Gus Sholah, Tebuireng, dan Perjuangan Hadratussyekh Hasyim Asy'ari

Ini (simbol) perjuangan. Perjuangannya berat. Tidak mudah.

oleh Moch Harunsyah diperbarui 03 Feb 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 03 Feb 2020, 00:00 WIB
Jokowi dan Pimpinan Pesantren Tebuireng Gus Solah bertemu 4 mata di ruangan salat KH Hasyim Asy'ari. (Istimewa)
Jokowi dan Pimpinan Pesantren Tebuireng Gus Solah bertemu 4 mata di ruangan salat KH Hasyim Asy'ari. (Istimewa)

Liputan6.com, Jombang - Kiai Haji Salahuddin Wahid atau akrab disapa Gus Sholah meninggal dunia di Rumah Sakit Harapan Kita, Jakarta, Minggu (2/2/2020) malam, pukul 20.55 WIB. Adik Gus Dur itu berpulang pada usia 77 tahun.

Rencananya, jenazah Gus Sholah pun akan dimakamkan di samping makam Gus Dur.

Liputan6.com pernah berkunjung dan bertemu langsung dengan cucu Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari itu di Jombang, tepatnya di Pondok Pesantren Tebu Ireng. Dan Gus Sholah menyambut hangat dengan ajakan makan siang. Usai santap siang, Gus Sholah mengajak ke ruang tengah rumah. Dia pun mulai bercerita tentang berdirinya Tebu Ireng dan mengenang perjuangan Sang Kakek.

"Jika suatu amal tidak dilandasi keikhlasan maka tidak akan tambah kecuali kegelapan di dalam hati". Demikian kutipan kitab Al Tanbihat Al Wajibat yang tertempel di muka halaman kompleks makam Hadratussyeikh Hasyim Asy'ari dan keluarga di Pondok Pesantren Tebuireng, Desa Cukir, Diwek, Jombang, Jawa Timur.

Kutipan sederhana itu tertulis di atas papan kayu. Konon kata bermakna ini menjadi pemicu hasrat Hasyim Asy'ari untuk mendirikan pondok pesantren yang telah melahirkan banyak tokoh bangsa Indonesia. Salah satunya Presiden RI ke-4 Abdurahman Wahid atau Gus Dur yang tak lain cucu dari Syeikh Hasyim Asy'ari.

Pengasuh Pondok Pesantren Tebuireng itu mengaku banyak mendengar cerita dari kakak ataupun sang ayah, KH Wahid Hasyim yang mengisahkan tentang perjuangannya mendirikan pondok pesantren tersebut. Kala itu, pendirian pondok menjadi salah satu simbol perlawanan terhadap kemaksiatan dan penjajahan yang mendera saat itu.

Ia mengungkapkan, sang kakek tak hanya menerima intimidasi dari para preman pelindung lokalisasi, pertentangan keras juga datang dari penjajah Belanda yang saat itu tengah berkuasa.

"Ini (simbol) perjuangan. Perjuangannya berat. Tidak mudah. Belanda saat itu ya tentu juga tidak mendukung pastinya," kata Gus Sholah saat ditemui Liputan6.com di Jombang, Jawa Timur, Minggu 8 November 2015.

Adik kandung Gus Dur ini mengisahkan bahwa dulunya lokasi pondok pesantren merupakan lokalisasi dan bedeng-bedeng. Di Desa Cukir, banyak 'kupu-kupu malam beterbangan'. Selain itu, banyak pula pabrik milik Belanda yang gagah berdiri.

Jika para buruh dan petinggi buruh itu menerima gaji, mereka langsung menghabiskannya di tempat ini. Mereka menghamburkannya dengan perbuatan maksiat.

"Dulu kan bukan tanahnya pesantren ya. Di situ dulu kan ada pabrik. Nah biasanya kalo mereka sudah gajian banyak yang menghabiskan uangnya untuk maksiat disini. Tapi sekarang sudah tidak," beber mantan Wakil Ketua Komnas HAM itu.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Sosok yang Perlu Dicontoh

Jelajah Kebangsaan, Mahfud MD dan Romo Benny Ziarah ke Makam Gus Dur
Ketua Gerakan Suluh Kebangsaan, Mahfud MD berbincang dengan Salahuddin Wahid atau Gus Solah dalam kunjungan ke Pesantren Tebuireng dan ziarah makam Gus Dur dalam rangka Jelajah Kebangsaan di Jombang, Jatim, Rabu (20/2). (Liputan6.com/Johan Tallo)

Sementara di lokasi makam Hadratus Syeikh Hasyim Asy'ari, Khofifah Indar Parawansa yang saat itu menjabat sebagai Menteri Sosial sempat meneteskan air mata. Dia terkenang dengan sosok Hasyim Asy'ari yang dinilainya sebagai sosok pahlawan yang perlu dicontoh. Banyak yang bisa diambil dari perjalanan hidup sang kiai.

"Mbahnya Gus Dur (KH Hasyim Asy'ari) itu pendiri NU. Jadi kalau besok Selasa, Hari Pahlawan itu di kota Pahlawan. Itu untuk pertama kalinya. Itu karena beliau sosok berpengaruh dan tokoh sentral Hari Pahlawan di Surabaya," ungkap Khofifah dengan suara gemetar.

Ia menuturkan KH Hasyim Asy'ari juga salah satu tokoh yang mempelopori pergerakan perlawanan untuk mengusir penjajah Belanda.

"Ya mbah Gus Dur itu yang menggerakan perlawanan untuk mengusir penjajah," tutup Khofifah yang juga memondokkan anak keempatnya, Ali Managalih Parawansa, di Ponpes Tebuireng.

Di dalam pondok, selain materi pelajaran mengenai pengetahuan agama Islam, ilmu syari’at, dan bahasa Arab, juga ada pelajaran umum yang dalam struktur kurikulum.

Pesantren yang didirikan pada 1899 ini juga banyak memberikan konstribusi dan sumbangan kepada masyarakat, baik sosial juga yang utama dalam dunia pendidikan Islam.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya