Kiblat Baru Nomadic Tourism Indonesia

Kabupaten Bandung menjadi contoh sukses pembangunan destinasi nomadic tourism di Indonesia.

oleh Ahmad Apriyono diperbarui 17 Okt 2018, 09:00 WIB
Diterbitkan 17 Okt 2018, 09:00 WIB
Glamping Rancabali
Foto: Shendy Aditya

Liputan6.com, Jakarta - Apa yang membuat sekelompok anak milenial memilih tidur di tenda daripada di hotel berbintang saat liburan? Bukan tidak punya uang, atau bosan dengan fasilitas ala borju, tapi memang gaya liburan anak sekarang sudah berubah.

Pascakemunculan media sosial berbagi foto dan video, momen liburan kini bukan sekadar jalan-jalan lalu pulang dengan segudang rasa lelah. Lebih dari itu, ada kepuasan bila bisa berbagi dengan banyak orang di media sosial.

Maka tak heran jika banyak negara di dunia mengalihkan kiblatnya untuk mengincar pasar nomadic tourism. Indonesia misalnya telah menjadikan glamp camp, home pod, caravan, dan aktivitas nomadic tourism pada umumnya sebagai salah satu program yang digarap serius Kementerian Pariwisata.

Bekerja sama dengan unsur-unsur pemangku kepentingan pariwisata yang lain, Kemenpar berusaha mengatasi keterbatasan tersedianya infrastruktur bagi pelaku nomadic tourism.

Keseriusan pemerintah menggarap nomadic tourism bukan tanpa alasan. Menteri Pariwisata Arief Yahya pernah mengatakan, nomadic tourism punya nilai ekonomi yang tinggi dan pelayanannya juga mudah, sehingga menarik para pelaku industri pariwisata untuk mengembangkan bisnis ini. Terutama untuk aksesibilitas dan amenitas, mengingat bisnis ini cepat memberikan keuntungan komersial.

Kabupaten Bandung menjadi contoh sukses bagi penyelenggaraan nomadic tourism di Indonesia. Kabupaten berhawa sejuk yang dikelilingi pegunungan ini punya beberapa atraksi wisata yang bisa memanjakan pelaku nomadic tourism. Glamping Rancabali adalah salah satunya. Mengusung konsep modern kemping, Luthfi Manager Glamping Rancabali, meyakini destinasi wisata buatan ini akan menjadi masa depan gaya wisata milenial.

"Konsep kita sangat nomadic tourism. Kita membuat suatu tema kamping di alam bebas, tapi dengan fasilitas lengkap. Kita mau kembangkan ke spot-spot lain. Ciwidey saja masih banyak yang belum terekspos, ada air terjun, hutan yang masih sangat alami," ungkap Luthfi saat ditemui awak Liputan6.com.

Ada 19 tenda berkonsep modern lengkap dengan kamar mandi di dalam yang dimiliki Glamping Rancabali.

Tenda-tenda tersebut dibagi beberapa kategori, Lake Side dan Family Side. Sebuah pinisi yang bertengger di pinggir danau menjadi pusat kehidupan glamping. Perahu yang dibuat serupa dengan kapal pinisi sungguhan itu menjadi tempat sarapan dan makan malam bagi penghuni glamping Rancabali. Bahkan, perahu ini kerap dijadikan lokasi prewedding dan pertemuan bisnis.

Tidak hanya Rancabali, Kabupaten Bandung juga punya Orchid Forest Cikole sebagai salah satu destinasi nomadic tourism. Menteri Pariwisata Arief Yahya bahkan tidak malu-malu mengatakan dirinya terkesan dengan konsep yang diusung Orchid Forest Cikole.

"Tempat ini perfect, 360 derajat dari semua lini, bisa cantik di kamera. Itu modal yang bagus buat upload di Instagram, Facebook, Twitter dan YouTube," ungkap Arief Yahya.

Selain digawe anak-anak muda Bandung, Orchid Forest menjadi menarik lantaran juga menjadi “markas” bagi beranekaragam anggrek. Ada 20.000 macam anggrek yang dibudidayakan di kawasan ini, bahkan di antaranya merupakan anggrek langka.

Wood Bridge dan wahana Flyng Fox menjadi tempat yang tepat bagi yang ingin mendapatkan foto liburan yang bukan hanya indah, tapi juga punya nilai jual untuk mengundang like di media sosial. Ditambah suhu udaranya yang terbilang sejuk, membuat pengunjung betah berlama-lama di tempat ini.

Tak berhenti di situ, sebagai salah satu destinasi wisata berkonsep nomadic tourism, Orchid Forest Cikole juga membuka diri bagi orang-orang yang ingin menggelar gathering, outbond, meeting perusahaan, hingga pendalaman karakter dengan cara seru di tempat yang menyenangkan.

Gerak Nyata Warga

Orchid Forest Cikole
Orchid Forest Cikole. Foto: Ahmad Ibo/ Liputan6.com.

Dikaruniai keindahan dengan beragam atraksi wisata hits yang terus berkembang, tak membuat pelaku industri pariwisata di Kabupaten Bandung ongkang-ongkang kaki.

Melalui beberapa paguyuban penyedian pariwisata, para pemuda Kabupaten Bandung melakukan aksi “jemput bola” untuk menggaet lebih banyak kunjungan wisata.

Kang Jo, salah seorang pendiri paguyuban penyedia wisata di Kabupaten Bandung kepada Liputan6.com mengaku, pihaknya bahkan harus standby di beberapa tempat di Kota Bandung. Seperti di stasiun, terminal, dan bandara untuk menggaet wisatawan yang ingin mengunjungi tempat-tempat baru selain di Bandung kota.

"Sudah ada programnya, dalam seminggu ada tiga kali di Rabu, Sabtu, dan Minggu, kita bikin open trip. Jadi, kita stand by-nya di Bandung, ada yang di Stasiun Bandung, ada yang di bandara, dan terminal. Tiga itu tergantung kliennya minta jemput di mana," ungkap Kang Jo.

Untuk paket open one day trip ini, wisatawan hanya perlu membayar Rp 190 ribu. Harga ini sudah termasuk jasa guide, transportasi kawasan Ciwidey, dan makan siang di Pinisi Resto Glamping Rancabali.

Jika pengunjung lebih suka destinasi treking dengan suasana yang masih sangat alami, ada juga beberapa pilihan kunjungan, mulai dari Kawah Rengganis, treking tea walk di Glamping Rancabali, hingga menemukan beberapa air terjun yang belum banyak terekspos dan menikmati sunrise Kawah Putih.

Dukungan Pemerintah Setempat

Orchid Forest Cikole
Menteri Pariwisata Arief Yahya baru saja meresmikan Orchid Forest Cikole, Lembang, Bandung sebagai Pilot Project Nomadic Tourism dan Ecotourism.

Namun demikian, apa artinya kesiapan pelaku industri pariwisata di daerah tanpa aksi nyata pemkab dan dinas pariwisata setempat untuk mendukungnya?

Agus Firman Zaelani, Kadispar Kabupaten Bandung, mendadak sontak melakukan aksi. Dirinya bahkan punya ambisi besar merebut pasar pariwisata Timur Tengah yang selama ini identik dengan Bali dan Lombok NTB. Bersama jajarannya, Agus bahkan telah menyiapkan jurus khusus. Bekerja sama dengan lembaga kajian Pusat Halal Salman, Kabupaten Bandung telah menyiapkan formula tersendiri untuk mengembangkan wisata halal.

"Jadi, kajian nanti itu membuat rekomendasi, termasuk mau ke arah mana pariwisata halal ini. Kita tidak berkiblat ke Aceh dan NTB, kita minta rekomendasi dari pusat kajian yang kita buat," ungkap Agus Firman kepada Liputan6.com.

Dibangunnya Tol Sorean-Pasir Koja (Soroja) juga menjadi bukti lain kerja Pemkab untuk mengembangkan pariwisata Kabupaten Bandung. Dengan dibukanya tol tersebut, kunjungan wisatawan ke Kabupaten Bandung meningkat 20 persen.

Agus pun mengakui hal ini. Belum sampai setahun tol Soroja dibuka, destinasi wisata di Kabupaten Bandung, khususnya bagian selatan sudah mulai banyak dikunjungi wisatawan.

"Sekarang Setu Patengan enggak ada wikennya, ramai terus," ungkap Agus.

Keberadaan tol yang diresmikan Presiden Joko Widodo pada 4 Desember 2017 ini bukan hanya memangkas waktu perjalanan 2,5 jam dari Kota Bandung, tapi juga menyebarkan kunjungan 200.000 wisatawan yang tadinya hanya terpusat di Kota Bandung.

Agus mengakui, banyaknya kunjungan wisata tentu akan menimbulkan macet, terlebih di jalur keluar Tol Soreang yang mengarah ke destinasi wisata. Untuk mengantisipasinya, telah dipikirkan untuk membuat aternatif jalan lingkar Bandung.

Kabapaten Bandung tampaknya telah siap menjadi salah satu kiblat nomadic tourism di Indonesia. Kolaborasi apik antara swasta, masyarakat, dan pemerintah memudahkan jalan pariwisata untuk menemukan tempat yang semestinya: meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

 

Simak juga video menarik berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya