Liputan6.com, Jambi - Pagi itu mendung tipis masih bergelayut di wilayah Makekal Ilir, Kabupaten Tebo, Jambi, ketika Menti Gentar Tampung (35) bergegas mencari anak-anak orang rimba. Sebagai kader pendidikan atau guru alternatif, dia punya tugas untuk mengajak anak-anak rimba belajar bersama.
Di bawah cuaca yang masih lembab sisa hujan semalam, Gentar berusaha memanggil anak-anak rimba. "Guding... ayo pigi belajor (kawan... ayo sini kita belajar)," suara Menti Gentar menggema di antara pepohonan sawit.
Tak berselang lama begitu mendengar panggilan itu, anak-anak rimba langsung keluar dari Sudung (pondok tempat tinggal orang rimba). Mereka menghampiri Menti Gentar dan berjalan ke tempat belajar, yakni pondok terpal yang dibuat di bawah pohon sawit.
Advertisement
"Ado bewo buku hopi (ada yang bawa buku tidak)," tanya Menti Gentar.
"Hopi (tidak)," jawab anak-anak rimba itu serempak.
Menti Gentar lantas membagikan buku dan alat tulis serta buku bacaan. Dia dan delapan anak-anak rimba kemudian belajar bersama. Meski mereka belajar secara lesehan beralas terpal, tetapi mereka terlihat semangat belajar dari pagi sampai siang.
Anak-anak yang masih kecil belajar mengenal huruf dan angka. Sementara murid yang remaja belajar membaca, menulis, dan berhitung. Gentar mengajar menggunakan bahasa rimba sehingga anak-anak tersebut mudah mencernanya.
Beruntung ketika belajar hari itu anak rimba hampir semua datang. Biasanya, kata Gentar, kehadiran mereka tak menentu, kadang hanya ada dua anak. Mereka juga tak setiap hari belajar karena anak rimba harus membantu orangtuanya pergi ke hutan.
Tempat belajar mereka yang sangat sederhana, di bawah pondok beralas terpal di area kebun sawit. Namun, begitu tak menyurutkan antusias anak-anak rimba untuk menyimak pelajaran.
Basuh, satu di antara anak rimba terlihat mengamati Gentar. Ia memegang buku dan alat tulis. Basuh mencoba mengikuti perintah untuk menulis huruf, sesekali matanya melirik ke buku kawannya.
"Tidak setiap hari belajar karena waktu anak-anak terbatas, kadang mereka harus membantu orangtuanya menyadap karet, dan mencari jernang," kata Menti Gentar kepada Liputan6.com di sela-sela mengajar anak orang rimba di wilayah Makekal Ilir, Tebo, Jambi, Kamis (19/11/2020).
Simak video pilihan berikut ini:
Gentar yang Tak Kenal Gentar
Menti Gentar, yang juga wakil pimpinan orang rimba di wilayah Sako Ninik Tuo, adalah salah satu orang rimba yang menjadi kader pendidikan atau guru alternatif bagi kelompoknya. Ia mengajar anak-anak rimba di bawah pimpinan Tumengung Ngadap.
Rombong orang rimba tersebut tinggal di tepian sungai Sako Ninik Tuo, yang merupakan anak sungai Makekal di sekitar kawasan hutan Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD). Sebanyak 21 kepala keluarga (KK) tinggal di wilayah tersebut.
Gentar yang sudah fasih berbahasa Indonesia mengisahkan perjuangannya sebelum menjadi guru alternatif. Dia masih ingat betul pada tahun 2000 silam, sewaktu Gentar remaja ia belajar bersama tim KKI Warsi yang datang ke rombongnya.
"Belajar samo Warsi tigo tahun, tapi setelah itu tidak belajar lagi karena saya waktu itu sudah berkeluarga," ujar Gentar.
Pendidikan informal dari fasilitator pendidikan KKI Warsi menjadi bekal Gentar. Pada tahun 2017, Gentar aktif kembali di dunia pendidikan rimba. Karena kemampuannya yang menonjol, Gentar dijadikan kader pendidikan (guru rimba) bagi anak-anak rimba yang tinggal di sekitar hutan TNBD.
Kini saat menjadi kader pendidikan, Gentar mengajar untuk delapan murid anak rimba. Semua yang diajarkan Gentar berdasarkan apa yang pernah didapat oleh tim fasilitator pendidikan KKI Warsi.
Dalam proses mengajar itu, dia terlebih dulu mengenalkan huruf A-Z dan angka 0-9. Kemudian, jika anak-anak sudah mahir, maka ditingkatkan untuk belajar membaca, menulis, dan berhitung.
"Mulainya dikenalkan huruf. Kalau sudah hafal ditingkatkan lagi jadi mengejo bacoan sampai menghitung," kata Gentar.
Advertisement
Manfaat Pendidikan bagi Anak Rimba
Orang rimba, atau biasa disebut Suku Anak Dalam (SAD) di Provinsi Jambi, selama ini dikenal sebagai komunitas yang tinggal di pedalaman hutan. Dulu, orang rimba mengenal perekonomiannya dengan sistem barter.
Namun, sekarang seiringnya berjalannya waktu, orang rimba telah mengenal sistem alat tukar rupiah. Orang rimba menjual hasil hutan bukan kayu, seperti rotan, jernang, dan getah karet ke pasar yang ada di desa terdekat.
Sebab itu, saat ini pendidikan dibutuhkan orang rimba. Pendidikan, menurut Gentar, bukan persoalan politis belaka. Pendidikan sangat diperlukan anak-anak rimba sebagai penyangga kehidupan ke depan.
"Pendidikan ini diperlukan agar kami (orang rimba) ini jangan sampai dipeloloi (dibohongi) saat kami menjual hasil, itu bae," kata Gentar.
Selain mengajar, Gentar juga meyakinkan penghulu rerayo dan orangtua anak rimba akan manfaat pendidikan bagi anak-anak.
Gentar juga memiliki misi agar anak rimba di kelompoknya bisa mengenyam pendidikan di sekolah formal, bahkan sampai ke perguruan tinggi. Hal itu supaya nantinya bisa menolong orang rimba, terutama masalah kesehatan.
"Kami ini lemah tentang kesehatan, jadi kalau nanti anak-anak ada yang sekolah di luar setidaknya bisa mendorong pemerintah mengentaskan masalah kesehatan untuk orang rimba," ujar Gentar.
Kemampuan anak rimba menyerap pelajaran tak kalah dari anak anak-anak di luar hutan. Salah satu anak rimba laki-laki, Magar mengatakan, ia ingin sekolah ke luar seperti orang di desa.
"Cito-cito pengennyo jadi tenago kesahatan, supayo biso mengobati orang rimba yang sakit," kata Magar.
Â
Guru Alternatif
Kader pendidikan yang didapuk Gentar, tugasnya sama halnya seperti guru pada umumnya, ia mengajar anak-anak. Namun, bedanya kader pendidikan tersebut merupakan guru yang tak punya sertifikat. Gentar menjadi guru alternatif untuk mengajari anak-anak rimba belajar.
Kader pendidikan merupakan berasal dari orang rimba yang telah dilatih. Kemudian kader pendidikan itu ditugasi untuk mengajak serta mengajari anak-anak rimba yang ada di dalam hutan.
Fasilitator Pendidikan KKI Warsi, Jauhar Maknun mengatakan, kader pendidikan yang berasal dari orang rimba itu sendiri mempunyai peran penting. Kader pendidikan bisa menjadi guru untuk mengembangkan pendidikan bagi orang rimba.
Para kader ini, lanjut Maknun, juga akan terus dimonitoring oleh fasilitator. Pemantauan itu dilakukan untuk mengindentifikasi apa saja kendala yang dihadapi kader.
"Kalau fasilitator sendiri yang melakukan kurang efisien. Jadi kita butuh kader atau guru dari orang rimba itu sendiri yang mengajari, dan juga untuk komunikasi ke orang rimba menjadi lebih mudah diterima," kata Maknun kepada Liputan6.com.
Keberadaan kader pendidikan atau guru alternatif ini, kata Maknun, juga akan memudahkan anak rimba yang ingin belajar. Karena pemerintah ataupun fasilitator tidak selalu berada di hutan untuk mengajar orang rimba.
Sampai saat ini Maknun menyebut, terdapat 5 orang kader pendidikan yang aktif. Mereka adalah, Gentar, Bekacak, Besiap Bungo, Besigar. Kader pendidikan tersebut tersebar di beberapa daerah seperti Makekal Ilir, Makekal Ilir, Terap, dan Kedudung Muda.
Gentar dan juga kader pendidikan dari orang rimba lainnya menjadi oase bagi suku orang rimba yang masih hidup marjinal dan semi nomaden. Meski pendidikan bagi orang rimba seperti barang baru, namun setidaknya mereka juga mempunyai hak pendidikan.
"Manfaat pendidikan akan berguna sesuai dengan kebutuhan fungsional mereka, misalnya ketika orang rimba menjual hasil komoditi ke desa," kata Maknun.
Â
Advertisement