Kisruh Besipae Belum Berakhir, 50 KK Tolak Kesepakatan dengan Pemprov NTT

Sebanyak 50 KK di Pubabu-Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan, NTT menolak kesepakatan dengan Pemprov.

oleh Ola Keda diperbarui 28 Agu 2020, 20:00 WIB
Diterbitkan 28 Agu 2020, 20:00 WIB
Klaim lahan Besipae
Foto: Surat pernyataan warga yang berisi penolakan kesepakatan dengan Pemprov NTT (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Kisruh klaim lahan antara warga desa Besipae dan Pemprov NTT rupanya belum berakhir. Sebanyak 50 kepala keluarga (KK) di Pubabu-Besipae, Desa Linamnutu, Kecamatan Amanuban Selatan, Timor Tengah Selatan, Nusa Tenggara Timur (NTT) menolak kesepakatan dengan Pemerintah Provinsi dan orang-orang yang mengatasnamakan mereka.

Dalam surat penolakan yang ditandatangani 50 Kk yang diterima media ini, menyebutkan mereka yang bertanda tangan adalah masyarakat Besipae yang secara turun temurun telah tinggal dan menetap di tanah seluast 6.000 Ha yang bertempat di Pubabu-Besipae.

Mereka secara tegas menyatakan, pertama, menolak kesepakatan yang di buat oleh Pemerintah Daerah Provinsi NTT dengan orang-orang yang mengatasnamakan warga Desa Pubabu- besipae pada 21 Agustus 2020. 

Kedua, bahwa mereka tidak pernah membuat dan menandatangani persetujuan atau kesepakatan menyerahkan lahan kepada pemerintah Provinsi pada 21 Agustus 2020.

Ketiga, orang yang membuat dan menandatangani kesepakatan dengan pemerintah provinsi NTT yaitu Nope Nabuasa, Frans Nabuasa, dan P.R Nabuasa bukan bagian dari masyarakat Basipae (korban) yang berhak atas tanah itu.

Sebelumnya, Pemerintah Provinsi NTT mengadakan dialog dan rapat bersama para usif (tokoh adat), tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh pemuda dan pihak keamanan untuk menyelesaiakan persoalan lahan Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan.

Dalam pertemuan tersebut, Frans Nabuasa, selaku usif Besi mengatakan sejak dulu lahan itu sudah diserahkan kepada pemerintah.

"Sejak dulu saat penyerahan hanya terdapat pohon dan rumput. Tidak ada satu rumah pun disini sejak 1982. Lalu, pada 1983 ada warga yang bangun rumah. Bangunan ini disebut liar maka perlu dibongkar," ujar Frans Nabuasa.

Usif Nope Nabuasa mengatakan, apabila ada pihak-pihak yang mengaku sebagai pemilik hak atas lahan ini atau memprovokasi masyarakat hingga terjadi gejolak, maka seharusnya menunjukkan bukti-bukti kepemilikan.

"Lahan ini diserahkan demi kesejahteraan rakyat. Jadi kalau ada lahan tanah kebun dan rumah yang ada dikawasan ini, tunjukan kepada kami dimana milik mereka sejak tahun 1982, tunjukan juga mereka lahir dimana dan tali pusat mereka ditanam dimana," tegas Usif Nope.

Sementara, Kasie Pemerintahan kecamatan Amanuban Selatan, Yakob mengungkapkan, hanya 11 KK yang terdata di kompleks Besipae sedangkan yang lainya tidak terdata di dokumen statistik Desa. "Masyarakat yang tidak terdata ini lebih arogan dan tidak menghargai pemerintah setempat. Mereka yang ribut disana merugikan 3000an masyarakat kami yang terdiri dari 700 kk diwilayah kami," ujar Yakob.

Simak juga video pilihan berikut ini:

Proses Damai

Klaim lahan Besipae
Foto: Warga Besipae yang menjadi korban penggusuran bertahan hidup di tenda darurat (Liputan6.com/Ola Keda)

Setelah proses dialog bersama masyarakat diwilayah tersebut, Pemprov NTT menggelar pertemuan dengan para Usif yang difasilitasi oleh Dandim 1621 TTS Letkol C.Z.I Koerniawan dan Kapolres TTS, AKBP Aria Sandi di kantor Camat Amanuban Selatan.

“Perjalanan mediasi ini progresnya berjalan baik. Kami harapkan polemik perselisihan harus segera kita selesaikan. Tidak perlu ada kekerasan. Tetap saya usut pihak-pihak yang menjadi aktor dibelakang ini semua. Seharusnya kalau aktor tersebut gentle, mari berkomunikasi, bukan bertameng di balik perempuan dan anak-anak," ujar Kapolres TTS.

Kepala Biro Humas Protokol, Marius Jelamu menegaskan, publik mesti secara cerdas menanggapi setiap informasi yang di sebarkan pada media informasi.

"Saat ini kami berada di lokasi Besipae, sebagaimana arahan gubernur, Pengelolaan aset daerah ini untuk kesejahteraan masyarakat. Aset daerah ini akan dijadikan pusat pertumbuhan ekonomi baru sehingga kita mesti bersinergi untuk membangunnya dan perlu secara baik juga pengelolaannya," ujar Marius.

Sementara itu Kepala badan aset NTT, Zeth Sony Libing menyampaikan, tujuh pesan Gubernur NTT, Viktor Laiskodat, yang tidak sempat hadir dalam proses damai itu. Pertama, aset yang diserahkan kepada pemerintah atas kepercayaan yg diberikan oleh keluarga Nabuasa akan dikelola dengan baik untuk kesejahteraan masyarakat.

Kedua, jika terdapat gesekan, tetap mengambil langkah negosiasi dan persuasif.

Ketiga, dekati para usif agar program pemerintah dapat berjalan baik sehingga terwujud kesejahteraan.

Keempat, Masyarakat terdampak, disiapkan kapling sejumlah 800 M2 dan dapat mengelola lahan untuk pertanian.

Kelima, Pemerintah dapat mengelola lahan pertanian dan hasilnya dibeli oleh pemerintah.

Keenam, akan dibangun rest area serta lokasi kuliner. Ketujuh, diharapkan para Usif mendukung agar tidak terjadi konflik di wilayah Besipae.

Isi Perjanjian

Dalam pertemuan tersebut disepakati juga beberapa hal : Pertama, para pihak menyepakati areal besipae seluas 3.780 Ha tetap menjadi milik pihak kedua (pemerintah) sesuai kesepakatan tahun 1982

Kedua, para pihak menyepakati mengkapling tanah seluas 800 m2 perkepala keluarga untuk 37 KK yang kini sedang menempati lokasi dalam areal 3.780 ha

Ketiga, Pihak kedua menyepakati untuk mengidentifikasi wilayah desa (Linamnutu, Enoneten, Polo, Mio, Or Ekam) yang masuk dalam kawasan 3.780 ha untuk dikeluarkan dari sertifikat kawasan tersebut dan diserahkan kepada masyarakat di lima desa tersebut

Keempat, pihak pertama (para usif) meminta kepada pihak kedua untuk mengelola dan memanfaatkan lahan tersebut dengan melibatkan masyarakat dalam setiap program pemerintah guna meningkatkan kesejahteraan masyarakat

Kelima, para pihak menyepakati untuk mengakhiri semua permasalahan yang sedang terjadi di Besipae.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Video Pilihan Hari Ini

Video Terkini

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya