Liputan6.com, Serang - Korupsi hibah bukan hal baru di Banten. Peristiwa itu pernah terjadi tahun 2011-2012 atau sembilan tahun lalu. Bak dejavu, kasus serupa terulang tahun 2018 dan 2020, dan terbongkar pada tahun 2021 ini.
"Dejavu dan prihatin, karena sebelumnya pernah menginvestigasi, mengungkap dan melaporkan kasus hibah dan bansos di Banten, termasuk di dalamnya yang melibatkan ponpes, dan prihatin karena ini terulang lagi," kata Ade Irawan, Direktur Visi Integritas, Sabtu (29/05/2021).
Advertisement
Baca Juga
Pria yang lama bergelut di dunia anti korupsi bersama ICW ini menegaskan penegakkan hukum dan pemberantasan korupsi jarang menyentuh tingkatan elit. Jika Kejati Banten yang sedang mengusut korupsi hibah hingga masker Banten tidak mengungkap aktor intelektualnya, maka koruptor bisa terus leluasa bergerak.
"Jangan sampai ending penanganan masalah ini, sama dengan sebelumnya, hanya berhenti di birokrasi tanpa berhasil mengungkap aktor intelektualnya,"Â dia menerangkan.
Rencana pengajuan justice collaborator (JC) oleh tersangka korupsi hibah ponpes ke Kejati Banten harus disambut baik oleh kejaksaan. Karena akan membantu tugas mereka untuk mengusut tuntas pelaku utamanya.
"Apakah cuma berhenti di birokrasi, biro kesra atau dia hanya menjalankan perintah," ujarnya.
Simak Video Pilihan Berikut Ini:
Korupsi Dana Hibah Bansos Tahun 2011-2012
Sebelumnya diberitakan, Kejati Banten menetapkan tiga tersangka korupsi hibah ponpes tahun 2018 sebesar Rp66,280 miliar dan tahun 2020 berjumlah Rp117 miliar. Terduga pelakunya yakni ES, IS sebagai mantan Kabiro Kesra Banten dan TS sebagai kepala tim verifikasi.
Korupsi dana hibah dan bansos tahun 2011-2013 juga dikorupsi, dengan tujuh tersangka. Kerugian keuangan negara untuk tahun anggaran tahun 2011 sebesar Rp4,150 miliar dan tahun 2012 mencapai Rp3,5 miliar. Kala itu, ZM yang menjabat Kepala Dinas Pendapatan dan Pengelolaan Keuangan Daerah (DPPKD) Banten ditetapkan sebagai aktor intelektual.
Berdasarkan investigasi ICW dan ALIPP diketahui dari 151 lembaga penerima hibah tahun 2011, ditemukan lembaga dan forum fiktif penerima bansos hibah. Investigasi itu juga mengungkap sejumlah modus penyelewengan dana hibah dan bansos yakni penerima dana hibah menerima dana dalam kondisi tidak utuh atau dipotong oleh oknum dari Pemprov Banten.
Penyelewengan dana hibah dan bansos juga terjadi pada tahun 2012. Berdasarkan data Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Perwakilan Banten pada tahun anggaran 2012, Pemprov Banten menganggarkan belanja hibah sebesar Rp1,364 triliun lebih. Dari dana hibah sebesar itu, yang terealisasi sebesar Rp1,288 triliun lebih atau sebesar 94,41 persen.
Dalam LHP BPK dijelaskan bahwa untuk dana hibah pada tahun 2012, ditemukan sebanyak 629 penerima hibah yang belum melengkapi pertanggungjawabannya dan sebanyak 1.284 penerima bansos yang belum melengkapi laporan pertanggungjawabannya.
Menurut BPK, sebanyak Rp82,414 miliar dana hibah Provinsi Banten pada tahun anggaran 2012 tidak bisa dipertanggungjawabkan dan senilai Rp9,993 miliar dana bansos yang belum bisa dinilai kewajarannya.
Dalam LHP BPK RI Perwakilan Banten, Nomor 17b/LHP/XVII.SRG/06/2013 tertanggal 28 Juni 2013 dirincikan bahwa sebanyak 6 penerima hibah yang belum menyampaikan Laporan Pertanggungjawaban Penggunaan Dana (LPJPD) namun sudah menyampaikan Surat Pernyataan Tanggung Jawab (SPTJ) senilai Rp 4,8 miliar. Selain itu, sebanyak 254 penerima yang sudah menyampaikan LPJPD, namun belum menyampaikan SPTJ senilai Rp 41,896 miliar.
Selanjutnya, sebanyak 369 penerima hibah yang belum menyampaikan LPJPD dan juga belum menyampaikan SPTJ senilai Rp 35,717 miliar. Sementara, sebanyak 749 penerima hibah dinyatakan telah menyampaikan LPJPD dan juga telah menyampaikan SPTJ.
Advertisement