Liputan6.com, Manado - Indonesia mencanangkan 21 April sebagai Hari Kartini, seorang pejuang emansipasi perempuan yang lahir di tanah Jawa.
Perjuangan kesetaraan kaum perempuan di Indonesia tak hanya dilakukan oleh Kartini, melainkan juga oleh pejuang wanita lainnya seperti Maria Walanda Maramis dari Minahasa, Sulawesi Utara (Sulut).
"Melihat perjuangan sosok Maria Walanda Maramis, sesungguhnya sama dengan perjuangan RA Kartini. Bagaimana seorang perempuan di masa itu masih sangat tertinggal dan sangat tidak dihargai,"Â kata Nurhasanah dari LSM Swara Parangpuan Sulut, Sabtu (20/04/2019).
Advertisement
Baca Juga
LSM Swara Parangpuan Sulut sudah berdiri sejak 1998, selama ini aktif melakukan edukasi dan advokasi terhadap isu-isu perempuan.
Nurhasanah lanjutkan, dengan segala keterbatasan yang dimiliki baik pendidikan formal maupun kungkungan adat patriarki yang kuat, seorang Maria bisa membuktikan bahwa perempuan juga memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki. "Termasuk bisa berkiprah di ruang politik," ujar Nurhasanah.
Idealnya perjuangan kesetaraan itu tidak hanya diperjuangkan oleh perempuan tapi juga dukungan dari laki-laki seperti yang dilakukan oleh kakak dan suami Maria Walanda Maramis dan juga kakak serta suami RA Kartini.
"Budaya menulis perempuan juga masih perlu didorong sebagai salah satu alat perjuangan mendapatkan kesetaraan seperti yang dilakukan Maria dan Kartini," ujarnya.
Nurhasanah mengatakan, Maria dan Kartini sudah menancapkan tonggak perjuangannya untuk menuju kesetaraan antara perempuan dan laki-laki. Saat ini perempuan sudah banyak mendapatkan kesempatan berkiprah di ruang politik maupun ruang publik lainnya.
Meskipun banyak tantangan di mana salah satunya kemampuan yang diragukan, dan tuduhan melawan kodrat. Perempuan harus cerdas, berani dan berpikiran terbuka.
"Tantangan perjuangan perempuan saat ini justru perempuan itu sendiri. Salah satunya karena dogma agama. ketaatan perempuan terhadap laki-laki (suami) dijadikan senjata untuk kembali mengurung perempuan di ruang domestic. Dan perempuan yang melanggar dikatakan tidak beriman," papar Nurhasanah.
* Ikuti Hitung Cepat atau Quick Count Hasil Pilpres 2019 dan Pemilu 2019 di sini
Maria Walanda Maramis yang Terlupakan
Berbeda dengan sosok Kartini yang diperingati khusus, Maria Walanda Maramis seorang pahlawan nasional dengan karya-karyanya yang besar, namun seolah hilang dari lembaran sejarah. Beruntung peninggalan berupa organisasi PIKAT dan asrama putri masih beroperasi, selain makamnya berada di lokasi yang strategis. Jika tidak, mungkin Maria Walanda Maramis benar-benar dilupakan.
Meski menyandang gelar pahlawan nasional atas kiprahnya, Maria nyaris dilupakan dan hilang dari sejarah. Sejarawan dari Universitas Sam Ratulangi (Unsrat) Manado, Ivan RB Kaunang ikut mempertanyakan minimya apresiasi dan penghargaan terhadap seorang Maria.
"Apakah mungkin pemerintah kurang mensosialisasikan tokoh-tokoh, pahlawan dari daerah ini? Ataukah pendidikan kewarganegaraan kita di berbagai jenjang pendidikan yang belum banyak menyentuh penghargaan terhadap pahlawan nasional kita," papar Ivan.
Letak makam berada di jalur utama Jalan Raya Maumbi, Kabupaten Minahasa Utara atau jalan raya lintasan Manado - Bitung, Sulawesi Utara. Jaraknya Sekitar 10 Km dari kota Manado. Pada bagian depan, berdiri sebuah monumen tepat di tengah lokasi makam berbentuk segi lima dan berdiameter 3 x 3 m persegi.
Sepintas terlihat monumen itulah sebagai makamnya. Ternyata jika kita masuk jauh lagi ke lokasi makam, tepatnya di belakang monumen ini, akan terlihat ada dua kuburan di belakang monumen itu.
Maria lahir di desa Kema, Kabupaten Minahasa Utara, Minggu, 1 Desember 1872. Meski lahir dari keluarga sederhana namun bersama organisasi yang dia dirikan bernana Perkumpulan Ibu Kepada Anak Temurunnya (PIKAT), Maria berjuang untuk pendidikan kaum perempuan. Dia juga menolak bahkan melawan diskriminasi terhadap kaum perempuan.
Atas kerja keras yang konsisten dan jasa-jasanya itu, Maria dianugerahi gelar pahlawan nasional melalui Surat Keputusan Presiden RI Nomor 12/K/1969 tanggal 20 Mei 1969. Dalam surat yang ditandatangani Presiden Soeharto itu, Maria bersama dua tokoh lainnya yakni Arie F Lasut dan Christina Martha Tiahahu dianugerahi gelar pahlawan nasional.
Saksikan video pilihan berikut ini:
Advertisement