Saat Lembaga Kebudayaan Betawi Mencari Jawara Baca Puisi

Puisi dalam perlombaan ini menitikberatkan pada karya-karya yang bernafaskan perjuangan.

oleh Liputan6.com diperbarui 10 Okt 2020, 12:03 WIB
Diterbitkan 10 Okt 2020, 11:21 WIB
lomba baca puisi virtual tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK/Universitas.
Lomba baca puisi virtual tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK/Universitas.

Liputan6.com, Jakarta - Lembaga Kebudayaan Betawi bekerja sama dengan Dinas Pendidikan DKI Jakarta dan Dinas Kebudayaan DKI Jakarta telah sukses menyelenggarakan lomba baca puisi virtual tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK/Universitas.

Lomba ini diikuti oleh sekitar 185 peserta usia SD/MI, 280 peserta usia tingkat SMP/MTs, dan 122 peserta usia SMA/MA/SMK/Universitas. Peserta merupakan siswa-siswi yang berdomisili di DKI Jakarta serta membacakan dua puisi dalam perlombaan, yakni puisi wajib dan puisi pilihan.

Sesuai tema, maka puisi dalam perlombaan ini menitikberatkan pada karya-karya yang bernafaskan perjuangan dari Chairil Anwar, WS Rendra, dan Taufik Ismail. Sementara untuk puisi pilihan, dimasukkan pula karya-karya penyair dari Betawi yang punya kiprah kepenulisan yang cukup mencorong, seperti Susy Aminah Aziz, Tuty Alawiyah AS, Zeffry Alkatiri, Yahya Andi Saputra, Rizal, Fadjriah Nurdiarsih, Rachmad Sadeli, Sam Mochtar Chaniago, dan lain-lain.

Lomba baca puisi yang disponsori Bank DKI dan PD Pasar Jaya ini diadakan pada periode September hingga Oktober 2020, serta mengambil tema "Nasionalisme dan Berbudaya Melalui Literasi". Acara pemberian hadiah dilaksanakan pada Jumat (9/10/2020) di Lobi Dinas Pendidikan DKI Jakarta.

Ditemui di acara pemberian hadiah, Iwan Henry Wardhana, Kepala Dinas Kebudayaan DKI Jakarta, mengatakan sangat berterima kasih kepada Lembaga Kebudayaan Betawi yang telah menginisiasi acara ini. "Meski di tengah pandemi, tapi ide-ide dan kreativitas ternyata memang tetap berjalan. Apalagi animo peserta terhadap acara ini juga sangat besar. Banyak di antara generasi muda, bibit anak-anak sekolah, yang punya jiwa dan bakat di bidang kesenian," ujarnya.

Iwan mengakui banyaknya peserta yang ikut merupakan pertanda positif buat bagi Dinas Pendidikan dan juga Dinas Kebudayaan. Namun, menurut Iwan, hal ini juga memunculkan tantangan sekaligus pekerjaan rumah untuk menjalankan tugas berikutnya, yaitu bagaimana memantapkan atau menambah keseriusan mereka, sehingga menjadi sebuah bakat yang bisa dieksplorasi berikutnya.

Apresiasi juga datang dari Nahdiana, Kepala Dinas Pendidikan DKI Jakarta, yang namanya juga menjadi trofi juara untuk kategori SMP. Menurut Nahdiana, kegiatan lomba baca puisi virtual ini menjadi sebuah kegiatan yang sangat bagus, terutama di tengah tantangan yang dihadapi di masa pandemi, terutama tantangan belajar di rumah.

"Dengan diadakan lomba puisi ini, anak-anak ini belajar mengapresiasi diri mereka. Anak-anak punya aktualisasi diri yang sangat baik, berani tampil di depan umum, dan menjadi juara. Hal ini sesuai dengan misi pendidikan yang tuntas berkualitas. Artinya, kita tidak ingin mengungkung anak-anak pada satu bakat atau talenta. Kita tidak ingin anak-anak belajar hanya pada apa yang diberikan oleh guru. Kita dorong anak-anak menemukan minat dan bakatnya," ujar Nahdiana serius.

Saksikan Video Pilihan Berikut Ini:

Penghormatan untuk Bang Ipul

Lomba baca puisi virtual tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK/Universitas.
Lomba baca puisi virtual tingkat SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA/SMK/Universitas.

Beky Mardani, Ketua Lembaga Kebudyaan Betawi, mengatakan lomba ini merupakan inisiatif dari Saefullah, Sekda DKI Jakarta, kini almarhum akibat Covid-19. Sebagai tokoh Betawi yang juga berlatar belakang pendidikan, Bang Ipul—sapaan akrab Saefullah—memang sangat konsen terhadap upaya pengenalan dan pengembangan lebih jauh terhadap kebudayaan Betawi di kalangan generasi muda.

"Itulah sebabnya, sebagai penghormatan, piala untuk pemenang tingkat SMA/MA/SMK/Universitas, kita dedikasikan untuk Bang Ipul. LKB juga berharap acara lomba baca puisi virtual ini bisa diadakan setiap tahun," ucap Beky.

Pemberian hadiah sendiri dilakukan pada Jumat, 9 Oktober 2020 di Aula Dinas Pendidikan DKI Jakarta secara drive thru. Sebanyak 33 pemenang dari tiap kategori, yakni juara 1, 2, dan 3; juara harapan 1, harapan 2, dan harapan 3; 5 juara terpuji; serta juara favorit datang bersama orang tua maupun guru pendamping. Tampak wajah-wajah ceria dan bangga para peserta yang mendapatkan hadiah.

Sebagian peserta mengabadikan diri dengan latar tulisan Dinas Pendidikan DKI Jakarta. Ada juga yang tos ataupun dicium oleh orang tuanya. Namun, rona kesedihan terpancar dari muka Kayla Nayyara Larasari, juara 1 lomba baca puisi tingkat SD.

Kayla ternyata baru saja ditinggalkan oleh ayahanda tercinta tepat satu hari sebelum penutupan lomba puisi. “Tanggal 7 September ayahnya meninggal dan tanggal 8 Kayla mengirim puisi dengan dibantu kakaknya,” ujar ibu Kayla.

Kayla yang merupakan siswa SDN Pisangan Timur 01 ini membawakan puisi Zeffry Alkatiri yang berjudul “Tuhan Belum Sempat Lagi Datang ke Sini”. Penghayatan Kayla yang maksimal, terutama terpancar dari matanya, membuat para dewan juri terpukau.

"Kemenangan ini Kayla berikan untuk ayahnya," ujar Ibu Kayla, yang juga seorang guru, sambil tersenyum.

Di sisi lain, Dione Aletta Charis dari SMP 115 Jakarta, yang juga menyabet juara 1 lomba baca puisi virtual tingkat SMP, mengatakan informasi mengenai lomba diketahuinya dari gurunya. Meski demikian, karena kondisi pandemi yang membuat dia tak bisa ke sekolah, Dione hanya latihan dengan kakaknya. Berbekal latihan selama seminggu, Dione mampu menghadirkan penghayatan dalam puisi WS Rendra dan Tuty Alawiyah AS yang dibacakannya.

"Dione ini memang sejak SD sudah sering ikut lomba puisi. Malah juga pernah jadi juara story telling pakai bahasa Inggris," ujar ibunya bangga.

Para peserta dan Lembaga Kebudayaan Betawi berharap acara ini bisa diadakan setiap tahun. Namun, mengingat masih adanya tantangan dalam pembuatan video maupun teknis pembacaan puisi, salah seorang juri, Yahya Andi Saputra, meminta diadakan bengkel pelatihan membaca puisi secara berkala kepada siswa-siswa.

"Apalagi kayaknya selama 30 tahun model pembacaan puisi kita tidak berubah. Padahal, membaca puisi dan mendeklamasikan puisi sesungguhnya sangat berbeda," ujar Yahya menandaskan.

Lanjutkan Membaca ↓
Loading

Tag Terkait

POPULER

Berita Terkini Selengkapnya