Mei Sulistya (28), pemuda warga Banguntapan, Bantul, terkesan biasa saja saat ditemui KRjogja.com, Jumat, 22 Juni 2018, di sebuah rumah produksi kawasan Banguntapan Bantul. Namun di balik kesederhanaannya, pemuda yang akrab disapa Sulis itu merupakan salah satu produsen apparel lokal klub sepak bola yang diakui hingga dunia internasional.
Salah satu prestasinya adalah menyandang 100 besar jersey terbaik dunia versi Goalcom tiga kali disandang sejak 2014 lalu. Salah satu di antara sedikit di Indonesia yang mampu meraihnya.
Advertisement
KRjogja.com berkesempatan berbincang lebih jauh dengan pemuda pemilik brand apparel Reds ini. Brand ini pula yang sejak 2013 dikenal luas setia melekat di tubuh para pemain Persiba Bantul dengan berbagai keunikan tema yang diusung.
Baca Juga
Obrolan dimulai dari awal ketertarikan Sulis hingga menjadi produsen jersey sepakbola. Ternyata, jawabannya adalah ketika di masa kecil ia kerap diajak sang ayah untuk 'wisata jersey' di pasar yang ada di wilayah Solo Jawa Tengah.
"Setiap satu bulan sekali saya selalu berburu jersey klub sepak bola bersama bapak saya di Solo, pasti saya minta pada penjualnya untuk memilihkan yang paling jarang ada di lapaknya. Paling ingat betul jersey Perugia yang Nakata," kata lulusan Advertising FISIP UAJY ini.
Kesukaannya terhadap jersey sepak bola masih sama dengan masa kecilnya. Bahkan, saat ini jersey bukan hanya soal hobi tapi juga menghidupinya.
Seperti menemukan passion dalam dirinya, Sulis yang mempelajari dunia periklanan lantas terjun ke dunia bisnis seragam sepakbola setelah lulus kuliah. Jadilah Persiba Bantul, tim asli dari brand Reds berasal menjadi klub profesional pertama yang menggunakan jasa produk Sulis pada 2013.
"Pada tahun 2013, Reds memroduksi jersey resmi Persiba Bantul yang kala itu main di kompetisi Indonesia Premier League (IPL)," tutu. Tapi itu pun masih merugi hingga dua-tiga tahun kedepan karena penjualan jerseynya tak sebanding dengan biaya produksi," kenangnya terkekeh.
Baca berita menarik KRJogja.com lainnya di sini.
Â
Fokus Pembuatan Jersey Klub Kecil
Namun, hal itu tidak menghentikan usahanya. Sulis bersama dua rekannya, Adhi Nugraha Kijing dan Nugroho Susanto, belakangan mendapat keuntungan lantaran brand Reds menjadi dikenal secara lebih luas.
Beberapa klub lantas tertarik bekerja sama yang lalu menaikkan penjualan pada para pecinta jersey sepakbola di seluruh dunia. Ia berfokus menangani klub kecil yang tidak dikenal luas.
"Tapi, jersey buatan kami laku bahkan hingga ke Skotlandia dan Meksiko, lebih mahal ongkos kirimnya daripada harga jerseynya sendiri. Tapi ternyata produk kami yang asli Bantul ini diapresiasi kolektor dunia," ucapnya tersenyum.
Untuk membuat usaha apparel Reds tetap hidup, Sulis yang kini fokus sendiri mengelola mengandalkan penjualan pada para kolektor di seluruh dunia. Dengan memosisikan diri demikian, para kolektor otomatis menanyainya tentang klub yang dipegangnya.
"Dan nanti mereka akan membeli, tidak peduli meski itu hanya Persiba yang kini di Liga 3 atau bahkan Persig Gunungkidul yang di tingkat regional DIY," sambungnya bangga.
Untuk proses produksi, Sulis tetap mengandalkan sumber daya lokal mulai dari desainer hingga penjahit dan pemasaran. Dalam satu bulan, Reds bisa memproduksi hingga 1000 jersey apabila sedang menangani sebuah tim.
"Ada enam orang tapi ketika musim baru ya bertambah karyawan lepas. Mencari bahan, menjahit, dan packaging semua dilakukan sendiri. Di sini kepuasan sekaligus otentiknya Reds asli Bantul. Saat mendesain juga begitu, kami semua braindstorming mencari ide terbaik yang dituangkan dalam jersey," katanya.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement