Cerita Bumi Hangus Kampung Naga Saat Melawan Pemberontakan DI/TII

Falsafah kami 'Pamarentah bukan lawaneun tapi kulaaneun' yang artinya pemerintah bukan untuk dilawan, namun untuk dilayani.

oleh Jayadi Supriadin diperbarui 04 Mar 2019, 08:01 WIB
Diterbitkan 04 Mar 2019, 08:01 WIB
Salah satu rumah panggung khas Kampung Naga yang dulu luluhlantak dibuminguskan pemberontah DI/TII di Tasikmalaya
Salah satu rumah panggung khas Kampung Naga yang dulu luluhlantak dibuminguskan pemberontah DI/TII di Tasikmalaya (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Liputan6.com, Tasikmalaya - Perjalanan Kampung Naga, di Desa Neglasari, Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat pernah mengalami hal pilu, saat pemukiman unik mereka dibumihanguskan pemberontak Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) enam dekade silam.

"Kejadiannya pada 1956 saat kami tidak mau tunduk sama mereka," ujar Endut Suganda, salah satu pengurus Himpunan Pramuwisata Kampung Naga (Himpana), Sabtu (2/3/2019) petang lalu.

Menurutnya, kemerdekaan 1945 merupakan ikrar semua pihak bangsa Indonesia, termasuk warga Kampung Naga yang menyatakan kesetiaan menjadi bagian NKRI.

Falsafah kami 'Pamarentah bukan lawaneun tapi kulaaneun' yang artinya pemerintah bukan untuk dilawan, namun untuk dilayani.

Akibat dari sikap tegas leluhur Kampung Naga, gerombolan DI/TII pun berang hingga akhirnya membumihanguskan pemukiman adat mereka. "Akhirnya banyak kami 'Pareumeun Obor' (kehilangan jejak)," ujar dia.

Sejak dulu, dalam menjalankan roda pelayanan, masyarakat kampung Naga memiliki lembaga adat tersendiri, dengan sistem hirarki kepemimpinan yang cukup kuat.

"Paling tinggi posisinya dipegang pak kuncen, pengaruhnya besar sekali dan harus diikuti semua warga," ujar Urya, pemandu wisata.

Dibanding pemerintahan lainnya yang dibatasi masa jabatan, pengabdian kuncen bagi masyarakat kampung Naga adalah pengecualian. Mereka memberikan kepercayaan penuh jabatan itu, hingga akhir hayat.

"Itu pun nanti penggantinya biasanya diambil dari garis keturunannya (kuncen) sendiri," ujar dia.

Dalam prakteknya kehadiran kuncen ini memiliki peran ganda, tidak hanya sebagai pemimpin tertinggi dalam setiap kegiatan ritual kegiatan keagamaan warga kampung Naga, juga berperan penting sebagai majelis pertimbangan tertinggi, dalam menjaga kelestarian adat dan alam lingkungan.

"Kalau kuncen bisa menjadi punduh atau pun lebe jika keduanya berhalangan, tapi punduh dan lebe tidak bisa langsung menjadi kuncen, harus ada muswarah dulu," ujarnya.

Hirarki Kepemimpinan

 

Pengurus Kampung Adat Naga Tasikmalaya (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Ada enam kegiatan besar setiap tahun yang seluruhnya dipimpin kuncen, yakni  perayaan Muharam, Mauludan (Maulid Nabi), Jumadil Akhir atau acara pertengahan tahun, Sa’ban yakni acara mapag atau penyambutan bulan suci ramadan, hingga perayaan besar Idul Fitri dan Idul Adha. 

Tak heran, dengan seabrek fungsinya, kehadiran kuncen bagi masyarakat kampung Naga memang seolah tak tergantikan. "Kecuali jika berhalangan maka digantikan oleh keturunannya sendiri dari kuncen yang mimpin," ujarnya. 

Kedua, struktur kepemimpinan lembaga adat Kampung Naga diemban Punduh atau pengayom masyarakat. Punduh yang didaulat kepanjangan tangan dari kuncen, diamanatkan menjalankan roda pelayanan masyarakat.

"Istilahnya ngurus laku meres gawe, atau mengurus kelakuan warga dan menyelesaikan pekerjaan buat warga," ujarnya.

Sebut saja, beberapa aktifitas warga seperti gotong royong, kerja bakti, hingga soal diplomasi dengan pihak luar, maka peran punduh sangat diandalkan. "Kalau pun ada warga yang bertikai, maka orang pertama yang menjembatani adalah punduh," kata dia.

Bahkan, disamping itu, Punduh ujar dia, harus mampu mengayomi masyarakat dengan baik, termasuk menyelesaikan kelakuan warga Kampung Naga, jika terbukti menyimpang.

"Laporan awal dulu sama kuncen, nanti mereka yang menentukan sangksi apa yang akan diberikan," ujar dia.

Ketiga, stuktur kelembagaan adat Kampung Naga diemban Lebe. Jika di daerah lain sebutan Lebe biasa disandang orang yang menikahkan kedua mempelai dalam sebuah pernikahan, lain halnya dengan di Kampung Naga.

Fungsi utama Lebe di sini, lebih ditujukan memimpin jalannya kegiatan keagamaan terutama yang berkaitan dengan kematian seorang warga Kampung Naga. "Tahlilan, pengajian dan lainnya yang berhubungan keagamaan, maka itu tugas utamanya," ujarnya.

Dengan adanya pembagian tugas tersebut, tak mengherankan sejak lama keberadaan dan keberlangsungan hidup warga Kampung Naga terbilang aman, damai dan sejahtera. "Ya minimal tiis ceuli herang mata (Suasana yang menggambarkan ketenangan, jauh dari pertentangan)," ujarnya sambil tersenyum.

Pola Hidup Sehat

Deretan rumah panggung dan MCK nampak terpisah di pemukiman Kampung Naga Tasikmalaya
Deretan rumah panggung dan MCK nampak terpisah di pemukiman Kampung Naga Tasikmalaya (Liputan6.com/Jayadi Supriadin)

Salah satu hal unik yang membedakan pemukiman warga saat ini, dengan area perkampungan Kampung Naga adalah tidak adanya fasilitas Mandi Cuci Kakus (MCK) di dalam rumah.

Demi menjaga pola hidup sehat, seluruh fasilitas yang digunakan untuk sarana kebersihan dan pembuangan hajat manusia itu, sengaja di tempatkan di bagian luar rumah untuk menghindari bau dan terhindar dari kotor.

"Satu rumah satu MCK posisinya dekat rumahnya," ujar Urya sambil menunjukan beberapa MCK yang berada di sekitar pemukiman mereka.

Dengan konsepan seperti itu, tak ayal seluruh masyarakat Kampung Naga terbilang bersih dan selalu sehat dalam hal sanitasi hidup.”Mohon maaf jarang ada nyamuk di rumah kami, sebab MCK di luar, jadi tidak bau,” ujar dia.

Bahkan untuk mengalirkan air saat musim hujan tiba, tak lupa tepat di depan deretan rumah mereka yang tersusun rapi, satu lubang memanjang dengan kedalaman 20-30 centimeter, terlihat memanjang searah dengan pemukiman warga.

Fasilitas itu sengaja ditempatkan di depan rumah, yang berfungsi sebagai drainase dalam mengalirkan air hujan agar terhindar dari banjir. “Nanti kalau ada hujan, airnya langsung mengalir ke sungai, sementara jika kering dijadikan jalan umum buat warga,” ujar Urya menambahkan.

Terakhir, perbedaan pemukiman warga Kampung Naga dengan penduduk lainnya, adalah soal denah rumah. Sejak dulu pemukiman warga Kampung Naga, selalu menghadapkan rumah tempat tinggalnya ke arah kidul- kaler (utara – selatan), dengan posisi rumah memanjang ke arah Timur-Barat.

"Masyarakat di sini percaya, jika tidur sesuai arah jarum jam ngidul ngaler (Utara-Selatan), melancarkan peredaran darah," ujarnya.

Saksikan video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya