Teknik Analisis Nuklir untuk Identifikasi Penyebab Gizi Buruk

Teknik Analisis Nuklir (TAN) mampu mengidentifikasi kandungan zat gizi mikro yang menjadi salah satu penyebab gizi buruk

oleh Huyogo Simbolon diperbarui 13 Des 2019, 23:00 WIB
Diterbitkan 13 Des 2019, 23:00 WIB
anak-orang-kaya-gizi-buruk-130906b.jpg
Ilustrasi gizi buruk

Liputan6.com, Bandung Peneliti Pusat Sains dan Teknologi Nuklir Terapan (PSTNT) BATAN Bandung, Diah Dwiana Lestiani mengatakan, Teknik Analisis Nuklir (TAN) mampu mengidentifikasi kandungan zat gizi mikro yang menjadi salah satu penyebab gizi buruk.

"Kami melihat salah satu penyebab gizi buruk disamping perekonomian juga pola makan dari anak, pola asuh, faktor lingkungan, sanitasi, dan pendidikan orang tua," kata Diah dalam keterangan tertulisnya, Kamis (12/12/2019).

Seperti diketahui, permasalahan gizi buruk di Indonesia sudah menjadi perhatian banyak pihak, diantaranya ahli gizi maupun peneliti di Indonesia. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 yang dikeluarkan Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI menunjukkan, 17,7 persen bayi usia di bawah lima tahun (balita) Indonesia mengalami masalah gizi. Jumlah tersebut terdiri dari balita yang mengalami gizi buruk 3,9 persen dan gizi kurang 13,8 persen.

Menurut Diah, TAN memiliki kemampuan untuk menganalisis kandungan zat gizi mikro yang sulit dideteksi dengan menggunakan metode konvensional.

Dia menjelaskan, kandungan zat gizi mikro yang direkomendasikan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) yang harus tercukupi pada balita, di antaranya, unsur besi (Fe), Zink (Zn), dan selenium (Se).

“TAN itu sensitivitasnya tinggi, limit deteksinya bagus, dia (TAN) akan mendeteksi kadar unsur yang sangat kecil hingga orde ppb atau parts per billion (bagian per semiliar), kebayang kan kecilnya,” ujarnya.

Lebih lanjut Diah mengatakan, BATAN berkontribusi melakukan karakterisasi kandungan zat gizi mikro berbagai bahan pangan yang ada di pulau Jawa. Dipilihnya pulau Jawa karena mewakili penduduk Indonesia yang mayoritas berada di pulau Jawa.

Dia dan timnya terjun langsung ke pasar-pasar yang ada di Jawa, memilih langsung kurang lebih 17 komoditi bahan pangan untuk dijadikan sampel, mulai dari ayam, daging, telur, tempe, tahu, sayuran, hingga buah-buahan.

Hasil analisis kandungan zat gizi mikro pada bahan pangan ini, lanjutnya, telah berkontribusi dalam melengkapi data komposisi pangan Indonesia.

“Salah satu hasil yang kami lakukan adalah menyediakan basis data zat gizi mikro Fe, Zn, dan Se pada Buku Tabel Komposisi Pangan Indonesia, dimana kita bekerja sama dengan Kemenkes,” jelasnya.

Selain bahan pangan, saat ini dia dan timnya juga fokus pada penelitian asupan riil makanan pada 400 sampel bayi dibawah dua tahun (baduta) di provinsi Nusa Tenggara Timur (NTT).

“Kami fokus ke daerah yang stunting-nya terbesar, prevelansinya lebih dari 30 persen, dalam artian dari tiga baduta paling tidak satu baduta yang stunting”, kata Diah.

Stunting adalah masalah gizi kronis pada balita yang ditandai dengan tinggi badan yang lebih pendek dibandingkan dengan anak seusianya. Masalah stunting kini menjadi prioritas nasional.

Pengambilan sampel dilakukan di dua kabupaten, yakni Kabupaten Kupang dan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Penelitian dilakukan dengan mewawancarai sang ibu mengenai asupan apa saja yang diberikan pada anak serta dilakukan pengukuran tinggi badan dan berat badan pada anak.

“Jadi kita tanya satu per satu si ibu, anaknya makan dan minum apa saja dari dia bangun tidur sampai tidur lagi, selanjutnya kita ambil sampel makanan yang dikonsumsi anaknya dan sampel Air Susu Ibu (ASI)–nya untuk kita analisis,” jelasnya.

Simak video pilihan di bawah ini:

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya