Liputan6.com, Jakarta Pemerintah China membantah tengah berdiskusi dengan Amerika Serikat (AS) membahas penerapan tarif impor tinggi yang diterapkan Presiden Donald Trump. Kendati sebelumnya, Gedung Putih mengindikasikan akan ada sedikit pengurangan ketegangan dengan Beijing.
"Saat ini sama sekali tidak ada negosiasi mengenai ekonomi dan perdagangan antara China dan AS," Juru Bicara Kementerian Perdagangan He Yadong melansir laman CNBC, Kamis (24/4/2025).
Advertisement
Baca Juga
Dia menegaskan jika semua pernyataan yang mengatakan adanya kemajuan pembicaraan secara bilateral harus diabaikan.
Advertisement
"Jika AS benar-benar ingin menyelesaikan masalah ... mereka harus membatalkan semua tindakan sepihak terhadap Tiongkok," tegas dia.
Presiden AS Donald Trump dan Menteri Keuangan Scott Bessent sempat mengindikasikan kemungkinan mengurangi ketegangan perang dagang dengan China.
Adapun Gedung Putih menambahkan tarif impor hingga 145% pada barang-barang China awal bulan ini. Langkah yang ditanggapi Beijing dengan menetapkan bea masuk kembali dan membatasi ekspor mineral penting ke AS.
Komentar He Yadong sejatinya kembali mengulangi apa yang ditegaskan Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China Guo Jiakun, yang mengatakan tidak ada pembicaraan yang sedang berlangsung.
Kedua juru bicara China tersebut berpegang pada pernyataan resmi pemerintahnya bahwa akan bersedia berbicara dengan AS dengan syarat Beijing diperlakukan setara.
“China jelas ingin melihat perang dagang mereda, karena hal itu merugikan ekonomi kedua negara,” kata Yue Su, Kepala Ekonom China di The Economist Intelligence Institute.
“Namun, karena ketidakkonsistenan kebijakan Trump dan kurangnya kejelasan tentang apa yang sebenarnya diinginkannya, strategi China telah bergeser dari fokus pada ‘apa yang Anda butuhkan’ menjadi ‘apa yang saya butuhkan.’ Permintaan mereka agar AS membatalkan tarif ‘sepihak’ mencerminkan pergeseran itu,” lanjutnya.
Asia Kena Getah Perang Dagang: IMF Pangkas Proyeksi Ekonomi China, India dan Jepang
The International Monetary Fund (IMF) telah menurunkan proyeksi pertumbuhan sejumlah negara ekonomi utama di Asia. Ini menandakan bakal terjadi perlambatan ekonomi global akibat kekhawatiran perang dagang.
IMF menurunkan proyeksi pertumbuhannya negara ekonomi utama Asia di 2025, dengan alasan ketegangan perdagangan dan "ketidakpastian kebijakan yang tinggi."
Dikutip dari CNBC, Kamis (24/4/2025), IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi 2025 untuk China dan India menjadi masing-masing 4% dan 6,2%, turun dari proyeksinya yang disiarkan pada Januari sebesar masing-masing 4,6% dan 6,5%.
Untuk diketahui, China menargetkan pertumbuhan ekonomi di sekitar 5% pada 2025. Sementara India memproyeksikan pertumbuhan 6,5% untuk tahun fiskal 2025 yang berjalan dari April 2025 hingga Maret 2026.
IMF juga memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi Jepang menjadi 0,6% dari 1,1%.
Jepang memiliki proyeksi pertumbuhan sebesar 1,1% untuk tahun fiskal 2025, yang juga berlangsung dari April 2025 hingga Maret 2026.
Secara global, pertumbuhan ekonomi diturunkan menjadi 2,8% dari 3,3% untuk keseluruhan 2025. IMF mengatakan bahwa tarif yang diumumkan oleh AS dan mitra dagangnya merupakan guncangan negatif yang besar terhadap pertumbuhan ekonomi dunia.
IMF menambahkan ketidakpastian yang terjadi sepanjang perang dagang ini sangat berdampak negatif pada aktivitas ekonomi semua negara sehingga lebih sulit dari biasanya untuk proyeksi yang konsisten dan tepat waktu.
Perkiraan IMF muncul di tengah tren sejumlah perusahaan riset dan bank yang memangkas prakiraan pertumbuhan untuk ekonomi Asia.
Advertisement
Lembaga Lain Senada dengan IMF
Pada awal April, ekonom Goldman Sachs menurunkan prakiraan mereka untuk produk domestik bruto China tahun ini menjadi 4,0% dari 4,5%, dengan alasan dampak dari peningkatan tarif AS pada barang-barang China.
Natixis juga memangkas perkiraan pertumbuhan ekonomi China menjadi 4,2% tahun ini, turun dari 4,7% sebelumnya.
Fitch juga dilaporkan memangkas perkiraan pertumbuhan India menjadi 6,2% dari 6,3%, dengan alasan memburuknya lingkungan ekonomi global yang disebabkan oleh perang dagang AS-China yang semakin memanas.
Sejak menjabat pada 20 Januari, Presiden AS Donald Trump telah mengenakan tarif impor baja, aluminium, dan mobil, sebelum mengumumkan tarif timbal balik besar-besaran pada hampir setiap negara di dunia pada 2 April.
Hampir seminggu kemudian, Donald Trump menangguhkan tarif timbal balik ini, hanya menyisakan bea masuk dasar sebesar 10% pada semua negara kecuali China.
Setelah pertikaian tarif yang saling berbalas, bea masuk AS pada China sekarang mencapai 245% pada beberapa barang sementara China telah mengenakan bea masuk sebesar 125% pada impor AS, dengan janji untuk berjuang sampai akhir.
