Menjelajahi Eksotika Kota Tua Padang Sambil Menikmati Es Kopi Legendaris

Menyusuri Kota Tua Padang seperti menemukan harta karun yang terpendam. Harta itu kami sebut toleransi.

oleh Novia Harlina diperbarui 20 Feb 2020, 06:00 WIB
Diterbitkan 20 Feb 2020, 06:00 WIB
Kota Tua Padang
Kawasan Kota Tua yang menjadi awal peradaban Kota Padang. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Liputan6.com, Padang - Hari sudah beranjak siang, cuaca terik terasa lebih segar dengan segelas kopi milo dingin legendaris dari kedai Om Ping. Berada di kawasan Kota Tua Padang, Sumatera Barat, kedai ini selalu ramai dikunjungi.

Sambil menikmati segelas kopi milo di kota tua, awak Liputan6.com mencoba menyusuri sejarah panjang peradaban Kota Padang. Awal mula hidupnya kota ini dimulai dari kawasan Batang Arau.

Gedung-gedung tua masih berdiri kokoh di daerah barat Kota Padang, beberapa bangunan ada yang sedang direvitalisasi. Revitalisasi merupakan salah satu upaya pemerintah setempat menghidupkan kembali pesona kota tua.

Kota Padang lahir dari beragam etnik sejak ratusan tahun lampau. Salah satu etnik yang paling lama menetap di ibu kota provinsi ini ialah Suku Nias.

Itu menjadi salah satu alasan mengapa banyak orang yang menyebut penduduk asli Kota Padang adalah orang Nias. Sejarah Kota Padang tak bisa dilepaskan dari beragam etnik yang menghuni Kota Bengkuang ini.

Sejarawan dari Universitas Andalas, Dr Anantona Gulo kepada Liputan6.com mengatakan, tidak hanya Nias, keberadaan berbagai macam suku bangsa lainnya juga memiliki peran dalam perjalanan panjang sejarah Kota padang.

Eksistensi orang Nias di Kota Padang, lanjutnya, sudah berlangsung sejak lebih dari tiga ratus tahun. Sehingga menjadi salah satu etnik yang paling awal menghuni Kota Padang.

Awal mula kedatangan orang Nias di Kota Padang, ketika masa VOC Belanda dan EIC Inggris menguasai aktivitas dan jalur perdagangan di Pantai Barat Sumatera pada abad ke-17 hingga 18.

"Hal ini, kemudian berlanjut pada masa pemerintah Kolonial Hindia Belanda dan Jepang sampai memasuki periode kemerdekaan," katanya.

Salah satu pasal dalam kontrak perjanjian antara VOC dengan pemuka masyarakat Nias di Teluk Dalam tahun 1693 antara lain, kesepakatan mengenai pengiriman komoditas perdagangan dari pulau Nias ke Padang.

Perjanjian tersebut menjadi pintu gerbang masuknya etnik Nias ke Kota Padang, kebanyak beragam etnik ini bermukim di daerah yang kini disebut Kota Tua di kawasan Batang Arau.

 

Simak juga video pilihan berikut ini:

Akulturasi Budaya

Kota Tua Padang
Muara Batang Arau Padang, salah pusat transportasi laut di Kota Padang selain Teluk Bayur. (Liputan6.com/ Novia Harlina)

Anantona juga menjelaskan, beragam etnik seperti Nias, Tionghoa, Jawa, dan India bersama-sama dengan kelompok masyarakat Minangkabau memainkan peran dan turut berkontribusi didalam membentuk warna dan identitas kota Padang.

"Di Kota Padang, akulturasi budaya begitu kental, sejak dahulu bahkan tidak ada antar etnik ini yang bergesekan, melainkan hidup rukun di tengah masyarakat," jelasnya.

Anantona melanjutkan, secara spesifik etnik Nias memiliki konsep yang disebut mukoli atau merantau, sama seperti masyarakat Minangkabau, istilah merantau bukan hal asing lagi.

Orang Nias, keluar dari wilayahnya berimigrasi ke berbagai wilayah, selain ke Sumatera Barat mereka juga banyak menuju ke wilayah Pulau Simelue, Aceh.

"Sejak masa Pemerintahan Sultan Iskandar Muda di Aceh, orang Nias sudah banyak yang sampai di Kotaraja Banda Aceh. Sementara keberadaan orang Nias di Bengkulu, dapat dilacak hingga abad ke-18 saat badan dagang EIC Inggris berkuasa disana," ujar Anantona.

Mirip dengan kota lain, Padang juga memiliki beberapa nama kampung yang menggunakan nama etnik yang menandakan bahwa sejak dulu kota ini sudah banyak didatangi suku bangsa lain dari luar Sumatera Barat.

Setidaknya terdapat empat nama kampung di Kota Padang yang menggunakan nama etnik kampung Cina, Kampung Nias, Kampung Keling, dan Kampung Jawa.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya