Kisah Miris Pasutri Hidup di Gubuk Reyot dengan 5 Anaknya di Manggarai Timur

Pasutri Yohanes Adil (50) dan Susana Nas (53) di Desa Golo Leda, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Bersama lima anaknya, mereka bertahan hidup di gubuk reyot

oleh Ola KedaDionisius Wilibardus diperbarui 07 Jun 2020, 14:00 WIB
Diterbitkan 07 Jun 2020, 14:00 WIB
Gubuk reyot
Foto : Rumah milik Yohanes Adil dan Susana Nas, warga Kabupaten Manggarai Timur, NTT (Liputan6.com/Dion)

Liputan6.com, Kupang- Pemerintah menggelontorkan dana desa yang bernilai fantastis. Namun, masih banyak warga desa yang hidupnya di bawah garis kemiskinan. Program bedah rumah dari dana desa pun masih belum merata.

Seperti yang dialami keluarga pasangan suami istri (pasutri) Yohanes Adil (50) dan Susana Nas (53) di Desa Golo Leda, Kecamatan Borong, Kabupaten Manggarai Timur, NTT. Bersama lima anaknya, mereka bertahan hidup dgubuk reyot.

Untuk mengetahui kehidupan keluarga ini, kita cukup menempuh perjalanan selama 30 menit dari pusat kota Borong, Kabupaten Manggarai Timur.

Tidak sulit menemui bangunan reyot yang terbuat dari bambu yang dihuni pasutri miskin ini. Gubuk ini berada di pinggir jalan, jalur poros kecamatan Borong di Desa Golo Leda.

Jalan ini kerap dilalui oleh kendaraan para pejabat dan masyarakat umum, karena menjadi jalur penghubung antara kecamatan Borong dan beberapa kecamatan lainnya di Kabupaten Manggarai Timur. Rumah gubuk ini, agak jauh dari pemukiman warga lainnya.

Di gubuk bambu inilah keluarga Yohanes Adil harus bertaruh hidup dengan bekerja sebagai buruh harian lepas di sawah milik warga.

Saat didatangi, Selasa (3/6/2020), wartawan hanya bertemu dengan mama Susana Nas. Suaminya Yohanes Adil masih berkerja sebagai buruh harian. Tak ada barang mewah dalam rumah berlantai tanah itu. Hanya beberapa kursi bekas yang disediakan untuk tamu.

Di rumah berukuran 4x5 meter milik keluarga miskin ini hanya ada dua kamar. Satu sebagai kamar tidur dan satunya dijadikan dapur untuk masak. Di dalam kamar, terdapat sebuah tempat tidur bambu beralaskan tikar tanpa kasur.

Simak Video Pilihan Berikut Ini:

Anak Putus Kuliah

Gubuk reyot
Foto: Mama Susana Nas, ibu lima anak yang hidup di gubuk reyot bersama suami dan anaknya (Liputan6.com/Dion)

Kepada wartawan, mama Susana menceritakan tentang perjuangan hidup keluarga mereka. Dari bertahan hidup di gubuk reyot selama belasan tahun hingga berkerja sebagai buruh harian untuk biaya hidup dan biaya sekolah anak-anak.

"Begini sudah keadaan kami. Kita hanya pekerja harian di kebun orang. Kadang dibayar Rp40 ribu sampai Rp50 ribu, itupun tidak setiap hari, tergantung siapa yang membutuhkan jasa kita," ucap Mama Susana.

Ia menceritakan, gubuk reyot itu sudah didiami keluarganya hampir 15 tahun. Selama ini, keluarga Mama Susana belum memperoleh sumbangan dari pemerintah desa maupun daerah.

"Sering orang datang foto rumah, tetapi hanya foto-foto begitu saja. Bahkan pernah ada orang yang datang ukur, sampai sekarang hilang," ujarnya.

Dari rezeki yang diperoleh sebagai buruh harian, ia bersama suaminya menyisihkan sedikit uang untuk membeli bahan bangunan rumah. Tiga tahun menabung, mereka sudah membeli 20 lembar seng dan balok 16 batang. Rencananya, jika sudah terkumpul semua, gubuk itu akan diperbaiki.

"Tidak nyaman lagi tinggal dalam keadaan rumah seperti ini. Semoga ada rezeki agar bisa memperbaiki rumah ini," katanya.

Meski dililit kemiskinan, pasutri ini bermimpi menyekolahkan anak mereka hingga ke perguruan tinggi. Dari upah sebagai buruh harian, mereka mampu membiayai anak sulung hingga ke perguruan tinggi di Universitas Timor, Kabupaten Timor Tengah Utara. Namun, di tahun 2019, si sulung jatuh sakit dan harus menjalankan operasi.

Uang yang dikumpulkan selama ini pun harus dikeluarkan untuk biaya operasi. Hingga kini, si sulung memilih putus kuliah.

"Saat itu kami tidak bisa berbuat apa-apa. Uang yang kami kumpulkan tak cukup untuk biaya operasi, syukur saja masih ada orang yang berhati mulia untuk meringankan beban kala itu," tuturnya.

Kepala Desa Golo Lede, Martinus Jenama, menjelaskan, pihak desa sudah merencanakan bedah rumah milik Susana dan Yohanes. Namun, program ini dibatalkan setelah Indonesia dilanda pandemi Covid-19.

"Sebenarnya tahun ini dianggarkan dana desa, tetapi berhubung dananya sudah dialokasikan untuk penanganan covid-19 dan bantuan langsung tunai (BLT), maka akan dipending tahun depan," kata Martinus.

"Untuk anggaran dana desa tahun depan pasti ada, untuk tahun ini sudah tidak mungkin karena covid-19," katanya lagi.

 

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya