Mengenang Seni Kentrung Jatimenok Asli Rejosopinggir yang Terpinggirkan

Selain karena tak ada permintaan, regenerasi yang terputus juga menjadi penyebab memudarnya kesenian kentrung Jatimenok ini.

diperbarui 13 Nov 2018, 02:01 WIB
Diterbitkan 13 Nov 2018, 02:01 WIB
Seni Kentrung Jatimenok Asli Rejosopinggir Mati Suri
Badri, 80, asal Dusun Jatimenok, Desa Rejosopinggir, adalah salah satu pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan seni Kentrung Jatimenok yang masih ada (Achmad RW/Jawa Pos Radar Jombang)

Jombang - Nasib sejumlah kesenian tradisional Tanah Air kini di ujung tanduk. Seperti halnya kesenian kentrung Jatimenok yang berada di Desa Rejosopinggir, Kecamatan Tembelang, Kabupaten Jombang. Jumlah pemain berkurang karena tak ada generasi penerus kesenian ini.

Badri (80) asal Dusun Jatimenok, Desa Rejosopinggir, adalah salah satu pelaku sekaligus saksi sejarah perjalanan seni Kentrung Jatimenok yang masih ada. Saat Jawa Pos Radar Jombang menemui di kediamannya di Dusun Jatimenok, Desa Rejosopinggir, Kecamatan Tembelang, kakek 80 tahun ini mengaku sedang sakit.

"Ini lagi meriang badannya," ucapnya membuka percakapan. Badri hingga kini masih menyimpan kenangan baik tentang kesenian Kentrung. Pertunjukan seni berlatar cerita panji dan berbagai cerita lain yang bisa dikembangkan itu dulu sempat jaya di Jombang.

Dalam grup, Badri biasa memainkan kentrung beserta empat anggotanya lain, yang semua wanita yang juga kerabat sendiri. "Dulu saya yang main sama tiga orang lainnya itu istri, anak pertama, dan satu masih saudara juga," sambungnya.

Empat orang yang bermain itu bertugas menabuh masing-masing alat yang dibawanya yakni camplung, alat musik berbentuk bulat kecil dengan tabung di bagian belakang. Terbang, alat musik yang berpenampang paling besar dan lebar bersuara bass.

Ketipung alat musak berbentuk lonjong dan Kendang. "Nah saya ini di bagian kendang, juga sebagai dalang," imbuh dia. Dalam pertunjukannya, cerita juga dibawakan dengan cara dituturkan dalang sembari memainkan musik.

Di sela-sela pertunjukan, juga dibawakan lagu-lagu hingga senggakan-senggakan khas berupa pantun dari tiga anggota grup lain. Badri menganggap kesenian tersebut kini mati suri. "Alatnya masih ada sampai sekarang, cuma sudah tidak ada tanggapan lagi. Semua disimpan di rumah," ujarnya.

Pada era 70-an, kesenian ini jadi salah satu primadona di kalangan masyarakat umum hingga pejabat pemerintah daerah. "Terakhir diundang Pak Bupati Hudan Dardiri," kenangnya.

Selain karena tak ada permintaan, regenerasi yang terputus juga menjadi penyebab. Bahkan, anak cucunya sendiri pun disebut Badri tak ada yang mampu meneruskan.

Pola pertunjukan yang harus memadukan bermain musik dan bercerita ditambah kekompakan dalang dan panjak untuk saling bersahutan, disebutnya juga menjadi kendala besar. "Sampai sekarang kami belum ada yang mengganti meski sebenarnya saya sendiri kepingin ada penerusnya," Badri memungkasi.

 

Baca berita menarik lainnya dari JawaPos.com di sini.

 

Simak video pilihan berikut ini:

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya