Biaya Rapid Test di Kaltara Rp1 Juta, Ombudsman Turun Tangan

Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Utara turun tangan setelah masyarakat harus membayar Rp1 juta untuk rapid test di rumah sakit milik pemerintah.

oleh Siti Hadiani diperbarui 01 Jul 2020, 11:44 WIB
Diterbitkan 24 Jun 2020, 01:45 WIB
Rapid Test
Paramedis Siloam Hospitals menunjukkan hasil tes cepat (rapid test) mandiri COVID-19 secara drive thru di Akses Senayan Park Jalan Gerbang Pemuda, Jakarta, Kamis (23/4/2020). Rapid Tes Covid -19 dibanderol seharga Rp 489.000, periode 17-30 April 2020 pukul 08.00-10.00 WIB. (merdeka.com/Arie Basuki)

Liputan6.com, Tarakan - Ombudsman RI Perwakilan Kalimantan Utara (Kaltara) akan mendatangi Kabupaten dan kota terkait dengan penetapan biaya rapid test yang mahal. Apalagi penetapan tarif hanya berdasar pada Surat Keputusan (SK) atau Surat Edaran (SE) kepala daerah atau lembaga lainnya.

Ombudsman menilai surat edaran itu tidak dapat dijadikan patokan untuk penetapan tarif.

“Ini dilakukan setelah Kabupaten Bulungan melakukan pengembalian dana Rp20 juta kepada masyarakat yang melakukan rapid test Rp1 juta perorang, sebelum SK Direktur RSUD Tanjung Selor terbit," ujar Kepala Ombudsman Kaltara Ibramsyah, Selasa (23/6/2020).

Sebelumnya, Pemerintah Kabupaten Bulungan menetapkan tarif Rp1 juta untuk rapid test. Penetapan tersebut hanya berdasarkan surat edaran dari Bupati Bulungan.

“Sekarang biaya rapid test sudah tidak Rp1 juta lagi, tapi bervariasi ada yang Rp450 ribu sehingga kabupaten dan kota harus mengembalikan kepada yang bersangkutan. Sebelum ada aturan itu, kemarin dari rumah sakit Bulungan sudah mengembalikan dan kita menyaksikan pengembalian itu," tambahnya.

Ibramsyah menjelaskan, Ombudsman memang lebih banyak pencegahan daripada penindakan. Sehingga pengembalian dana dari Bendahara Dinas Kessehatan Bulungan kepada pemohon rapid test, berdasarkan alamat dan identitas pemohon.

“Pada saat menarik itu tidak ada aturan menetapkan tarif. Kita harapkan daerah lain bisa seperti Bulungan. Kalau sekarang ini ada aturan ya silahkan, tapi sebelum itu ya harus dikembalikan,” paparnya.

Ombudsman memang menilai ada indikasi pungutan liar dalam penetapan tariff ini. Namun pihaknya masih lakukan upaya pencegahan terlebih dahulu.

“Kami juga akan cek ke kabupaten kota nanti, aturannya mana,” tegasnya.

Menurut Ibramsyah, meski alat rapid test didapatkan rumah sakit dari membeli, namun saat penetapan tarif harus ada aturan yang sesuai.

"Kita tegaskan, misalnya harga rapid test berapa, jasa dokter, rumah sakit hingga retribusi berapa harus disebutkan dalam aturan tersebut. Kalau Tarakan misalnya ada surat edaran, surat edaran itu kan bukan menjadi dasar hukum untuk menetapkan tarif dan biaya. Edaran itu kan bentuk himbauan,” ujar Ibramsyah.

Dia mengaku sudah bersurat ke Pemkot Tarakan maupun Gugus Tugas Penanganan Covid-19, namun belum ada jawaban. Dalam surat edaran gugus tugas ini pun didalamnya tidak menyebutkan berapa tarif rapid test, kemudian dasar hukum hingga rincian biaya rapid test.

Di sejumlah rumah sakit milik pemerintah, pengadaan rapid test ada yang dalam bentuk bantuan maupun pengadaan sendiri. Ia pun menegaskan, untuk rapid test dari bantuan harus diberikan gratis ke masyarakat.

Meskipun rapid test dari pengadaan bisa ditarik biaya dari masyarakat, tetap harus berdasarkan aturan yang jelas.

“Kita sudah menyurati wali kota minggu lalu, menanyakan dasar hukumnya. Kalau sekarang ya tidak apa-apa, tapi yang dulu itu kita tanyakan kan tidak ada dasar hukumnya. Sampai sekarang belum ada jawaban dari pak wali, kita tunggu,”pungkasnya.

Simak juga video pilihan berikut

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya