Â
Liputan6.com, Bangkalan Banyak yang tidak percaya bahwa Sembilangan adalah sebuah pulau yang terpisah dengan kota Bangkalan. Bahkan warga setempat bakalan kaget dan tak percaya mendengar itu.
Kawasan Sembilangan sendiri sebanarnya meliputi 6 desa, yaitu Desa Kramat, Ujung Piring, Petaonan, Pernajuh, Dakiring juga Junganyar. Sembilangan sendiri nama sebuah dusun di Desa Pernajuh.
Advertisement
Kawasan itu terhubung dengan wilayah Bangkalan oleh dua buah jembatan. Jembatan Gladak Lanjeng di Utara menghubungkan Desa Kramat dengan Desa Martajesah.
Di sebelah Selatan ada Jembatan Gladak Miring- posisi jembatan itu kemudian diserap menjadi nama desa Dakiring- menghubungkan desa itu dengan Desa Socah di seberangnya.
Baca Juga
Bila kedua jembatan itu tidak ada, maka warga di kawasan Sembilangan yang hendak ke Kota Bangkalan harus menyeberang dengan perahu. Ini bukti pertama bahwa kawasan itu adalah sebuah pulau.
Penyebutan kawasan itu sengaja menonjolkan nama Sembilangan di banding desa lain, semata merujuk dokumen-dokumen pemerintah Hindia Belanda yang menyebut kawasan itu dengan Sembilangan.
Dalam buku Perubahan Sosial dalam Masyarakat Agraris Madura yang ditulis Kuntowijoyo disebut, pada masa lalu Sembilangan adalah kawasan pelabuhan, saat Pasukan Barisan Bangkalan dikirim ke Aceh oleh Belanda untuk berperang.
Kapal-kapal yang mengangkut Pasukan Barisan berlabuh di Pantai Sembilangan. Para anggota Barisan kemudian diarak sepanjang jalan hingga Keraton Bangkalan karena meraih kemenangan dalam perang selama tiga bulan itu.
Kesaksian Pemancing
Lutfi (35), warga Sembilang mungkin satu di antara banyak orang yang percaya bahwa kawasan tersebut adalah pulau.
Lutfi tahu karena pernah menyewa perahu nelayan di Desa Kramat untuk mencari spot mancing yang bagus. Dengan sewa Rp 15 ribu, dia mulai mendayung perahunya mengikuti arus air.
Dia pun kaget ternyata arus air membawa perahunya sampai ke jembatan Dakiring. "Cuma mungkin karena alirannya kecil sehingga oleh warga disebut sungai. Padahal itu laut, airnya pun asin tidak payau," tutur dia menduga-duga.
Pagi hari, kata Lutfi, air pasang dari Dakiring selat mengalir hingga ke Gladak Lanjeng. Menjelang siang giliran air pasang dari Gladak Lanjeng mengalir ke Dakiring.
"Pertemuan dua arus itu membuat ikan melimpah, tapi sekaligus rawan, banyak yang tenggelam di sana," ungkap Lutfi.
Â
Advertisement
Barat dan Timur
Rifai sesepuh masyarakat Desa Dakiring tahu bahwa sebuah aliran laut memisahkan desanya dengan Desa Socah di seberang. Tapi dia tak merasa berada di sebuah pulau berbeda karena sejak lahir sudah ada jembatan penghubung ke dua desa.
"Dulu kata bapak jembatannya dari bambu, posisinya pun miring, sehingga jadi nama desa Dakiring (Gladak Miring)," katanya.
Warga pun tak menganggap aliran itu sebagai laut melainkan sungai. Mungkin karena jaraknya hanya selemparan batu dan bisa dicapai dengan berenang andai tak ada jembatan.
Terpisahnya dua kawasan ini nampak dari dua istilah yang biasa digunakan warga setempat. yaitu Madura Barat Sungai, untuk menyebut orang di kawasan Sembilangan dan Madura timur sungai untuk menyebut orang yang tinggal di kota Bangkalan.
"Sifat kami juga berbeda. Orang barat sungai lebih kalem, timur sungai lebih keras, walau sesama orang Madura," kata Rifai.
Â
Peninggalan Belanda
Di Sembilangan cukup banyak jejak peninggalan kolonial. Yang masih terawat adalah mercusuar untuk navigasi kapal-kapal yang melintas di selat Madura.
Dulu, mercusuar ini dibuka untuk obyek wisata, namun kini ditutup karena kondisinya mulai miring.
Memiliki tinggi 78 meter, mercusuar dibuat pada zaman ZM Willem III, seorang raja Belanda. Namanya terpahat di atas pintu masuk. 1878 tercantum sebagai tahun pembuatannya.
Di Bangkalan, Mercusuar Sembilangan lebih masyhur disebut 'lampu'. Sebab pada malam hari, lampu mercusuar akan menyala dan daya jangkaunya mencapai 45 mil.
Menurut Rifai, Belanda juga pernah membuat pulau reklamasi, kini dikenal dengan sebutan pulau Nyamukan, letaknya antara Sembilangan dan Gresik. Namun reklamasi tak tuntas karena keburu diserang Jepang.
"Dulu di sepanjang pesisir banyak dermaga, tapi sudah habis dicuri besinya," kata Rifai.
Â
Advertisement
Sumur Tua dan Bungker Jepang
Meski Jepang tak lama menjajah Indonesia. Namun jejak Pasukan Jepang di kawasan Sembilangan memilukan.
Di Desa Dakiring misalnya, banyak sumur-sumur tua di lahan-lahan kosong. Sumur-sumur itu adalah tanda bahwa dulu di sana merupakan sebuah perkampungan. Satu sumur biasanya dimanfaatkan tiga hingga empat keluarga.
Namun karena pendudukan Jepang hidup warga saat itu menjadi melarat. Hasil-hasil bumi disita tentara jepang. Warga pun banyak mati kelaparan. Dan pemukiman pun musnah perlahan.
"Kenapa pemukiman jaman dulu tidak dipinggir jalan, agar tidak diketahui Jepang. Mereka bersembunyi agar tak disiksa," tutur Rifai kelahiran 1965.
Selain sumur, bunker Jepang kini masih bisa dijumpai di Desa Ujung Piring. Salah satu bunker masih utuh, letaknya dekat makam Raden Jakandar yang juga disebut Sunan Bangkalan keturunan dari Kerajaan Pajajaran.
Teriyanto, seorang peziarah Makam Raden Jakandar mengatakan bunker itu konon khusus pembangkit listrik. Ada pipa baja menyembul di atapnya. Teri juga pernah tidur di dalamnya.
Kodim 0829 Bangkalan mencatat total ada 20 bungker. Tersebar di lahan seluas 1 hektare sekitar makam. Kondisi bunker banyak yang rusak. Pintu besinya juga raib.
Â
Simak juga video pilihan berikut ini: