Ada yang Beda dari Kirab Malam Selikuran Surakarta 25 Mei 2019

Ada yang berbeda pada tradisi malam selikuran tahun ini dibanding tradisi era Paku Buwono (PB) X. Apa ya?

diperbarui 24 Mei 2019, 04:00 WIB
Diterbitkan 24 Mei 2019, 04:00 WIB
Intip Hikmatnya Malam Selikuran di Keraton Surakarta
Pada ritual tradisi tersebut para abdi dalem keraton melakukan kirab dengan membawa seribu tumpeng.

Solo - Sesuai tradisi, Keraton Kasunanan Surakarta Hadiningrat bakal kembali menggelar perayaan malam selikuran atau malam 21 Ramadan pada Sabtu, 25 Mei 2019, malam.

Seperti tahun sebelumnya, kirab akan mengarak 1.000 tumpeng sebagai simbol malam lailatul qadar atau malam seribu bulan. Namun, ada yang berbeda pada tradisi malam selikuran tahun ini dibanding tradisi era Paku Buwono (PB) X.

Pengageng Parentah Karaton Kasunanan Surakarta Hadiningrat, KGPH Dipokusumo, mengatakan kirab kali ini hanya dipusatkan di lingkungan Keraton hingga Masjid Agung, tak sampai ke Taman Sriwedari.

"Kirab dimulai dari Sasana Sewaka menuju Masjid Agung setelah Salat Tarawih atau sekitar pukul 20.00 WIB," kata dia kepada wartawan seusai rapat bersama di Sasana Putra, Keraton Solo, Selasa, 21 Mei 2019, sore.

Dipo, sapaan akrabnya, mengatakan meski kirab tak berakhir di Taman Sriwedari, hal itu tak mengurangi esensi tradisi. Adik PB XIII itu mengisahkan tradisi malam selikuran sejak Keraton Solo berdiri dipusatkan di Masjid Agung.

Baru ketika Paku Buwono (PB) X memegang tampuk kekuasaan, kirab diperpanjang hingga Taman Sriwedari sekaligus untuk membuka pasar malam. "Tahun ini tidak sampai Sriwedari karena sedang dibenahi. Tapi tidak mengurangi tradisi dan semangatnya," ucap Dipo.

Seribu tumpeng malam selikuran akan diarak bersama ratusan lampu ting atau pelita dengan diiringi bregada atau prajurit keraton.

Kasi Pelestarian Cagar Budaya dan Museum Dinas Kebudayaan (Disbud) Kota Solo, Bambang, yang juga hadir di rapat itu, mengatakan mendukung tradisi tahunan tersebut sebagai wujud pelestarian budaya.

"Harapannya dapat menjadi produk budaya yang terus dijaga dan dilestarikan serta dapat menjadi giat budaya rutin. Selain juga melestarikan makna dan filosofinya dari segi agama," kata dia.

 

Baca berita menarik lainnya di Solopos.com.

 

Simak video pilihan berikut ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya