Tarik-tarikan Hak Kepemilikan Hutan Adat Pubabu, Warga Besipae Jadi Korban?

Persoalan hak kepemilikan hutan adat Pubabu selama 12 tahun terus berlanjut hingga masa kepimpinan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat.

oleh Ola Keda diperbarui 21 Agu 2020, 00:00 WIB
Diterbitkan 21 Agu 2020, 00:00 WIB
Klaim tanah adat
Foto: Seorang bayi tertidur di bawah tumpukan daun di lokasi penggusuran Besipae (Liputan6.com/Ola Keda)

Liputan6.com, Kupang - Persoalan hak kepemilikan hutan adat Pubabu selama 12 tahun terus berlanjut hingga masa kepimpinan Gubernur Nusa Tenggara Timur (NTT) Viktor Bungtilu Laiskodat.

Sesuai rilis yang diterima Liputan6.com dari, Aliansi Solidaritas Besipae (ASAB), yang ditandatangani, koordinator umum, Fadly Anetong dan koordinator lapangan, Yufen Ernesto Bria, konflik ini berawal pada Minggu, 9 Februari 2020 lalu, rombongan pemerintah yang di pimpin Gubernur Viktor bersama beberapa investor mengendarai sekitar 12 mobil memasuki kompleks bangunan instalasi peternakan yang sekarang telah di tempati oleh masyarakat.

Menurut mereka, kedatangan gubernur membuat masyarakat marah, kerena selain tujuan pemerintah yang ingin mengusir masyarakat dari kawasan, kedatangan rombongan tanpa pemberitahuan seakan tidak menghargai masyarakat hutan adat Pubabu.

Hal lain yang membuat masyarakat kecewa adalah tidak adanya sosialisasi terkait rehab bangunan, padahal pemerintah tahu bahwa bangunan tersebut telah di tempati oleh masyarakat. Situasi ini membuat masyarakat Pubabu melakukan pemblokiran jalan bertujuan untuk menahan kedatangan rombongan Gubernur yang akan kembali ke kupang agar masyarakat dapat bertemu langsung dengan gubernur.

Aksi pemblokiran ini ditambah dengan aksi telanjang dada yang dilakukan oleh ibu-ibu sebagai bentuk perlawanan mereka. Konflik terus berlanjut sampai pada Selasa 12 Mei 2020.

Rombongan pemerintah yang dipimpin langsung Gubernur Viktor kembali mendatangi kompleks instalasi peternakan Pubabu. Lagi-lagi, kedatangan rombongan pemerintah ditolak oleh masyarakat setempat. Beberapa ibu-ibu bahkan melakukan aksi telanjang dada sebagai bentuk penolakan keras terhadap kedatangan gubernur NTT.

Namun, gubernur tetap bersikeras untuk masuk ke dalam kompleks instalasi peternakan yang telah di duduki masyarakat setempat sampai akhirnya gubernur menaiki pagar kayu depan kompleks yang dibuat masyarakat sebagai cara masuk ke dalam kompleks instalasi. Saat itu, gubernur mengancam jika masyarakat adat Pubabu terus melakukan aksi penolakan maka nyawa salah seorang aktivis masyarakat adat Pubabu akan dihilangkan.

Kesepakatan Sepihak

Menurut Fadly dan Yufen, masyarakat adat Pubabu mendapat pukulan keras dengan kesepakatan yang dibuat oleh pemerintah provinsi yang di dalamnya ada tiga poin yaitu, pendataan masyarakat yang ada dalam kawasan hutan, penertiban dan merelokasi masyarakat.

Terhadap isi kesepakatan itu, masyarakat menganggap bahwa kesepakatan yang dibuat adalah bersifat sepihak, tidak pernah melibatkan masyarakat dalam upaya penyelesaian konflik hutan adat Pubabu. Ironisnya, ketika pemerintah bersama dinas peternakan sejak 3-13 Agustus 2020 berkantor di lokasi hutan yang masih berkonflik.

Pada Selasa, 4 Agustus 2020, pemprov NTT tiba di Pubabu dan berdiskusi bersama masyarakat. Namun, tidak ada kesepakatan bersama. Selanjutnya pemprov memaksa membongkar rumah pertemuan depan instalasi peternakan setelah selesai membongkar kemudian mereka membangun tenda-tenda untuk berkantor selama 10 hari.

Dari situasi ini terlihat bahwa monopoli dan perampasan tanah telah mengakibatkan masyarakat kehilangan aksesnya atas tanah yang artinya kehilangan hidup.

Di tengah situasi pandemi covid-19 dan juga perubahan iklim cuaca dan intensitas curah hujan yang dapat mengakibatkan masyarakat terancam gagal panen, Pemerintah NTT justru tidak memperdulikan kehidupan masyarakat adat pubabu yang mayoritas bekerja sebagai kaum tani dan kaum tani memerlukan tanah untuk bisa hidup.

Tindakan penggusuran yang disertai teror dan intimidasi terhadap masyarakat adat Pubabu merupakan bukti nyata bahwa Pemprov NTT anti terhadap rakyat dan lebih mementingkan investor.

* Follow Official WhatsApp Channel Liputan6.com untuk mendapatkan berita-berita terkini dengan mengklik tautan ini.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini


Skema Perampasan

Klaim Tanah Adat
Foto: Warga Besipae, Kabupaten Timor Tengah Selatan NTT yang tetap bertahan di lokasi penggusuran (Liputan6.com/Ola Keda)

Dalam keterangan ASAB, Fadly dan Yufen mengatakan skema pengambilan lahan ini dijalankan melalui kehutanan yaitu Kesatuan Pengelola Hutan. Dengan masuknya suatu kawasan dalam KPH maka akan dengan mudah dikonsesi pada para korporasi besar seperti perkebunan dan pertambangan.

Salah satu KPH besar yaitu KPH Mutis dengan mendominasi 4 kabupaten di NTT. Salah satunya Timor Tengah Selatan dengan luas 66.000 ha dengan total luas yang berada di Wilayah kecamatan Amanuban Selatan seluas 2599 hektare berdasarkan pada keputusan Menteri Kehutanan No:138/kpts-II/1996.

Selain monopoli agraria yang di lakukan oleh kehutanan,monopoli juga dilakukan oleh pemerintah provinsi dalam hal ini Dinas Peternakan Provinsi NTT dengan total luas 37.800.000 meter persegi berdasarkan sertifikat Hak Pakai nomor :00001/2013-BP,794953.

Selain Dinas Peternakan, Dinas Pertanian dan Investasi Penanaman Kelor di hutan adat Pubabu mengambil luas lahan masing-masing 1000 hektare. Konsep nawacita yang diprogramkan oleh rezim Jokowi-Ma’aruf lebih mencolok pada invetasi dengan berbagi regulasi yang dibuat seperti Omnibus Law, ini akan menumbuhsuburkan eksploitasi dan akumulasi modal semakin eksis di berbagai penjuru Indonesia.

Hal ini terlihat jelas seperti praktik nyata Pemprov NTT yang merampas dan menggusur masyarakat Besipae dari tanahnya sendiri.

Berikut tuntutan Aliansi Solidaritas Besipae menuntut:

1. Konfirmasi Tim Pencari Fakta

2. Hentikan segala bentuk aktivitas

3. Pemprov NTT di Besipae

4. Segera tarik aparat keamanan dari Besipae

5. Cabut sertifikat hak pakai dari dinas kehutanan

6. Tolak Omnibus Law

7. Segera bebaskan kawan Anton

8. Hentikan kekerasan terhadap perempuan dan anak di Besipae

9. DPRD NTT segera bentuk tim perlindungan hukum terhadap masyarakat Besipae

10. Segera kembalikan hak pendidikan bagi anak-anak Besipae

11. Jalankan reforma agraria sejati

12. Apabila poin tuntutan ini tidak segera direalisasikan dalam kurun waktu 5x24 jam maka kami akan melakukan aksi lanjutan menduduki kantor DPRD NTT sampai tuntutan kami diterima.

Untuk diketahui, aktivis yang tergabung dalam solidaritas Besipae ini terdiri dari beberapa aliansi organisasi antara lain, FMN Kupang, HMI Kupang, LMND-DN Ek Kota Kupang, GMKI, AGRA, OPSI, PMKRI, KOMPAK, ITA PKK, JEPIT, LK FKIP UKAW, KERIKIL, PERMABAR, PEMBARU Linamnutu dan LMND. 

Pengembangan Pakan

Sementara Kepala Badan Pendapatan dan Aset Daerah Provinsi NTT, Zet Sony Libing menegaskan, pemerintah tidak memiliki keinginan untuk menyusahkan atau menyakitkan hati warga Besipae.

Pemprov NTT berencana untuk menyejahterakan masyarakat Besipae dengan melakukan program pengembangan pakan ternak dan kelor.

Di tahap awal, pemerintah akan menanam lamtoro teramba seluas 200 hektare dan kelor seluas 200 hektare.

"Pemprov NTT tidak memiliki niat sedikit pun untuk menyusahkan masyarakat. Program yang ditaruh di Besipae semata-mata untuk menyejahterakan masyarakat Besipae," kata Sony.

Menurut dia, Dinas Peternakan dan Dinas Pertanian akan mulai berkantor di Besipae. Oleh sebab itu, pagar dan sebuah rumah darurat yang dibangun di jalan masuk Ranch Besipae akan dibongkar.

Selain itu, lanjut Sony, Gubernur Viktor juga berpesan bahwa dalam pelaksanaan program pengembangan pakan ternak dan kelor melibatkan masyarakat Besipae.

Lanjutkan Membaca ↓

* Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta Liputan6.com 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya