Kala Petani Pelalawan Menolak Eksekusi Lahan Plasma

Masyarakat Desa Gondai, Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan, menentang eksekusi lahan plasma di PT Peputra Supra Jaya karena menjadi sumber mata pencaharian mereka sejak dahulu.

oleh Syukur diperbarui 19 Jan 2020, 00:13 WIB
Diterbitkan 19 Jan 2020, 00:13 WIB
Petugas keamanan mengerahkan alat berat untuk eksekusi lahan PT Peputra Supra Jaya di Kabupaten Pelalawan.
Petugas keamanan mengerahkan alat berat untuk eksekusi lahan PT Peputra Supra Jaya di Kabupaten Pelalawan. (Liputan6.com/M Syukur)

Liputan6.com, Pelalawan - Sekumpulan warga dari Desa Gondai, berjongkok di hadapan petugas pengamanan PT Nusa Wana Raya (NWR) dan polisi dari Polres Pelalawan. Sebagiannya lagi bersimpuh dan ada pula berdiri meminta penjelasan tentang eksekusi lahan milik PT Peputra Supra Jaya (PSJ) yang sedang dilakukan.

Eksekusi lahan ini berlangsung sejak Jum'at pagi, 17 Januari 2020. Raut pengharapan disertai kekhawatiran mewarnai wajah ratusan warga ini karena takut lahan plasma yang diolahnya sejak medio 1990 ikut diratakan beberapa alat yang dikerahkan di Kecamatan Langgam, Kabupaten Pelalawan itu.

Kekhawatiran warga dari puluhan kelompok tani dari beberapa koperasi mitra PT PSJ ini beralasan. Pasalnya berdasarkan putusan MA Nomor 1087/Pid.Sus.LH/2018 tanggal 17 Desember 2018, ada 3.320 hektare target eksekusi.

Sebagian di antaranya merupakan lahan inti PT PSJ dan ribuan sisanya merupakan lahan plasma. Eksekusi dengan cara menumbangkan pohon sawit produktif ini tinggal menunggu waktu saja hingga sampai ke lahan plasma masyarakat.

"Kami kalau tak ada kebun lagi tak bisa hidup, tolong bantu kami masyarakat yang susah ini," ucap seorang warga mengiba kepada perwira polisi di hadapannya, Jum'at petang itu.

"Hampir 20 tahun kami di sini berkebun sawit, sebagai satu-satunya mata pencaharian kami. Tolonglah nantinya jangan digusur," timpal warga lainnya.

Suara polisi yang diketahui berpangkat Ajun Komisaris ini sempat meninggi sebelum dialog tanpa penyelesaian itu berakhir. Dia terpancing karena beberapa warga juga meninggikan suara dan menyebut seharusnya aparat berpihak kepada masyarakat.

"Saya juga capek di sini, bukan kalian saja," cetus perwira tadi sembari meminta anggota dan puluhan sekuriti PT NWR berjaga supaya tak ada warga mengganggu eksekusi.

Eksekusi lahan ini sebelumnya direncanakan awal pekan lalu. Namun urung dilakukan karena ribuan warga pemilik lahan plasma melawan. Tenda-tenda didirikan di beberapa titik.

"Coba saja sampai ke lahan plasma, akan terjadi pertumbuhan darah. Kalau sekarang masih di lahan inti," kata Satria, anggota Koperasi Gondai Bersatu ini kepada Liputan6.com di tendanya.

Pertahankan Lahan

Petani lahan plasma di PT Peputra Supra Jaya meminta petugas keamanan menunda eksekusi lahan karena menjadi mata pencaharian mereka.
Petani lahan plasma di PT Peputra Supra Jaya meminta petugas keamanan menunda eksekusi lahan karena menjadi mata pencaharian mereka. (Liputan6.com/M Syukur)

Satria mengakui lahan plasma miliknya masuk dalam rencana eksekusi itu. Dia pun tidak tahu kapan alat berat akan sampai ke tempat dirinya selama ini mencari makan.

Ayah dari beberapa anak ini menyebut sudah belasan tahun berkebun sawit di sana. Dia bergabung dengan koperasi yang didirikan tahun 2010 agar mudah menjual hasil panen kebunnya.

"Koperasi sudah ada badan hukum, di sini ada beberapa koperasi. Kami semua sepakat, satu saja kena eksekusi, semua anggota koperasi bergerak," jelas Satria.

Sepengetahuan Satria, lahan inti PT PSJ sasaran eksekusi ada sekitar 2.000 hektare. Masyarakat menjalin kerjasama dengan perusahaan juga berdasarkan persetujuan ninik mamak atau pemuka adat serta tokoh masyarakat setempat.

Untuk menggarap kebun itu, surat tanah sudah digadaikan ke sebuah bank untuk jaminan. Pinjaman dari bank digunakan membeli bibit, pupuk dan kebutuhan kebun lainnya.

Kini, Satria dihinggapi kecemasan jika seandainya lahan plasma miliknya digusur. Apalagi utang di bank belum lunas, dan itu dialami petani plasma lainnya. Segala upaya akan dilakukan untuk mempertahankan satu-satunya mata pencahariannya itu.

"Satu pohon saja di lahan plasma tumbang pasti ribut, akan kami pertahankan. Ya namanya tempat mencari makan, apalagi ada ribuan kepala keluarga yang menggantungkan hidupnya di kebun ini," tegas Satria.

Warga lainnya, Radisman, menyatakan kehadiran ratusan warga menghadang eksekusi sebagai bentuk kemitraan dengan PT PSJ. Hanya saja mereka tak berdaya menghadapi ratusan aparat yang dikerahkan untuk mengamankan pelaksanaan putusan MA itu.

Pria 51 tahun ini mengaku tak tahu kalau lahan inti PT PSJ ataupun lahan plasma masuk dalam SK Hutan Tanaman Industri PT NWR. Apalagi selama ini masyarakat berkebun dengan aman tanpa ada peringatan dari perusahaan penyedia bahan bubur kertas itu.

"Baru beberapa tahun ini tahunya dan mendengar ada eksekusi, makanya kami ke sini. Yang lain mendirikan tenda-tenda di lahan plasma agar eksekusi tidak terjadi," kata Radisman.

Dia menyebut bisa punya lahan di sana setelah membeli dari warga Gondai. Tidak hanya surat keterangan ganti rugi, tapi ada juga lahan yang sudah berstatus surat hak milik.

"Dari tahun 1998 lagi, polanya KPPA dengan perusahaan, bayar ke bank. Awalnya dulu pola pembagian dengan perusahaan 15 untuk perusahaan, kemudian 70 banding 30, lalu 60 banding 40," sebut Radisman.

Radisman berharap pemerintah mendengarkan jeritan masyarakat agar lahannya tidak dieksekusi. Dia menyatakan akan melakukan apapun karena sewaktu-waktu lahan plasmanya jadi sasaran setelah lahan inti usai dieksekusi.

Hanya Menjalankan Putusan MA

Kelompok tani mendirikan tenda sebagai upaya perlawanan agar eksekusi lahan mereka batal dilakukan.
Kelompok tani mendirikan tenda sebagai upaya perlawanan agar eksekusi lahan mereka batal dilakukan. (Liputan6.com/M Syukur)

Pantauan di lokasi, eksekusi dihadiri petinggi PT NWR dan PT PSJ. Perwakilan PT NWR seolah menghindari wartawan yang masuk melihat proses eksekusi dan menyerahkan sepenuhnya pernyataan media kepada petugas keamanan.

Kapolres Pelalawan Ajun Komisaris Muhammad Hasyim Rishahondua menjelaskan, kehadiran anggotanya di lokasi untuk mengamankan proses eksekusi yang dilakukan Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan Provinsi Riau.

"Ada putusan MA, sudah berkekuatan hukum tetap. Meskipun ada permohonan PK (peninjauan kembali) ke MA, itu tidak menghalangi eksekusi," kata Hasyim.

Dia menyebut eksekusi dilaksanakan Kejaksaan Negeri Pelalawan. Hasyim juga mengakui proses eksekusi sempat tertunda pada awal pekan lalu karena penghadangan dari masyarakat.

Terpisah, Kepala Seksi Penegakan Hukum dari Dinas LHK Riau Agus SH menolak menyebut apa yang dilakukan pihaknya di lokasi sebagai eksekusi. Dia lebih setuju upaya ini dikatakan sebagai penertiban dan pemulihan kawasan hutan.

"Ini atas permintaan Kejari Pelalawan atas putusan MA itu. PT PSJ beroperasi di areal izin usaha pemanfaatan hutan kayu PT NWL seluas 3.320 hektare. Kami pulihkan dan tertib kawasan hutan ini menjadi HTI karena fungsinya memang hutan produksi," sebut Agus.

Agus mengaku tidak memandang apakah lahan yang ditertibkannya masuk ke inti ataupun plasma. Pasalnya, humas PT PSJ yang sempat hadir tidak bisa menunjukkan mana yang lahan inti dan mana lahan plasma.

"Ini amanah MA, tetap dilaksanakan meskipun ada penolakan. PK tidak menghalang proses ini," sebut Agus.

Berdasarkan putusan MA itu, kebun sawit di PT PSJ masuk ke kawasan hutan produksi milik PT NWR. Dia pun menyebut penumbangan pohon sawit langsung diganti dengan tanaman hutan.

"Hari pertama sudah 8 hektare ditertibkan, langsung ditanam dengan tanaman hutan (industri)," kata Agus.

Pantauan di lokasi tanaman hutan dimaksud Agus adalah bibit akasia. Di bawah pohon yang dijadikan sumber bubur kertas ini sudah ditaruh pupuk.

Simak video pilihan berikut ini:

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Live Streaming

Powered by

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya