Menelisik Riwayat Kulit Kayu Ipuh dan Kain Cawat Orang Rimba Zaman Dulu

Pada masanya kulit kayu pohon Ipuh menjadi bagian yang tak bisa dipisahkan oleh kehidupan orang rimba. Kulit kayu ini digunakan orang rimba menjadi pakaian cawat. Namun, seiring perkembangan zaman, kulit kayu Ipuh sudah ditinggalkan.

oleh Gresi Plasmanto diperbarui 22 Des 2019, 05:01 WIB
Diterbitkan 22 Des 2019, 05:01 WIB
Kulit Kayu Pohon Ipuh
KKI Warsi menunjukan lembaran kulit kayu Ipuh. Kulit kayu tersebut dulunya digunakan oleh orang rimba di Jambi sebagai cawat. (Liputan6.com/Gresi Plasmanto)

Liputan6.com, Jambi Kulit kayu pohon Ipuh pada masanya pernah menjadi bagian yang tak terpisahkan bagi kehidupan orang rimba di Jambi. Zaman dulu sebelum mengenal kain, orang rimba mengolah kulit kayu ipuh untuk busana mereka.

Perjuangan Yohana Marpaung, Pengajar Anak-Anak Orang Rimba di Pedalaman Jambi.

Dahulu umumnya orang-orang rimba tidak berpakaian, namun mereka menggunakan cawat untuk menutupi dan melindungi kemaluannya. Dulu mereka menggunakan kulit kayu Ipuh sebagai kancut atau cawat yang menjadi pakaian utamanya.

Orang-orang rimba dulu secara rombongan berburu hewan dengan menggunakan tombak. Meski menggunakan pakaian atau pelindung badan seadanya, mereka mampu menembus masuk ke kawasan hutan belantara di pedalaman Jambi.

Bagi orang rimba laki-laki menggunakan cawat dengan melilitkan dari samping kemudian kebelakang (pantat) dan ke depan. Sementara bagi wanita, kulit kayu itu juga berfungsi sama, yakni untuk pakaian menutupi kelamin yang menyerupai seperti kemben.

Seiring perkembangan zaman, pakaian orang rimba yang dulunya menggunakan kulit kayu, kini mereka menggunakan kain biasa untuk pakaiannya saat keluar dari hutan. Jika masuk hutan mereka ada yang tetap menggunakan kain cawat. Bagi mereka, berkancut adalah menjadi bagian usaha untuk tetap menjaga adat nenek moyang mereka.

"Sekitar tahun 1970 setelah berinteraksi dengan orang luar, orang rimba sudah tidak lagi menggunakan kulit kayu untuk cawat atau kemben, mereka kini sudah menggunakan kain pada umumnya," kata Divisi Komunikasi Komunitas Konservasi Indonesia (KKI) Warsi, Sukmareni kepada Liputan6.com, Kamis 19 Desember 2019.

Tidak hanya sebagai sumber pangan, pohon-pohon di hutan zaman dulu menurutnya, juga bisa digunakan sebagai sumber untuk kebutuhan sandang. Kulit pohon Ipuh yang memiliki nama ilmiah Antiaris toxicaria itu menghasilkan serat dari pepagannya, yang digunakan sebagai bahan pakaian orang zaman dahulu.

Reni menunjukan selembar kulit kayu Ipuh yang telah pipih. Untuk menghasilkan menjadi serat kain, kata dia, dibutuhkan waktu yang cukup lama. Kulit kayu Ipuh terlebih dulu harus direndam air, kemudian ditumbuk hingga pipih atau halus sehingga bisa digunakan untuk kain.

"Bisa lama buatnya, sampai sebulan lebih. Sekarang kulit kayu Ipuh ini masih ada, tapi untuk bahan kerajinan seperti untuk tas dan lain sebagainya," kata Reni.

Kini setelah tahun 1970, cawat orang rimba yang terbuat dari kulit pohon Ipuh itu hanya tinggal cerita. Bukan hanya karena perkembangan zaman, namun juga disebabkan hutan mereka yang semakin hilang.

Harta Berharga Orang Rimba Itu Kain

Orang Rimba Jambi
Orang rimba Jambi menggunakan kain cawat saat berada di dalam hutan. (Liputan6.com/Dok. KKI Warsi/Gresi Plasmanto)

Dalam mitologi orang rimba yang ditulis KKI Warsi menyebutkan, kain bagi orang rimba punya peranan penting dalam kehidupan mereka. Ada banyak jenis kain yang orang rimba gunakan. Salah satunya kain perabot.

Kain tersebut terdiri dari kain kaci, yakni kain yang berwarna putih dan kain kesumbo yang berwarna merah. Kain perabot itu bagi mereka sangat sakral dan menjadi barang yang harus dijaga serta dimuliakan.

"Kain perabot ini kain yang kami gunakan untuk menyembah dewa-dewa kami," sebut Tumenggung Nyenong.

Menurut budaya orang rimba, jika kain perabot ini tidak diperlakukan dengan baik, maka akan ada kutukan dewa yang akan diterimanya. Hal inilah yang menjadikan orang rimba sangat menghargai kain sehingga kain menjadi harta yang sangat berharga untuk mereka.

"Kalau telangkah (dilangkahi) bisa kena buruj atau poliron (hernia)," sambung Ngelembo.

Sebab itu selama ini, orang rimba selalu menyimpan kain-kain mereka dengan sangat rapi dalam gulungan-gulungan padat di dalam masing-masing sudung mereka. Demikian juga dengan kain-kain lain yang mereka simpan. Seperti yang disebut dengan pakoion dan kain perabot budak.

Kain-kain perabot budak ini merupakan kain yang mereka gunakan untuk acara ritual bebalai, membawa anak turun mandi, menanam padi dan ritual lainnya.

Selain kain untuk ritual-ritual adat itu, orang rimba juga menyimpan ribuan kain batik dan kain panjang dan kain njekat. Kain batik dan kain panjang yang disimpan adalah kain tenun halus dengan motif dan warna cerah. Kain ini biasanya dibeli dengan harga Rp80 ribu perkeping.

Kain selain berfungsi untuk ritual adat, juga berfungsi untuk alat membayar denda atau sangsi. Semua denda adat dalam kehidupan orang rimba dinilai dengan kain. "Kegunaan kain ini untuk kami bayar denda adat," sebut Induk Meruli.

Keberadaan Orang Rimba dan Dilemanya

Berdasarkan catatan dan pendataan terbaru KKI Warsi, jumlah populasi orang rimba Jambi mencapai 5.200 jiwa. Jumlah mereka tersebar disejumlah wilayah kabupaten di Provinsi Jambi.

Orang rimba adalah salah satu suku terasing di Indonesia. Orang rimba di Jambi sering disebut juga sebagai Suku Anak Dalam (SAD). Sebutan ini disematkan oleh pemerintah sekitar tahun 1970.

Selain tinggal di sekitar kawasan hutan, orang rimba atau SAD itu juga hidup secara nomaden di sepanjang jalan lintas di Sumatra yang melewati Jambi.

Kini keberadaan dan kehidupan orang rimba seperti mengalami dilema yang cukup panjang. Kehidupan dan sumber penghidupan mereka di hutan semakin terdesak seiring menurunnya luas tutupan hutan di wilayah Jambi.

Antropolog KKI Warsi Robert mengatakan, orang rimba menjadi kelompok yang hingga kini masih ada yang membatasi diri dengan masyarakat luar. Hal itu mendorong adat dan budaya mereka masih dipegang hingga kini, meski terjadi perubahan di sekitar mereka.

"Itu yang menyebabkan semua aspek kehidupan mereka masih seperti yang di wariskan nenek moyang meski sudah banyak perubahan. Untuk kelompok masyarakat seperti ini, harusnya tetap diakomodir oleh negara dengan memberikan jaminan untuk kelangsungan hidup mereka," kata Robert.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya